Satu paket dengan tulisan Nadirsyah Hosen di Gatra, berikut ini kajian
The Wahid Institute tentang Peraturan-Peraturan Daerah yang sarat
dengan muatan Syariat Islam. Di antaranya adalah Perda di Kabupaten
Bulukumba, Sulsel. Pakar Hukum Tata Negara Denny Indrayana dalam
wawancaranya menganalisis latar belakang trend SI di daerah-daerah dan
membeberkan sejumlah permasalahannya.

btw, agak mengherankan juga Wahid Institute meggunakan istilah
"depancasilaisasi" padahal saya menangkap maksudnya di sini adalah
"islamisasi" atau "formalisasi" SI.

salam,
DWS

Edisi VII / GATRA-edisi 24/XII 29 April 2006

Depancasilaisasi Lewat Perda SI


Saat pemerintah pusat berupaya mempertahankan keutuhan NKRI,
pemerintah daerah justru menggerogotinya dengan menelurkan perda-perda
SI. Itulah upaya depancasilaisasi yang dilakukan para birokrat dan
elite politik dengan cara membajak syariat Islam.

Foto:
Spanduk "Dengan Visi Relijius Islami, Kita Masyarakatkan Poligami,"
sindiran bagi syariatisasi di Tasikmalaya dari Partai Nurul Sembako
Pimpinan Acep Z Noor.


SEPUCUK undangan dari Desa Garuntungan, Kecamatan Kindang, Bulukumba
untuk menghadiri pertemuan kader-kader kesehatan se-kecamatan diterima
Maria (nama samaran, red) dengan gembira. Dengan seragam pantalon
putih dipadu kemeja putih, bidan desa ini bergegas ke balai desa salah
satu desa percontohan syariat Islam itu.

Pelataran balai desa telah dipadati warga. Maria bergegas menuju
kerumunan itu. Namun langkahnya dihentikan panitia. Pasalnya,
perempuan yang rajin kebaktian di gereja ini tak memakai jilbab, tutup
kepala perempuan muslim. Meskipun petinggi desa setempat tahu Maria
adalah non-muslim, sehelai jilbab tetap saja disodorkan.

Maria tak mendebat. "Dari pada jadi masalah, saya pakai jilbab itu
dengan terpaksa," katanya kepada peneliti dari Lembaga Advokasi dan
Pendidikan Anak
Rakyat (LAPAR), Subair Umam dan Mukrimin Amin di Makassar.

Maria hanya puncak gunung es 'korban' pemberlakuan Peraturan Daerah
Kabupaten Bulukumba No. 5/2003 tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah
di Kabupaten Bulukumba.

Padahal pasal 13 perda itu menyebutkan: "Peraturan Daerah ini hanya
berlaku bagi masyarakat yang beragama Islam dan berdomisili dan atau
bekerja dalam wilayah Kabupaten Bulukumba."

Bahkan ayat 2 di pasal dan perda yang sama menegaskan: "Bagi
Karyawan/Karyawati, Mahasiswa/Mahasiswi dan Siswa/Siswi dan pelajar
serta masyarakat yang tidak beragama Islam busananya menyesuaikan
dengan ketentuan yang berlaku bagi agama masing-masing."

Selain perda di atas, Bupati Bulukumba Patabai Pabokori pada 25
Agustus 2003, juga mengesahkan dua perda lain yang bernuansa Islam.
Yaitu Perda No. 2/2003 tentang Pengelolaan Zakat Profesi, Infaq dan
Shadaqah Dalam Kabupaten Bulukumba, juga Perda No. 6/2003 tentang
Pandai Baca Al-Quran Bagi Siswa dan Calon Pengantin Dalam Kabupaten
Bulukumba.

"Karena perda mensyaratkan wajib bisa mengaji (baca Al-Quran, red)
beberapa perkawinan sempat tertunda karena calon pengantin tak dapat
memenuhi syarat itu , sedang pihak keluarga sudah sosialisasi
perkawinan anaknya. Dalam kebudayaan Bugis Makassar, pembatalan sebuah
perkawinan merupakan siri' (malu). Jadi Perda ini berpotensi memicu
konflik sosial," Subair Umam memaparkan penelitiannya.

Tak hanya bagi calon pengantin, Perda Pandai Baca Al-Quran
mengharuskan tiap pelajar yang akan naik kelas atau melanjutkan
sekolah untuk menjalani ujian mengaji. Mereka dinyatakan lulus bila
bisa membaca Al-Quran dan mendapat sertifikat sebagai tanda kemahiran.

"Sertifikat sebagaimana disebut pada ayat (1) dikeluarkan oleh Bupati
atau pejabat yang ditunjuk berdasakan rekomendasi dari sekolah yang
bersangkutan dan pengawas pendidikan agama," jelas pasal 5 ayat 2
perda itu.

Selain perda, Bupati Patabai yang mengaku menggunakan dana taktis
daerah untuk mendukung program pakaian muslim ini, juga membentuk 12
desa muslim sebagai percontohan penerapan syariat Islam. Tapi, proyek
yang telah dicanangkan bupati itu menyimpan aneka masalah.

"Penentuan antara desa percontohan muslim dan yang bukan, sangat
problematik dan bisa menimbulkan kecemburuan antar warga. Mereka yang
desanya tidak dianggap sebagai desa muslim juga bisa marah," tegas
anggota DPRD Bulukumba dari Partai Kebangkitan Bangsa, Zainal Abidin
kepada Muh. Mabrur dari LAPAR Makassar.

Jejak Bulukumba yang getol menerapkan syariat Islam ini diikuti
daerah-daerah lain di Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, Jawa
Barat, Kalimantan Selatan dan Sumatera Barat.

Para legislator daerah berbondong-bondong studi banding dengan kas
daerah dan menjiplak peraturan-peraturan bersifat Islami dari
kabupaten pengrajin Phinisi itu.

"Teknik legal drafting perda-perda itu bermasalah, karena copy paste.
Pergi ke satu daerah, balik dengan Perda dari daerah itu, diganti
judulnya, bahkan ada daerah yang lupa nama kabupaten (yang dijiplak,
red) masih belum diganti," ungkap Dosen Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada Denny Indrayana (lihat: Ada Unsur Melecehkan Al-Quran dan
Hadits).

Taktik legislator daerah yang diungkap Denny itu kembali terbukti,
ketika Anggota Komisi A DPRD Depok Qurtifa Wijaya mengakui, Rancangan
Peraturan Daerah Anti Pelacuran dan Anti Minuman Keras Kota Depok
meng-copy paste peraturan daerah serupa dari Kota Tangerang.

"Komisi A sudah melakukan kunjungan ke Kota Tangerang yang memiliki
Perda No. 7/2005 tentang Antimiras dan No. 8/2005 tentang Pelarangan
Pelacuran. Kunjungan termasuk juga ke Bali dan Banjarmasin," kata
anggota FPKS ini seperti ditulis Indo Pos (18/4/2006).

Di samping bermasalah pada teknik pembuatan, Denny Indrayana menilai,
perda bernuansa Islami tidak mematuhi hierarki perundang-undangan yang
dimandatkan UU No. 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.

Berdasar UU ini, perda berada di bawah UU No. 32/2004 tentang
Pemerintahan Daerah, yang lebih dikenal dengan UU Otonomi Daerah
(Otda). Disebutkan dalam Pasal 10 ayat 3 UU Otda, urusan politik luar
negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional,
dan agama merupakan wewenang pemerintah pusat.

"Kalau diatur perda, keagamaan jadi masalah daerah. Maka bisa
diinterpretasikan, ini kewenangan pusat yang diserobot oleh daerah,"
tegas Doktor Hukum Tata Negara lulusan Universitas Melbourne Australia
ini.

Dari situ, Program Officer Pluralisme Watch the WAHID Institute Rumadi
menyimpulkan, "Karena babonnya (tiga perda SI Bulukumba, red.) sudah
bermasalah, otomatis duplikatnya juga," katanya (lihat: Tiga Perda SI
Bulukumba Dikaji
Lewat UU).

Tapi , banyak cara menyelesaikan persoalan yang menumpuk dalam perda
itu. Menurut Rumadi, pasal 145 ayat 2 UU Otda menyatakan perda yang
bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah. Langkah ini
disebut executive review.

"Keputusan pembatalan perda ditetapkan dengan Peraturan Presiden
paling lama 60 hari sejak diterimanya perda itu," imbuh Dosen Syariah
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini mengutip ayat 3 pasal yang sama di
UU Otda.

Kenyataannya, perda-perda Islami itu masih tetap diberlakukan
pemerintah daerah hingga saat ini. "Menurut data yang kami dapat dari
Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah, beberapa daerah memang
sengaja tidak melaporkan keberadaan perda-perda yang dibuatnya. Hingga
saat kami masih mencari data apakah perda-perda Islami itu telah
sampai ke tangan Departemen Dalam Negeri atau belum," kata Rumadi.

Seandainya executive review tidak dijalankan pemerintah, jalan lain
yang masih terbuka yaitu mengajukan judicial review ke MA atau
mengajukan gugatan ke MK. "Di luar itu ada proses sosiologis, politis,
bagaimana masyarakat melakukan pressure di luar konteks hukum agar
terjadi legislative review," jelas Denny Indrayana.

Ironis, saat pemerintah pusat dengan berbagai upaya mempertahankan
keutuhan Indonesia, pemerintah daerah dan elite lokal justru
menggerogoti persatuan bangsa dengan menelurkan perda-perda dengan
membajak syariat Islam.

"Syariat Islam direduksi menjadi sekedar masalah kulit semata yang
tidak menyentuh
kebutuhan nyata masyarakat. Mereka gagal mempromosikan susbtansi
ajaran Islam (maqashid al-syariah) dalam konteks pelayanan publik,"
kata Rais Syuriyah NU Australia-New Zealand Nadirsyah Hosen (lihat:
Reformasi Syariat Birokrasi).

Unsur maqâshid al-syarî'ah lainnya yang gagal dipenuhi adalah hifdh
al-dîn (memelihara agama). Unsur ini bisa diberi konteks jaminan
kebebasan beragama bagi seluruh umat manusia seperti yang dijalankan
Rasulullah di Madinah.

Dengan demikian, perda-perda SI tidak saja bisa dibatalkan demi hukum,
tapi juga batal demi logika kemanusiaan, bahkan Islam.

Diperlukan ketegasan pemerintah pusat menghentikan proses
depancasilaisasi lewat perda SI ini, agar bangsa Indonesia yang
beragam tidak terpecah-belah.[]

Gamal Ferdhi, Nurul H Maarif


Edisi VII / GATRA-edisi 24/XII 29 April 2006

Suplemen ini dipersembahkan The Wahid Institute, bekerja sama dengan
The Asia Foundation dan Majalah GATRA.
Dapat dijumpai setiap bulan, pada pekan terakhir. Kritik dan saran
kirim ke [EMAIL PROTECTED] -
www.wahidinstitute.org


Tiga Perda SI Bulukumba Dikaji Lewat UU

Perda No. 6 Tahun 2003
Pandai baca Al-Quran Bagi Siswa dan Calon Pengantin

UU No. 20 tahun 2003
Tentang Sistem Pendidikan Nasional

Problem
1. Pasal 1 angka 4 dan 19, Kontradiksi terlihat ketika Perda tersebut
menyatakan "pendidikan agama adalah pendidikan agama Islam."
Diskriminasi terhadap pemeluk agama lain menjadi nyata karena ada
pengaturan soal khatam Al-Quran yang diperdakan.
Jika Perda tersebut hanya mengatur pendidikan agama bagi yang beragama
Islam, bagaimana dengan peserta didik yang beragama selain Islam?

2. Pasal 4 ayat (2) dan (3), Dalam Perda tersebut dinyatakan,
kemampuan baca tulis Al-Quran adalah wajib dan jika tidak mampu maka
akan dikenakan sanksi seperti termaktub dalam Pasal 4 ayat (1) dan
Pasal 8.
Ketentuan kewajiban yang disertai sanksi ini bertolak belakang dengan
prinsip pendidikan yang dianut dalam UU Sisdiknas yang mengedepankan
prinsip pembudayaan dan pemberdayaan serta pengembangan kemauan.

3. Pasal 11 ayat (1), Kontradiksi terlihat ketika Perda tersebut
menyatakan "pendidikan agama adalah pendidikan agama Islam."
Diskriminasi terhadap pemeluk agama lain menjadi nyata karena ada
pengaturan soal khatam Al-Quran yang diperdakan. Jika Perda tersebut
hanya mengatur pendidikan agama bagi yang beragama Islam, bagaimana
dengan peserta didik yang beragama lain?


UU N0. 32 tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah

Problem:
Kontradiksi terjadi ketika Pasal 10 huruf f UU No. 32 tahun 2004 yang
membatasi kewenangan Pemda dalam masalah agama ternyata malah
dilanggar. Kewenangan atributif ini tidak tak terbatas. Artinya tidak
semua hal bisa diatur oleh Pemda, diantaranya soal agama. Dan hal yang
dibahas di perda ini termasuk urusan agama yang seharusnya tidak
diperdakan.

Perda N0. 02 Tahun 2003
Pengelolaan zakat, infaq, dan shadaqah

Perda No.05 Tahun 2003
Berpakaian muslim dan muslimah Tentang Pemerintahan Daerah idem


Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment ....




YAHOO! GROUPS LINKS




Kirim email ke