http://kompas.com/kompas-cetak/0605/15/opini/2654565.htm

 
Berperikemanusiaan, tetapi Tidak Adil

Tamrin Amal Tomagola



Penghentian proses peradilan Soeharto (Kompas, 11/5) oleh pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu, seperti yang diumumkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Menko Polhukam, jelas merupakan tindakan berdasar perikemanusiaan yang beradab, tetapi tidak adil.

Tindakan penghentian bukan hanya menghentikan proses peradilan Soeharto, tetapi juga contoh paling mencolok dari penghentian penegakan sila perikemanusiaan yang adil dan beradab. Tindakan itu tidak hanya melanggar sila kedua Pancasila, kerangka-dasar ideologi konstitusional Republik ini, tetapi juga dapat dimaknai sebagai upaya (1) obstruction of justice, penghalangan penegakan keadilan; (2) mengekalkan impunity, ketakterjamahan hukum; dan 3) pengingkaran janji pemilu pasangan SBY-JK yang saat itu merayu calon pemilih dengan slogan: Aman, Sejahtera, dan Adil. Semakin jauh panggang dari apinya.

Pelanggaran Pancasila

Secara utuh, prinsip penyelenggaraan pemerintahan negara dalam sila kedua Pancasila adalah: perikemanusiaan yang adil dan beradab. Utuh artinya tidak boleh diambil sepotong-sepotong. Tak boleh hanya perikemanusiaan saja yang ditekankan, itu pun terbatas berlaku untuk Soeharto, dan pada waktu yang sama menenggelamkan nilai-nilai keadilan dan keberadaban.

Para kader didikan Soeharto, sipil dan militer, yang kini menguasai berbagai lembaga kenegaraan, old players, new games, yang beberapa waktu lalu di Istana sepakat menghentikan proses peradilan Soeharto, lalai menerapkan sila kedua secara utuh. Pelanggaran Pancasila berupa penyunatan dalam penerapan, cukup menjadi alasan konstitusional yang sah untuk pengguliran proses impeachment, pemecatan Presiden dan Wakil Presiden.

Perlu dicamkan, nilai fundamental perikemanusiaan berarti bahwa dalam hidup berbangsa dan bernegara kita menghargai dan menjunjung tinggi tuntunan nurani yang membela dan mempertahankan hidup semua ciptaan Tuhan, khususnya hidup dan kehidupan manusia. Tidak boleh ada penyiksaan, apalagi penghilangan hidup/nyawa makhluk, khususnya manusia, tanpa alasan yang adil dan dengan cara yang tidak beradab. Semua kitab suci tegas menggariskan prinsip ini. Pemotongan hewan dan pembabatan hutan hanya dapat dilakukan bila itu tidak hanya untuk menopang hidup manusia, tetapi juga demi penjagaan keseimbangan ekosistem kehidupan secara utuh-holistik.

Penggundulan hutan di berbagai pulau Nusantara dan pengerukan isi perut bumi dan laut oleh mesin ekonomi-politik yang dikemudikan Soeharto adalah perbuatan kriminal terhadap ibu pertiwi Indonesia. Apalagi penyiksaan manusia dalam sel-sel Orde Baru dan penghilangan tanpa jejak politisi dan aktivis mahasiswa adalah tindakan penghancuran hidup manusia yang tak terperikan.

Luka dan kerusakan akan terus menganga, menampakkan diri ke beberapa generasi. Luka dan kerusakan hanya dapat terobati bila kuman-kuman penyebabnya diungkap di pengadilan. Bangsa ini cukup matang dan beradab untuk memaafkan, tapi mustahil untuk melupakan semua. We forgive but we never forget.

Dasar penghentian proses peradilan Soeharto dilakukan hanya didasarkan pertimbangan kemanusiaan sempit-terbatas untuk Soeharto-yaitu kesehatan yang kian memburuk. Keadilan jenis ini bukan keadilan yang beradab karena melupakan, writing-off, keadilan bagi pihak lain.

Apakah adil bagi Bung Karno yang ditelantarkan (Kompas, 11/5)? Apakah adil bagi Ibu Pertiwi yang menjadi gersang-tandus dan kekayaan bumi Nusantara yang diobral ke pihak asing? Apakah adil bagi ratusan ribu keluarga yang pecah berantakan karena mesin kekerasan di Aceh dan Papua Barat?

Harus diadili

Kalaupun secara fisik Soeharto tidak dapat dihadirkan, ia tetap dapat diadili tanpa perlu hadir di ruang sidang. Apalagi dalam proses peradilan, penasihat hukum lebih berperan. Penghentian proses peradilan yang dilakukan pemerintah akan dicatat dalam sejarah Indonesia modern sebagai upaya penghadangan penegakan keadilan, obstruction of justice. Padahal, yang diadili adalah wujud kekuasaan yang rakus dan terus dahaga secara material maupun institusional. Suatu kekuasaan tanpa kontrol sama sekali.

Proses peradilan sendiri adalah proses berharga agar bangsa ini mengenali ulah dan polah suatu kekuasaan yang totaliter dan otoriter. Inilah tujuan utama tuntutan proses peradilan agar dilanjutkan.

Seperti namanya sudah self-explanatory, proses peradilan bertujuan akhir menegakkan keadilan, baik bagi Soeharto maupun korbannya. Adil bagi Soeharto, karena mungkin berbagai penjarahan Ibu Pertiwi dan kebengisan atas sebagian anak bangsa bukan perintahnya. Ada pihak lain yang lebih patut dimintai pertanggungjawaban. Semua itu hanya akan menjadi jelas jika proses peradilan dibiarkan bergulir tanpa rekayasa.

Namun, harus diakui, justru pada titik inilah pokok masalahnya. Ada banyak pihak yang berutang budi pada penguasa Orde Baru itu, baik secara finansial, spiritual, maupun promosi jabatan, takut terseret. Cermatilah para tokoh lembaga negara yang hadir pada pembuhulan kesepakatan di Istana.

Mengingat pengadilan Soeharto adalah pengadilan atas suatu rezim, mereka ramai-ramai menyelamatkan leher. Para oligark kecil gotong royong, ethok-ethok-nya, pura-pura menyelamatkan panglima oligark.

Ibu Pertiwi berduka karena penegakan perikemanusiaan yang adil dan beradab di haribaannya dihentikan. Sungguh malang nasibmu, Ibu.

Tamrin Amal Tomagola
Sosiolog


[Non-text portions of this message have been removed]



Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment ....




YAHOO! GROUPS LINKS




Reply via email to