Terima kasih atas penjelasan, Mas / Mbak.

Saya sepakat bahwa karakteristik budaya lokal perlu
diperhatikan bahkan itu adalah faktor yang penting.
Karena apa yang menurut saya terjadi di sebagian
lapisan masrakyat di Indonesia adalah penyimpangan
antara nilai-nilai kebudayaan yang dipertahankan di
muka umum dan perilaku sendiri. Contohnya, semua pada
protes pornografi, tetapi banyak yang diam-diam adalah
konsumen sekaligus. Coba saja dipikirkan, seandainya
jumlah konsumen hanya sedikit, produk komersial
pornografi bakalan akan laku di Indonesia dan tidak
perlu meributkan pornografi. Tetapi yang ingin saya
tekankan di sini bukan soal moral yang berkurang,
tetapi penyimpangan itu yang menciptakan situasi
dilematis.

Dalam skenario buruk penyimpangan itu bisa menjadi bom
waktu dalam kasus peningkatan HIV/AIDS.

Menurut saya, pandangan masrakyat Thailand soal seks
di luar nikah pada umumnya tidak jauh berbeda dengan
banyak masrakyat di Indonesia. Prostitusi dalam skala
besar di Thailand boleh dikatakan merupakan phenomena
yang relatip baru. Perkembangan dimulai dengan para
imigran pria dari Cina yang mulai menetap di Bangkok,
khususnya di daerah Sampeng mulai abad ke-19. Karena
para pria hidup terpisah dari keluarga mereka,
akhirnya prostitusi mulai berkembang dengan datangnya
para perempuan PKS (pertamanya dari Cina juga) untuk
melayani para pria imigran. Dulu para perempuan PKS
hanya diizinkan untuk tinggal di dareah Sampeng dan
diharuskan memakai nama “Mia Kim“ sebagai tanda
pengenal PKS. Prostitusi di masrakyat Thailand mulai
lebih populer waktu kehidupan poligam sebagian elit
mulai diketahui oleh kalangan lebih luas. Selanjutnya
industri seks pernah mengalami boom di perang Vietnam
dan dilanjutkan dengan turisme seks. Kalau kita
melihat sekarang, bagian prostitusi terbesar terjadi
di kalangan lokal. Boleh saja dibilang sudah menjadi
kebutuhan di sebagian masrakyat. Masalahnya, di
Thailand keperawanan masih tetap dianggap penting,
sedangkan umur pernikahan di daerah perkotaan semakin
meningkat. Oleh karena itu, para pemuda sering tidak
bisa berhubungan intim dengan kekasih mereka sebelum
nikah, maka kebanyakan lari ke tempat prostitusi untuk
memenuhi kebutuhan seksual mereka di sana. Lagi, ini
soal penyimpangan antara realita lingkungan yang telah
berubah dan nilai-nilai masrakyat yang statis.

Benar ada banyak keluarga, khususnya yang miskin di
Thailand, terutama di daerah Utara dan Utara/Timur
yang menjual anak-anak perempuan mereka. Kemudian
anak-anak mereka dipaksa menjadi PKS. Tetapi bukan
berarti para keluarga setuju anak-anak perempuan
mereka menjadi PKS, tetapi ada di antaranya yang tidak
melihat jalan lain, karena meraka dalam keadaan
ekonomi darurat, misalnya telah menjadi korban hutang
yang berlimpah akibat bunga eksesif. Atau kejadian
lain seperti penyakit yang memerlukan biaya pengobatan
tinggi dalam relasi standar ekonomi mereka. Di
kampung-kampung, umur nikah masih relatif mudah dan
angka perceraian tinggi. Sering para gadis ditinggalin
begitu saja oleh suami mereka setelah menikah dan
mempunyai anak. Ada juga anak perempuan yang memiliki
loyalitas tinggi sekali sama orang tua hingga
mengorbankan diri. Ada pula yang dibohongi oleh
agen-agen yang menjanjikan pekerjaan di restoran,
pabrik atau di toko. Di samping itu, banyak perempuan
PKS tidak terbuka dengan orang tuanya soal pekerjaan
mereka yang sebenarnya. Semuanya itu mencerminkan
bahwa masrakyat Thailand bukan bangga dengan
prostitusinya, malahan sebaliknya. Di Indonesia juga
banyak keluarga yang menjual anak perempuan mereka
yang nanti dijadikan sebagai PKS, kadang-kadang mereka
tidak tahu karena dibohongi. Masih banyak motif lain,
termasuk para perempuan yang rela turun ke bidang seks
komersial karena ingin memperbaiki keadaan ekonomi
mereka, meskipun mereka tidak terpaksa sekali, dll -
baik di Thailand maupun di Indonesia.

Seperti dengan banyak masalah rumit lainnya, memang
tidak ada solusi yang instan dan gampang. Jelas naif
ketika kita mengharapkan bahwa dengan sekedar
memberikan fasilitas ATM Kondom, masalah HIV/AIDS
dapat diatasi dengan segara. Sama naifnya kalau kita
berharap bahwa dengan undang-undang anti-pornografi
tidak akan ada pornografi yang beredar lagi di
masrakyat. Saya setuju sekali dengan Anda, larangan
semata tanpa alternatif hanyalah pembodohan belaka.

Salam,
ayeye

**************************************************************

-deleted

**************************************************************

= Masalah na Kang juga buat Kang Ayeye, kita juga
tidak bisa melepas
karakteristik budaya kita terhadap seks itu sendiri
ketika kita mau
mensosialisasikan kondom dengan mengacu kepada
keberhasilan di
thailand. Artinya jangan memakai standard dari luar
yang memang
berbeda dengan diri kita sendiri.boro-boro untung
malah nanti bisa
buntung;)

seks di dalam masyrakat thailand umumnya sudah menjadi
satu komoditi
umum. kita bisa dengan mudah menemukan banyak keluarga
miskin yang
memperkerjakan anak perempuan atau laki-lakinya
menjadi pekerja seks
komersial dan ini bukan lagi hal yang bertentangan
dengan norma dan
nilai2 yang berlaku disana. enggak heran jika Thailand
menduduki
peringkat pertama prostitusi anak-anak yang disusul
oleh china dan
vietnam. Bahkan perdagangan perempuan dan anak2 di
thailand
terang-terangan dengan tujuan melacurkan diri berbeda
dengan di negara
kita yang berkedok pengiriman tenaga kerja.

Kalau boleh disimpulkan seks bagi thailand adalah satu
kebutuhan
mengingat seks sebagai komoditas, sedangkan di
Indonesia seks masih di
pandang sebagai keinginan. Memang tdk di sangkal
adanya kelompok yang
menjadi seks sebagai komoditas di dalam masyrakat kita
hanya saja
apakah kepentingan kelompok minoritas mengorbankan
kepentingan
mayoritas?? bagaimana perlindungan terhadap kelompok
masyoritas?

Dari sumber kompas tgl 23 Juli 2004 di beritakan bahwa
THAILAND yang
pernah dianggap sebagai contoh negara dengan kisah
sukses pencegahan
dan pengendalian epidemi AIDS. Kini infeksi HIV,
penyebab AIDS mulai
perlahan merangkak naik kembali. Bukan hanya di
kalangan pengguna
narkorba suntik, pria homoseks, dan kaum remaja, namun
juga di
kalangan kaum ibu dan bayi-bayi mereka. dalam berita
tersebut di
paparkan tentang bagaimana masyrakat mengalami
kejenuhan akan
penggunaan kondom.

Intinya kondom memang bisa menjadi media penyelesaian
sementara yang
cukup memadai tapi bukan solusi akhir yang harus di
wujudkan.
menempatkan kembali seks dalam koridor yang semestinya
adalah solsui
yang terbaik dan jangan sampai hal ini terabaikan
karena kita terlena
oleh peranan kondom yang ingin kita sosialisasikan.

salam,



                
__________________________________ 
Meet your soulmate!
Yahoo! Asia presents Meetic - where millions of singles gather
http://asia.yahoo.com/meetic



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Join modern day disciples reach the disfigured and poor with hope and healing
http://us.click.yahoo.com/lMct6A/Vp3LAA/i1hLAA/aYWolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke