Pada bulan April, anak-anak di kelas terakhir, dari mulai tingkat sekolah
dasar hingga di tingkat sekolah menengah sedang disibukkan dengan try out
dan ujian-ujian masuk sekolah tingkat selanjutnya termasuk untuk masuk ke
universitas. Bukan saja anak-anak yang sibuk, para orangtuapun cukup
disibukkan dengan ritual menjelang akhir tahun ajaran ini, yaitu membantu
anak-anaknya agar mendapat nilai yang baik dengan cara mengawasi jam
belajar, mengajari anak-anak,dan bahkan ada yang sampai berpuasa dan shalat
tahajud, memohon kepada Allah SWT agar anak-anaknya mendapatkan nilai yang
memuaskan atau diterima di sekolah yang dituju.

Berbeda dengan dekade sebelumnya dimana ujian saringan masuk ke sekolah
lanjutan/universitas dilaksanakan setelah anak-anak selesai ujian akhir,
maka sejak beberapa tahun yang lalu, sejak awal tahun kalender, sekolah dan
universitas mulai jorjoran mengiklankan diri dalam penerimaan/pelaksanaan
ujian dalam rangka seleksi penerimaan murid dan mahasiswa baru pada triwulan
kedua. Seleksi calon murid/mahasiswa telah dilaksanakan jauh hari sebelum
ujian akhir berlangsung.

Anak-anak sendiri, tidak kalah stressnya dalam menghadapi evaluasi hasil
belajar. Les-les matematika, bahasa Inggris sudah rutin menghiasi
hari-harinya. Tidak itu saja, demi sebuah ambisi yang berbungkus
"menyalurkan bakat anak" atau "mempersiapkan diri dalam era global", sejak
kecil anak-anak sudah pula disibukkan dengan kegiatan-kegiatan tari (umumnya
balet atau tari bali), les musik, les melukis bahkan sampai dengan les-les
kepribadian.

Betapa lelahnya menjadi anak-anak yang hidup di bawah tekanan "mempersiapkan
diri memasuki era global". Apalagi, hidup di kota besar yang padat, membuat
perjalanan dari rumah ke sekolah lalu ke tempat les menjadi sangat panjang,
lama dan menjemukan. Tidak jarang ditemukan, seorang anak harus bangun pada
jam 04.30 untuk shalat, mandi dan segera berangkat ke sekolah. Sarapan di
mobil, di tengah antrian mobil dalam kemacetan. Usai sekolah langsung
berangkat ke tempat les dan baru kembali sampai rumah sesudah hari menjelang
malam, atau sekitar jam 18.00 atau 19.00. Lelah lahir dan batin. Manalagi
waktu yang tersisa untuk belajar, apalagi untuk bersenang-senang.

Ini adalah potret kehidupan seorang anak dari kelas menengah dan kelas atas
di Indonesia terutama yang hidup di Jakarta. Namun kelelahan dan kejemuan
bukan hanya milik mereka. Hampir semua anak-anak yang hidup di kota besar,
mengalami hal yang sama. Bangun pagi, sarapan seadanya kalau sempat.
Anak-anak lainnya masih harus mengejar kendaraan umum yang terkadang enggan
mengangkut mereka, berpeluh sambil menghirup udara kotor bertimbal, yang
katanya bisa menurunkan kecerdasan. Bahkan tidak jarang terlihat anak-anak
usia sekolah masih berkeliaran, menjajakan koran atau bahkan menjajakan
suara dalam lagu yang kadang tak jelas benar apa maknanya, di jalanan hingga
larut malam untuk mengetuk belas kasih pengendara mobil. Entah orang tua
mana yang tega membiarkan mereka kehilangan masa kanak-kanak yang ceria.
Kemiskinan, mungkin telah membuat mereka tidak berdaya. Begitu beratnya
kehidupan yang harus dijalani anak-anak, hingga mereka sama sekali tidak
lagi sempat mengikuti naluri alamiahnya, yaitu bermain, mengeksplorasi
keingintahuannya dalam kegiatan yang sesuai dengan umurnya. Yang paling
parah tentunya, berdampak pada pemahaman mereka tentang uang dan pendidikan.
Menyimak dua sisi yang jauh berbeda ini, terbersit pertanyaan, untuk apa
sebenarnya semua "kehebohan" ini?

* *
*Ambisi orang tua.*
* *
Pendidikan dan masa depan anak-anak tidak pernah lepas dari perhatian para
orang tua. Siapapun mereka dan dari kalangan apapun mereka. Orang tua akan
selalu berharap bahwa anak-anak mereka, suatu waktu kelak, akan mencapai
"kesuksesan" sebagaimana yang telah mereka raih. Bahkan di kalangan miskin,
harapan ini semakin bertambah dengan keinginan agar anak-anak itu tidak lagi
mengalami kepahitan hidup orang tuanya dan kalau mungkin menjadi "alat" dari
orang tuanya untuk keluar dari jaring kemiskinan. Demi sebuah masa depan
yang kita semua tidak tahu, maka seorang anak "dipaksa" sejak dini untuk
mulai dibentuk sesuai dengan "bayangan" orang tua akan masa depan yang
nantinya akan dihadapi oleh anak.

* *
*Masa depan yang bagaimana yang akan dihadapi oleh si anak di masa yang akan
datang?*

Dalam pemikiran yang sangat sederhana, masa depan yang dihadapi oleh seorang
anak adalah; dia harus bisa melepaskan diri dari ketergantungannya kepada
orang tua dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, termasuk di antaranya adalah
kebutuhan sandang pangan dan papan. Bahkan kemudian, sesuai dengan kodrat
yang ditetapkan dalam penciptaan manusia, maka si anak akan menikah dan
beranak pinak, mengulangi siklus kehidupan manusia. Jadi, seluruh perjalanan
hidup sejak kecil, bertumbuh menjadi kanak-kanak, remaja lalu beranjak
dewasa lengkap dengan segala kegiatan fisik, maupun rohani, apakah itu
bentuknya olah pikiran, yaitu bersekolah atau sekedar olah otot membantu
orang tua bekerja di kebun/hutan, kesemuanya merupakan suatu latihan dan
proses yang harus dijalani anak manusia untuk melepaskan diri dari
ketergantungan tersebut.

Andreas Harefa, salah seorang pelopor gerakan manusia pembelajar, dalam
salah satu buku karangan, menyatakan bahwa pendidikan harus mampu menjadikan
masyarakat menjadi mandiri namun tidak menjauhkannya dari alam dan
lingkungan dimana dia berada.

Kalau tujuan akhirnya adalah kemandirian baik secara fisik, emosional maupun
keuangan, apalagi dengan prasyarat "tidak menjauhkan dari alam dan
lingkungan dimana dia berada", maka ada banyak cara untuk menuju kesana dan
sekolah hanya merupakan salah satu cara saja. Dan sekolah yang terbaik
adalah sekolah yang mengakar kepada kebutuhan dan alam dimana peserta didik
itu berada.

Dengan logika yang sederhana itu pula,  dan dalam kasus yang sangat ekstrim,
kita kemudian dapat mempertanyakan, apakah sekolah bagi anak-anak suku anak
dalam di Jambi atau anak-anak suku Dani di lembah Baliem, harus memiliki
kurikulum yang sama dengan anak-anak di pulau Jawa?. Tidak perlu terlalu
jauh membandingkan dengan kebutuhan anak sekolah di pulau Jawa. Apakah
sekolah yang dibutuhkan mereka sama dengan anak-anak sekolah di salah satu
kota kabupaten di Sulawesi. Apakah mereka juga harus mengikuti kurikulum
standar dari Diknas serta mengikuti ujian nasional? Apakah memang mereka
membutuhkan hitungan-hitungan rumit a la anak-anak sekolah di kota-kota
besar, sementara kebutuhan riel yang mereka hadapi adalah cara bertahan
hidup di tengah hutan. Mereka membutuhkan keterampilan mengolah alam bukan
hitung-hitungan matematika yang rumit. Pendapat ini mungkin dianggap sebagai
"pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Menghambat kemajuan putera daerah.

Tetapi marilah kita berpikir secara rasional dan realistis. Berdasarkan
penelitian, hanya ada 15% manusia yang bisa melanjutkan pendidikan hingga ke
jenjang sarjana ke atas baik terutama ditinjau dari sisi kemampuan akademik.
85% lainnya adalah manusia yang memang hanya mampu menempuh pendidikan
menengah dan rendah. Baik karena kemampuan akademis maupun finansial. Bagi
anak-anak seperti ini, maka yang diperlukan adalah eksplorasi kemampuan "non
akademis", berupa pengajaran praktis – keterampilan yang langsung dapat
dimanfaatkan sebagai bekal menata kehidupan di masa depan. Sekaligus juga
mengeksplorasi "bakat-bakat terpendam".  Bagi anak-anak seperti ini, sekolah
umum cenderung membelenggu dan mematikan kreatifitas manusia.

Konon pula, keberhasilan Jepang dan Jerman untuk bangkit dari kehancuran
total selama perang dunia ke dua disebabkan karena pemerintah kedua negara
itu menaruh prioritas pembangunan pendidikan jenjang menengah terutama pada
pendidkan kejuruan. Bukan kepada pendidikan tinggi dengan gelar-gelar yang
mentereng. Konsentrasi pembangunan tenaga menengah pada gilirannya, mampu
meningkatkan jumlah tenaga terlatih kelas menengah yang kemudian menopang
kebangkitan industri di kedua negara tersebut.

Sayangnya, paradigma pendidikan Indonesia cenderung "menghamba" kepada gelar
akademis. Bukan kepada proses dan kompetensi. Setiap orang dicekoki oleh
paradigma bahwa menjadi sarjana adalah jaminan masa depan yang lebih cerah.
Tanpa melihat kondisi geografis, demografi, sosial, budaya serta distribusi
ekonomi  Indonesia yang kurang merata. Tidak heran bila semua orang berebut
dan berlomba-lomba masuk universitas agar kelak menjadi sarjana. Kualitas
lulusan SMApun semakin menurun, karena kualitas sekolah ditentukan oleh
seberapa banyak lulusannya yang diterima di universitas terkemuka Indonesia.
Sebagian besar sekolah lebih bangga dengan status kelulusan 100%
dibandingkan dengan kualitas lulusan. Tidak heran, saat para lulusan SMA
tidak mampu melalui ujian saringan masuk Universitas berkualitas, maka
universitas "cap dua kendi" (ini istilah yang selalu digunakan Budi
Tampubolon, untuk menekankan sesuatu yang buruk kualitasnya) pun dimasuki.
Akhirnya, gelar sarjana tidak lagi mencerminkan kompetensi para
penyandangnya.

Konon, di negara maju seperti Perancis, tidak banyak anak muda yang memiliki
ijasah bacalaureat (berhasil lulus dari sekolah setara SMA) untuk kemudian
masuk universitas/grande ecole. Toh lulusan sekolah mereka, pada jenjang
manapun juga memiliki keterampilan yang memadai untuk bekerja. Apalagi
dengan persyaratan ketat "kompetensi", bekerja sebagai tukang potong
dagingpun wajib memiliki sertifikat yang menandai pengetahuannya tentang
tubuh binatang dan bagaimana menghasilkan potongan-potongan daging yang baik
dan benar dari setiap bagian tubuh binatang.

Masalahnya, perbedaan tingkat sosial di Indonesia terlalu besar dan berbagai
kebijakan yang dibuat terlalu berorientasi pada kebutuhan golongan menengah
ke atas dan memang sudah memerlukan pendidikan dengan wawasan global.
Sementara itu, seperti sering dikatakan, 80% penduduk Indonesia hidup di
pedesaan dan bahkan hingga di pelosok gunung/pedalaman hutan perawan dan
pesisir pantai yang jauh dari jangkauan modernisasi yang melanda kota besar.
Pendidikan kepada mereka tentu harus disesuaikan dengan kebutuhan riel
lingkungan hidup mereka yang dekat dengan alam. Yaitu kebutuhan pendidikan
yang berbasis kompetensi untuk memanfaatkan alam sehingga mereka mampu
menggunakan sumber daya alam sekelilingnya untuk kemudian meningkatkan taraf
hidupnya. Ini mungkin lebih realistis daripada mendapat pendidikan akademis
yang terasa absurd bagi rakyat kebanyakan.
Betapa besarnya kerugian bangsa ini bila para pengambil kebijakan tidak
dapat menangkap esensi pendidikan yang responsif terhadap kebutuhan
masyarakat Indonesia yang memang beragam tingkat sosial, ekonomi dan
lingkungan hidup. Kebutuhan akan pendidikan yang mampu membuat anak-anak
Indonesia mandiri dan responsif terhadap lingkungan dimana mereka besar dan
tinggal. Yang mampu menahan mereka untuk tetap tinggal di kota tempat mereka
lahir dan dibesarkan, mengembangkan potensi daerahnya masing-masing
dibandingkan dengan keinginan berbondong-bondong melakukan urbanisasi ke
kota besar. Pendidikan yang mampu membuat seluruh anak Indonesia merasa sama
tinggi sama derajat dimanapun mereka berada dan apapun profesinya.

Bila ini bisa diterapkan, tentu bangsa ini tidak akan mengalami kerugian
akibat ketidak seimbangan antara biaya dan waktu yang terbuang dengan hasil
pendidikan yang diperoleh peserta didik. Sampai kapan ini akan berlangsung?

Diselesaikan di lebak bulus – jakarta selatan, 5 mei 2006


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Get to your groups with one click. Know instantly when new email arrives
http://us.click.yahoo.com/.7bhrC/MGxNAA/yQLSAA/aYWolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke