Gaya tulisan baru dari Ulil.
Pendapat Santri adalah representasi pemikiran Ulil, nah kalau Kyai 
yang demokrat itu merepresentasikan siapa yah? :)

Koran Tempo, Senin, 09 Januari 2006
Opini
Salamullah Adalah Agama Baru
(Dialog Imajiner Antara Kiai dan Santrinya)

Ulil Abshar-Abdalla
Mantan Koordinator Jaringan Islam Liberal

Ini adalah dialog imajiner antara seorang santri dan
kiainya. Topik yang mereka diskusikan adalah isu yang
sekarang sedang marak dan panas dibicarakan di
koran-koran Ibu Kota, yaitu penangkapan sejumlah
aktivis kelompok Salamullah yang dipimpin oleh Lia
Aminuddin.

Santri: Pak Kiai, mohon maaf jika pendapat saya ini
kurang berkenan pada panjenengan. Saya agak gerah
dengan sikap beberapa tokoh Islam soal kelompok Lia
Aminuddin.

Kiai: Lo, kamu simpatisan Lia, toh?

Santri: Bukan, sama sekali bukan, Kiai. Saya hanya
merasa janggal, kenapa kelompok itu dianggap sesat dan
harus diadili. Menurut hukum dan konstitusi kita,
semua orang kan berhak memeluk keyakinan dan beribadah
sesuai dengan keyakinannya itu.

Kiai: Begini, Anakku. Abaikan dulu soal konstitusi dan
hukum kita. Kita kan punya aturan main sendiri dalam
Islam. Mari kita lihat kasus Lia ini dari sudut
pandang Islam.

Santri: Baik kalau begitu, Kiai. Menurut panjenengan,
bagaimana kasus ini dipandang dari sudut Islam?

Kiai: Lo, kok malah kamu yang nanya. Kamu yang mulai
pembicaraan ini, ya kamu dong yang lempar bola duluan.
Saya kan tinggal menanggapi saja.

Santri: Maaf, Kiai. Saya emmm... agak grogi.

Kiai: Katanya santri "liberal", kok masih takut-takut
sama kiai. Saya ini kan kiai demokrat, didebat sama
santri juga ndak apa-apa. Ayo, silakan ngomong. Jangan
lupa wedang-nya ini diminum. Ini ada juga jajanan
pasar dari Bu Nyai. Kita ngobrol seperti seorang teman
saja, ya. Aku ndak enak kalau memerankan diri jadi
"kiai" terus. Capek.

Dalam hati, si santri itu agak geli. "Saya juga capek
memerankan diri jadi santri terus. Sekali-sekali,
pingin juga merasakan bagaimana jadi "kiai"," katanya
pada dirinya sendiri.

Santri: Begini, Kiai. Menurut saya, apakah tepat kita
menghakimi kelompok Lia ini dari sudut pandang Islam?

Kiai: Lo, apa maksumu? Kan ya sudah semestinya toh
kita, sebagai orang Islam, memandang segala sesuatu
dari sudut pandang Islam.

Santri: Begini, Kiai. Kita berhak menghakimi kelompok
Lia dari sudut pandang Islam, kalau kelompok ini
memang masih ada dalam keluarga Islam. Misalnya
kemarin itu, kasus Ahmadiyah. Saya setuju jika MUI,
misalnya, turut campur menanggapi soal Ahmadiyah
karena kelompok ini memang masih dalam batas-batas
Islam, meskipun taruhlah, beberapa orang tak setuju.
Orang-orang Ahmadiyah juga masih merasa menjadi bagian
dari Islam. Jadi, Kiai, kita berhak mengadili
Ahmadiyah karena dia masih menjadi anggota keluarga
kita. Tapi apakah kasus Lia demikian?

Kiai: Wah, boleh juga pendapat kamu ini. Coba
teruskan. Aku ingin mendengarkan argumen kamu lengkap
supaya aku bisa menilainya dengan jernih.

Santri: Kiai, ketidaktepatan MUI dan beberapa tokoh
Islam lain adalah menganggap kelompok Lia ini adalah
sempalan dari Islam, sehingga umat Islam berhak
memberikan penilaian atas mereka. Bagaimana kalau
faktanya kelompok Lia ini, Kiai, bukan sempalan, tapi
adalah agama baru?

Kiai: Baik, baik. Terus....

Santri: Suatu agama tidak bisa dinilai berdasarkan
standar agama lain. Maksud saya, Kiai, bukan berarti
kita sebagai muslim tidak boleh menilai agama lain
berdasarkan akidah kita. Tentu, itu boleh-boleh saja,
tapi itu adalah bagian dari keyakinan kita sendiri.
Tapi keberadaan agama lain tidak bergantung pada
penilaian kita. Jadi kita tidak bisa mengatakan bahwa
agama Kristen tidak berhak ada di Indonesia karena
dalam standar Islam yang kita peluk agama ini keliru
dan sesat. Itu tidak bisa karena hak agama Kristen
untuk ada di Indonesia dijamin oleh undang-undang dan
konstitusi.

Kiai: Begini, Anakku. Pendapat kamu baik, dan tajam
sekali. Aku menghargai itu. Tapi ingat, kita berhak
menilai kelompok Lia ini karena dia banyak memakai
atribut Islam.

Santri: Seperti apa, Kiai?

Kiai: Lia mengatakan menerima wahyu dari Jibril. Ini
masalah. Jibril adalah hak Islam, agama lain tak boleh
ikut-ikut memakai tokoh itu. Lia memakai istilah Imam
Mahdi. Istilah itu milik Islam, jadi kelompok Lia tak
boleh pakai. Kalau Lia mau bikin agama baru, boleh
saja. Tapi silakan pakai istilah dan akidah yang baru
sama sekali, dan jangan pinjam milik orang lain. Itu
etika antarsesama agama lo, ya.

Santri: Mohon maaf, Kiai. Bukankah soal
pinjam-meminjam ini sudah pernah dilakukan oleh Islam
dulu?

Kiai: Maksud kamu?

Santri: Kita semua tahu, Islam sendiri lahir dengan
meminjam banyak kosakata dan akidah dari agama-agama
sebelumnya. Hampir sebagian besar nabi yang berjumlah
24 sebelum Nabi Muhammad itu adalah milik agama
Yahudi. Hukum potong tangan itu sudah ada sebelum
Islam. Hukum qishah itu milik Torah. Tawaf di Ka'bah
itu sudah ada berabad-abad di Mekkah. Institusi nikah
juga sudah ada sebelum Islam, meskipun harus diakui,
Islam membawa pembaruan. Tapi ide nikah sendiri bukan
asli dari Islam. Jadi, Kiai, kalau Lia pinjam dari
Islam, itu wajar saja. Islam dulu juga melakukannya.

Kiai: Memang Islam banyak meminjam dari agama
sebelumnya karena Islam hanya meneruskan wahyu-wahyu
yang datang sebelumnya. Tapi Islam juga mengoreksi
penyelewengan-penyelewengan yang dibuat oleh pemeluk
agama terdahulu. Jadi Islam itu ibarat "semir" yang
membuat sepatu yang sudah tua dan sudah ada sejak lama
menjadi mengkilat kembali.

Santri: Istilah yang Kiai pakai bagus sekali, "semir".


Kiai: Jangan dipahami harfiah. Itu metafor, kalau
menurut anak sekolahan. Kalau bahasa pensantrennya,
majaz. Kamu sudah pernah belajar kitab 'Uqud al-Juman,
toh?

(Catatan: 'Uqud al-Juman adalah kitab klasik tentang
teori sastra Arab yang dikarang oleh Imam Jalaluddin
al-Suyuti. Kitab ini banyak diajarkan di pesantren.)

Si santri hanya mengangguk saja, seraya berkata kepada
dirinya sendiri, saya tak paham sepenuhnya semua
keterangan dalam kitab itu. Rumit.

Santri: Maaf, Kiai. Bagaimana kalau Lia juga
berpendapat serupa? Dia melihat dalam Islam banyak
distorsi. Bukankah distorsi tak hanya milik agama di
luar Islam, tapi Islam sendiri juga bisa mengalami
distrosi?

Kiai: Oh, tidak. Di Islam sudah ada mekanisme internal
untuk mengoreksi distorsi itu, yaitu siklus pembaruan
setiap 100 tahun. Kita punya sistem pengawasan
melekat. Jadi, menurut Nabi, setiap 100 tahun, Allah
akan membangkitkan seseorang yang memperbarui agama
Islam. Jadi Islam tak butuh agama lain sekadar untuk
mengoreksi distorsi yang ada di dalam dirinya.

Betul juga, kata santri kepada dirinya sendiri. Tapi
dia masih belum sreg dengan jawaban si kiai.

Santri: Baik, Kiai. Kalau Islam tujuannya mengoreksi
agama sebelumnya, kan lebih baik bermain di dalam,
bukan dari luar. Maksud saya, Kiai, akan lebih efektif
Islam menjadi korektor agama Kristen dan Yahudi dengan
tetap berada dalam lingkungan kedua agama itu, bukan
menjadi agama terpisah. Masak Kiai lupa, argumen
sebagian para aktivis zaman Orba dulu.

Kiai: Maaf, saya potong, ya. Saya ndak kenal mereka.
Jadi jangan salahkan saya kalau saya ndak tahu. Coba
teruskan, apa kata mereka?

Santri: Maaf, Kiai. Dulu, pada zaman Pak Harto,
sebagian aktivis politik bilang, kalau kita mau
melakukan perubahan dalam pemerintahan Orba, lebih
baik bekerja dari dalam, bukan mengkritik dan
koar-koar dari kejauhan seperti LSM yang didanai asing
itu. Nah, dengan memakai argumen ini, Kiai, saya akan
mengatakan, kenapa Islam mendirikan agama baru kalau
tujuannya untuk mengkritik Kristen dan Yahudi.
Bukankah lebih baik bekerja dari dalam saja? Kan
kritik dari dalam lebih didengar ketimbang dari luar.

Kiai: Kritik dari dalam sudah tidak bisa lagi karena
kerusakan di dua agama itu sudah begitu parahnya. Jadi
butuh agama baru untuk mengoreksi.

Si santri tak sabar untuk langsung menjawab.

Santri: Nah, Lia, atau tepatnya Jibril, mungkin juga
berpikir begitu, Kiai. Kerusakan dalam Islam sudah
begitu parah sehingga kritik dari dalam Islam sudah
tak mempan lagi. Jadi dibutuhkanlah agama baru.

Percakapan mulai memanas. Kiai mulai memperbaiki
posisi duduknya sambil menjentikkan rokok di asbak. Si
santri tentu tak berani merokok di hadapan Kiai.

Kiai: Sebentar, sebentar, kehadiran Islam mengakhiri
seluruh rangkaian agama di dunia ini. Jadi setelah
Islam datang, berakhirlah seluruh mata rantai
kritik-koreksi itu. Karena itu, jika betul Lia mengaku
mendirikan agama baru, jelas hal itu batal karena tak
ada agama baru setelah Islam datang.

Santri: Ya, Islam boleh menyatakan begitu, Kiai.
Setiap agama berhak mengaku, dirinya adalah agama
terakhir. Kita tak bisa menyanggah itu jika itu
merupakan keyakinan. Saya sendiri tak yakin, Kiai, ada
ajaran tentang Islam sebagai agama terakhir. Setahu
saya, yang ada adalah pernyataan bahwa Nabi Muhammad
adalah nabi terakhir. Tapi Islam adalah agama
terakhir, sepertinya tak ada, baik di Quran maupun di
hadis.

Kiai: Betul, kamu betul. Tapi bukankah agama baru
mensyaratkan nabi baru? Jika Quran mengatakan tak ada
nabi setelah Nabi Muhammad, itu artinya, tak ada agama
baru.

Santri: Baik, Kiai. Kita abaikan dulu soal apakah
pernyataan tak ada nabi baru berarti otomatis tak ada
agama baru. Tapi secara faktual, klaim bahwa Islam
adalah agama terakhir itu tak terbukti. Buktinya, 500
tahun lalu, lahir agama baru, yaitu agama Sikh yang
sekarang mempunyai pengikut sekitar 20 juta di seluruh
dunia. Setelah itu, Mirza Husein Ali Nuri mendirikan
agama baru pada abad ke-19, yaitu agama Bahai. Jadi
belum terlalu lama. Kesimpulannya, secara faktual,
agama baru muncul terus setelah Islam, walaupun Islam
menolak.

Kiai: Fakta itu tetap tak bisa membatalkan akidah kita
bahwa setelah Nabi Muhammad tak ada nabi baru, dus
dengan demikian agama baru juga tak ada.

Santri: Akidah kita itu milik kita sendiri, Kiai. Tapi
akidah itu tak bisa dipakai untuk menilai sah-tidaknya
keberadaan kelompok lain. Kita punya akidah bahwa
agama Kristen itu salah, tapi kita toh tak bisa
mengatakan, Kristen harus hengkang dari Indonesia.
Semua agama, salah atau benar, berhak ada di bumi
Indonesia. Itu dijamin oleh konstitusi negara kita.

Kiai: Sebentar, kamu dari tadi mengatakan bahwa Lia
ini membawa agama baru. Apa buktinya?

Santri: Syarat-syarat kelompok Lia Aminuddin untuk
menjadi agama baru itu sudah ada semua, Kiai.

Kiai: Apa itu?

Santri: Di sana ada wahyu, ada kitab suci, ada nabi,
ada umat, ada ritual, dan ada tata cara ibadah
tertentu. Bahkan mereka juga mempunyai lagu-lagu
tertentu yang mereka nyanyikan seperti pujian yang
kita lantunkan di langgar menjelang salat jemaah itu,
Kiai.

Kiai: Lo, kamu dapat info lengkap itu dari mana?

Santri: Maaf, Kiai, sejak di pesantren kita dibuka
warnet, saya sering online, Kiai. Saya baca banyak
koran, majalah, dan situs-situs lain melalui Internet.
Semua ada di sana, Kiai. Lengkap... kap.

Boleh juga santriku ini, kata Kiai kepada dirinya
sendiri. Kalau begini, aku harus pasang Internet juga,
biar ndak kalah informasi dengan santri-santri.

Kiai: Jadi, menurut kamu, Lia ini mendirikan agama
baru, ya?

Santri: Betul, Kiai. Karena kelompok Lia ini adalah
agama baru, kita tak berhak menghakimi mereka. Kita
boleh mempunyai keyakinan bahwa mereka memeluk agama
yang sesat, tapi mereka tak boleh dihukum atau
dilarang. Mereka harus diperlakukan seperti pemeluk
agama lain. Saya kira, penilaian MUI dan umumnya tokoh
Islam di Jakarta itu kurang tepat karena mereka
menggadaikan Lia masih dalam keluarga Islam, padahal
sama sekali tidak. Mereka sudah berdiri sebagai agama
terpisah.

Saat si kiai hendak menanggapi si santri, tiba-tiba
terdengar suara salam. Ada seorang tamu datang.
Pembicaraan terputus. Si santri buru-buru berlalu ke
belakang, membantu menyiapkan minuman dan kue
sekadarnya untuk tamu itu. Namun, dia puas sekali
karena hari itu bisa berdiskusi secara leluasa dengan Kiai.






------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Join modern day disciples reach the disfigured and poor with hope and healing
http://us.click.yahoo.com/lMct6A/Vp3LAA/i1hLAA/aYWolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke