Minggu, 07 Mei 2006
Ulama Politik
Oleh : Haedar Nashir
Siapa yang paling sibuk kalau ada perhelatan politik? Bukan hanya Komisi Pemilihan Umum dan partai politik. Para ulama pun bisa ikut sibuk. Tak kalah dari politisi. Bikin opini publik hingga kirim SMS. Silaturahim ke sana ke mari. Berdiskusi dan pengajian. Sambang calon dan lobi ke berbagai kalangan. Bahkan, kini ulama atau kiai piawai jadi pemimpin demo. Pendek kata melakukan berbagai aktivitas layaknya politisi sekaligus jadi tim sukses politik partikelir.
Salahkah? Apa sih yang tidak boleh di era reformasi yang sarat keterbukaan ini. Jangankan berpolitik, bahkan dukung pornografi, mogok, bikin rusuh hingga naikkan gaji sendiri gaya anggota parlemen pun sudah jadi pemandangan lumrah. Apa pun serba boleh di era baru itu. Lebih-lebih bagi para ulama atau tokoh umat. Jangankan jadi tim sukses, bahkan mau jadi politisi sekalipun tak ada larangan. Di tangan ulama, politik bahkan memperoleh sakralisasi, bisa tampak suci. Jika orang lain berpolitik sebagai urusan dunia, bagi ulama atau tokoh Islam bisa jadi urusan agama. Jangankan benar, salah pun ada dalil agamanya. Demi kemaslahatan umat atau untuk mencegah kemudharatan.
Jadi, apa yang salah? Bagi alim-ulama, pilihan berpolitik --termasuk memberi dukungan politik-- selalu ada pijakan teologis. Bahwa Islam tidak mengenal pemisahan antara agama (dien) dan politik (dawlat), sehingga Islam disebut sebagai agama sekaligus politik, al-Islam dien wa al-dawlat. Berpolitik bahkan dipandang sebagai panggilan suci, sebagai manifestasi ibadah dan jihad. Berpolitik bahkan identik dengan kewajiban dakwah, sehingga melahirkan partai politik "berjenis kelamin ganda", sebagai partai politik sekaligus partai dakwah. Dus, ulama pun bukan hanya boleh berpolitik, tetapi bahkan jadi wajib berpolitik. Berpolitik atas nama agama, bahkan atas nama Tuhan.
Bagi ulama bahkan seolah ada hak istimewa. Para ulama itu kan pewaris para Nabi. Apa pun yang dilakukan ulama, tidak lain mewarisi jejak Nabiyullah. Bukankah Nabi tidak hanya Rasul utusan Tuhan, tetapi juga panglima perang, bahkan kepala negara. Maka, ketika ulama berpolitik, berarti mengemban misi kerisalahan Nabi. Ulama tak pernah salah. Bagi ulama, kalaupun salah langkah dalam berpolitik, itu namanya ijtihad. Jika benar dapat pahala dua, salah dapat satu poin. Namun kenyataan dan aktualisasi ajaran tak sesederhana itu. Politik selalu melibatkan banyak kepentingan yang sangat pragmatik.
Bahkan keras. Selalu terdapat kepentingan-kepentingan yang saling berseliweran (cross cutting of interest), dari yang bersifat jabatan, uang, hingga ke hal-hal menggiurkan lagi. Politik selalu melibatkan persaingan, perebutan, dan konflik yang keras. Kawan jadi lawan. Lawan jadi kawan. Tapi ukurannya kepentingan, bukan kebenaran dan moral. Kebohongan, manipulasi, dan siasat pun jadi pakaian sehari-hari. Kendati banyak hal positif dalam politik, namun pertarungannya memang sangat keras, dan tidak banyak orang idealis menjalaninya.
Politik itu dunia rimba-raya. Tak berlebihan jika Muhammad Abduh yang semula aktif berpolitik, kemudian hengkang dari dunia yang dianggapnya kotor itu. Abduh sampai melakukan "talak politik" dengan mengatakan, "aku berlindung kepada Allah dari politik dan apa-apa yang menjadi urusannya".
Abduh tentu bukan tak paham Islam. Bahwa Islam berurusan dengan politik. Bahwa jika ada kemaslahatan dan untuk menjauhi kemudaratan, politik menjadi keniscayaan. Bahwa "Siyasah" itu berarti "sawas al-'amr", mengurus urusan (dunia) dengan sebaik-baiknya. Tokoh pembaru Islam dari Mesir itu tentu sangat paham. Tapi, dia mengambil posisi untuk meninggalkan jalur politik, kemudian menjelajah kembali dunia pembaruan Islam yang lebih luas. Memikirkan pencerahan alam pikiran. Memperbarui pendidikan dan pola pikir umat.
Pendek kata, Abduh adalah sosok Syaikh al-'Islam yang memposisikan diri sebagai obor pembaruan dan pencerahan umat. Sedangkan politik diserahkan pada para aktivis dan politisi Muslim yang memang menggumuli dunia itu dengan keahliannya.
Kalau boleh berharap, para ulama, kiai, dan tokoh umat di negeri ini banyak yang mengambil posisi seperti Abduh. Biarkan urusan calon ketua DPRD, gubernur, bupati, wali kota, dan jabatan-jabatan politik di ranah pemerintahan diurus oleh partai politik dan para politisi atau tim sukses politik. Mereka memang ahli dan berada di jalurnya yang tepat. Tak perlu jadi politisi dadakan, apalagi jadi perantara politik. Bukan tak penting. Tapi, banyak urusan umat yang lebih penting dan strategis ketimbang urusan jabatan-jabatan politik publik.
Kini banyak hal telah tercerabut di negeri ini. Para tokoh wibawa telah kehilangan wibawa. Wakil rakyat tidak lagi jadi penyambung nurani dan aspirasi rakyat, tapi jadi wakil partai dan kepentingan dirinya yang paling setia. Para pejabat negara tidak lagi jadi pelayan rakyat. Budayawan pun mulai kehilangan horizon kebudayawanannya karena dininabobokan oleh industri seni hiburan dan hegemoni pemilik modal. Para elite banyak yang kehilangan visi kenegarawanan.
Sedangkan pemimpin nasional kehilangan kepercayaan dan visi kepemimpinannya, hingga tak jelas bagaimana negara dan rakyat ini harus diurus dengan benar. Memang masih terdapat tokoh-tokoh nasional yang jernih dan menjadi pencerah, tapi jumlahnya dapat dihitung dengan jari. Karena itu, para ulama, kiai, cendekiawan, dan tokoh umat pun jangan ikut-ikutan menambah daftar delegitimasi elite yang sudah parah itu. Jika itu terjadi, maka bangsa ini akan semakin kehilangan tonggak dan obor bagi perjalanan mereka ke depan.
Di situlah tuntutan bagi ulama sejati. Ulama sebagai sosok berilmu dan memiliki hikmah melampaui nalar awam. Ulama sebagai figur ulul albab sang pencerah. Ulama sebagai pewaris para Nabi, yang benar-benar menyebar benih risalah rahmatan lil-'alamin. Ulama yang benar-benar berilmu dan memiliki hikmah, yang dengan keduanya membimbing umat untuk paham agama dan mampu mengelola kehidupan dengan baik. Ulama yang memberi arah, bukan yang sibuk mengurus dirinya sendiri, apalagi jadi pialang politik. Ulama yang matahatinya benar-benar cinta umat, cinta bangsa, cinta kemanusiaan, sebagai pantulan dari cintanya kepada Tuhan. Ulama yang mengayomi manusia tanpa membeda-bedakan asal-usul.
Ulama yang tidak gampang terseret pada isu dan politisasi, yang membuat umat terpecah-belah dan centang-perenang. Tapi tunggu dulu. Ulama yang ideal dan menjadi uswah hasanah memang seperti itu. Yakni ulama yang berilmu dan menguasai ilmu hikmah. Ulama jadi khadil al-'ummah yang sebenarnya. Ulama sebagai pencerah kehidupan. Namun, lain lagi dengan ulama yang memang mengambil jurusan politik. Giat di partai politik. Jadi politisi.
Jadi pialang atau broker politik. Tukang stempel setiap ada perhelatan politik, sambil dukung sana dukung sini. Itu namanya "ulama politik". Ulama bersyahwat politik, sekaligus bermain politik. "Ulama politik", ulama yang melibatkan diri dalam aktivitas politik, baik langsung maupun tidak langsung.
Terutama politik yang mengambil jurusan ke arah perjuangan kekuasaan (power struggle) sebagaimana dilakukan oleh politisi dan partai politik. Politik untuk meraih jabatan-jabatan publik di pemerintahan, baik untuk dirinya, kelompoknya, maupun siapa saja yang didukungnya. Termasuk politik untuk dukung-mendukung, sekaligus tolak-menolak. Mendukung atau sebaliknya menolak orang untuk memperoleh jabatan politik seperti jadi gubernur, bupati, wali kota, dan sebagainya. Ulama yang demikian, memang jurusannya ke dunia politik, bukan ke dunia pencerahan ilmu dan hikmah. Bukan "Ulama kultural", kata anak-anak muda.
Salahkah? Tak ada yang salah. Jika para ulama, kiai, atau tokoh umat mau terlibat dalam urusan politik-kekuasaan atau bahkan menjadi ulama-politik, itu hak setiap orang. Bila perlu, jadilah ulama-politik yang sungguhan dan profesional. Namun, jangan mempertaruhkan umat dan masyarakat luas. Tidak perlu membawa-bawa klaim atas-nama umat Islam, karena umat Islam itu luas dan majemuk sekali. Jangan bawa pula organisasi-organisasi Islam milik orang banyak, kecuali jika itu memang milik para ulama-politik sendiri.
Sekali ulama menerjunkan diri ke dunia politik-kekuasaan, memang pertaruhannya besar. Agama dan politik akhirnya dijadikan faktor pemecah, bukan pemersatu. Umat dan agama akan diseret ke politisasi yang paling pragmatis. Jatuh ke jurang politik-praktis yang paling nyata (real politics), yakni dunia politik rendahan (low politics).
Hasil akhirnya bisa serba kontras: Islami tidak Islami, bermoral versus tidak bermoral. Terjadi hegemoni dan politisasi agama. Bahkan Tuhan pun bisa dibawa-bawa dalam percaturan politik rendahan itu, dengan semangat yang serba sakral dan teosentrisme. Tidak tertutup kemungkinan secara politik pun akan berakhir anti-klimaks. Setelah pesta pora politik usai, umat tercerai-berai, dan ulama pun kian kehilangan pesona sebagai sosok pencerah. Ulama, masihkah mau berpolitik?
[Non-text portions of this message have been removed]
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com
This mailing list has a special spell casted to reject any attachment ....
SPONSORED LINKS
Women | Islam | Muslimah |
Women in islam |
YAHOO! GROUPS LINKS
- Visit your group "wanita-muslimah" on the web.
- To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]
- Your use of Yahoo! Groups is subject to the Yahoo! Terms of Service.