Mawar Merah Café Bandar
SUNGAI SEINE DAN KISAH-KISAH LAINNYA 14 "LES VIEUX SONT TOUJOURS LA" Pertandingan antara kesebelasan sepakbola Perancis melawan Brasilia, yang berlangsung Sabtu, 01 Juli 2006 kemarin malam diikuti dengan cermat oleh seluruh penduduk Perancis. Mereka mengikuti melalui café, restoran yang ada tivinya dan dari rumah masing-masing. Oleh perhatian luar biasa besar akan pertandingan seperdelapan final piala dunia ini, antara Perancis dan Brasilia ini, jalan-jalan menjadi sepi dan kegiatan di restoran atau café relatif terhenti. Termasuk di Koperasi Restoran Indonesia yang berada di pusat kota Paris. Untuk memberi laporan pandangan mata tentang pertandingan, radio mengerahkan tim khusus terbaik hingga jam 24.00 malam. Sehari sebelum pertandingan berlangsung, Raymond Domenech, pelatih kesebelasan Perancis ditanyai wartawan tentang kemungkinan menang Perancis. Raymond dan beberapa pemain Perancis hanya menjawab bahwa "dua kesebelasan sudah lama saling mengenal. Tentu pertandingan akan seru". Sedangkan Ronaldo, dan Ronaldino, bintang-bintang kesebelasan Brasilia ketika ditanya hanya menjawab singkat: "kami sangat menghormati kesebelasan Perancis". Dari pernyataan-pernyataan ini tak kurasakan dan tak kudengar ada kepongahan dari keduabelah pihak. Barangkali karena selain sudah saling mengenal juga mungkin disebabkan semua sadar bahwa "bola itu bundar". Domenech beralasan jika mengatakan kedua kesebelasan saling mengenal karena tidak sedikit dari pemain kesebelasan nasional Brasilia yang bermain di klub-klub Perancis seperti juga kesebelasan-kesebelasan dari negeri-negeri Afrika. Sementara itu, pers Jerman, secara terbuka mengejek Zidane yang sudah minta pensiun tapi didesak rakyat Perancis untuk bermain dalam memperebut piala dunia sekarang, sebagai sebatas "bintang iklan". Ejekan juga dilemparkan oleh pers Jerman dan juga Perancis. Mengenai ejek-mengejek, hina-menghina begini, aku masih belum memahami kepentingan dan kegunaannya. Apalagi mengejek bangsa lain. Tapi agaknya ejekan dan hinaan ini hanya berdampak balik yang positif memperkuat tekad kesebelasan Perancis. Melahirkan mimpi dan tekad, jika menggunakan istilan Zinedine Zidane yang sehari-hari dipanggil dengan Zizu. Pemain asal Aljazair dan tinggal di Marseille , kota pelabuhan terbesar Perancis dengan penduduk sangat beragam. Untuk memberi dorongan kepada tim nasionalnya, Presiden Perancis, Jacques Chirac sendiri telah meluangkan waktu khusus untuk hadir. Dan kehadiran sang presiden turut memberi dorongan semangat kepada para pemain yang kemudian memang nampak bermain habis-habisan dalam menghadapi raksasa sepakobola dari Amerika Selatan ini. Yang paling menarik bagiku dari kesebelasan nasional Perancis, pertama-tama bukanlah kemenangan atau kekalahan mereka. Melainkan komposisi anggota kesebelasan yang warna kulit dan asal negeri mereka yang berbagai macam. Tentu saja sekarang mereka semuanya sudah berwarganegara Perancis. Keadaan kompoisisi inilah yang oleh Le Pen, pimpinan partai Front Nasional yang berkencederungan neo-nazi dan rasis, dikutuk. Tapi Jacques Chirac ketika menjadi presiden, menjawab dan menyatakan sikapnya dengan memindahkan makam sastrawan Alexandre Dumas ke Pantheon, makam putera-puteri terbaik Perancis. Seperti diketahui Alexandre Dumas, adalah putera dari seorang perwira tentara Perancis yang berdarah Afrika Hitam. Dalam pidato pemindahan makam Chirac antara lain mengatakan bahwa pemindahan makam Alexandre Dumas ke Pantheon menunjukkan bahwa Perancis itu adalah suatu kebhinnekaan. Ini adalah kenyataan Perancis. Pandangan dan sikap ini kembali diulangi oleh Jacques Chirac ketika meresmikan Museum Seni 'Post Kolonial' Quai Branly pada 20 Juni 2006 lalu. [Lihat: Harian Le Monde, Harian La Croix, Paris, 21 Juni 2006]. Pandangan dan sikap begini agaknya sudah dikhayati benar oleh rakyat Perancis. Sehingga ketika Le Pen sempat jadi calon presiden, seluruh lapisan masyarakat berduyun-duyun ke jalan memprotes dan menyatakan tantangan mereka. Chirac kemudian terpilih menjadi Presiden Perancis dengan suara lebih dari 80 persen. Rakyat Perancis tidak melupakan betapa pahitgetirnya pengalaman mereka ketika pada masa Perang Dunia II diduduki oleh Nazi Jerman. Tapi negeri ini tetap membiarkan partai Front Nasional berdiri dan melakukan segala kegiatan sebagai hak dasar warganegara dan anak manusia. Tak ada suara dominan yang menuntut pembubarannya. Yang dilakukan adalah penyadaran dan pendidikan. Sebagai ujud dari kenyataan Perancis yang majemuk. Sehubungan dengan ini aku jadi teringat akan percakapanku dengan salah seorang penulis sejarah sastra Perancis, Dr. Christine Leclerc. Tim penulis pada waktu itu terlibat dalam suatu debat keras tentang F.Celine, penulis roman "Au But de la Nuit" [Di ujung Malam], yang secara politik cenderung membela fasisme Hitler. Kesimpulan Tim? Celine tetap dicantumkan.Tetap mengisi lembaran-lembaran buku sejarah sastra yang mereka susun. Celine adalah suatu kenyataan. Sejarah tidak bisa mengingkari kenyataan dengan alasan apa pun. Sikap ini sesuai dengan prinsip republiken. Prinsip Republik Perancis: "liberté, egalité et fraternité" [kemerdekaan, kesetaraan dan persaudaraan], buah warisan nilai Revolusi Perancis. Aku tidak tahu apakah sikap dan pandangan ini bisa kita jadikan acuan ketika kita masih menyebut negeri kita sebagai Indonesia dan masih menamakan bentuk negara yang kita pilih sebagai Republik. Jika konsekwen dengan nama pilihan Republik Indonesia maka kukira selayaknya kita menghentikan peminggiran warga negara dan menjunjung nama pada dua kata tersebut yang merupakan rangkaian nilai agung. Tim nasional sepakbola Perancis, aku lihat sebagai salah satu ujud dari konsep republiken dan keperancisan di samping juga yang diperlihatkan oleh sosok sastrawan Alexandre Dumas dan tokoh-tokoh lainnya yang berjasa mengangkat nama Perancis. Karena itu kukatakan bahwa menang kalahnya tim ini tidak menjadi soal utama karena menang dan kalah, termasuk dalam olahraga bukanlah hal ganjil dibandingkan dengan nilai kandungan. Walau pun kemenangan tim ini akan berdampang pada sosialisasi nilai. Dari keragaman tim ini juga, aku melihat betapa kemajemukan merupakan suatu kekayaan jika dikelola semestinya. Hal kedua yang menarik perhatianku dari tim sepakbola nasional Perancis ini adalah kompisisi pemain muda dan tua. Kali ini tim didominasi oleh pemain-pemain muda. Pemain tuanya hanya empat yaitu Zidane, Thierry, Makalele dan Barthez. Tentang pemasangan pemain-pemain tua ini, sebagai pelatih, Raymond Domenech mengatakan: "Perancis masih memerlukan mereka". Dan saat kemenangan atas tim Brasilia, Domenech berkomentar: "Les vieux sont toujours là" [Yang tua-tua masih berada di pos mereka]. Bagiku pernyataan ini mempunyai makna dalam, yaitu bagaimana memadukan kemampuan semua angkatan dalam melakukan kesinambungan. Dan dengan pernyataannya ini juga, sekaligus aku melihat bahwa di mata Domenech, betapa perlunya kesinambungan generasi itu. Apabila setelah kemenangan Perancis atas Brasilia malam ini, lalu di kota-kota pusat sepakbola, penduduk turun secara spontan mengungkapkan kegirangan seperti di Paris, Marseille dan Lyon, aku memahaminya betapa dalam menyatukan kemajemukan masyarakat diperlukan adanya suatu perekat. Yang jelas rasisme, diskriminasi, penyingkiran dan absolutisme atau keinginan mendominasi minoritas, hanya akan berdampak negatif. Memecahbelah. Barangkali bukan pula kebetulan jika di stadion Frankfurt di mana pertandingan dipajangkan dengan huruf-huruf besar slogan: "No to racism!". Dari adanya slogan ini aku juga membacanya sebagai pesan politik manusiawi. Sepakbola mempertemukan dan menyatukan putera-puteri bumi dari segala penjuru yang merindukan hidup manusiawi, damai, persahabatan serta kasihsayang. Ah, barangkali aku terlalu jauh berkata dan tak genap lagi membaca keadaan, terutama keadaan Perancis, oleh karena mata pengetahuan dan hati yang rabun kian hari kian digerogoti usia. Apalagi kehidupan dari ke hari di mana duka berkeliaran makin menambah parit-parit menambah parit-parit di dahi menguji ketetapan pilihan dan kesetiaan pada mimpi. Tapi sekali pun demikian, jika membuat varian terhadap kata-kata Rendra sekalipun tubuhku seperti anjing, aku masih mau menulis kalimat-kalimat sebagai manusia. Kendati pun ternyata "aku hanya seorang pengembara" seperti ujar Ramadhan KH alm. Pengembara yang masih mencintai republik dan Indonesia. Karenanya masih saja kuucap: "Aku masih mencintaimu!" *** Paris, Juli 2006 ---------------------- JJ. Kusni Keterangan foto: Suasana beberapa café yang terletak di sekitar sungai Seine di kilometer nol, Paris. [foto Jelitheng. Dok. JJK] [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Something is new at Yahoo! Groups. Check out the enhanced email design. http://us.click.yahoo.com/SISQkA/gOaOAA/yQLSAA/aYWolB/TM --------------------------------------------------------------------~-> Galang Dana Untuk Korban Gempa Yogya melalui Wanita-Muslimah dan Planet Muslim. Silakan kirim ke rekening Bank Central Asia KCP DEPOK No. 421-236-5541 atas nama RETNO WULANDARI. Mari berlomba-lomba dalam kebajikan, seberapapun yang kita bisa. ======================= Milis Wanita Muslimah Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat. Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED] Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/