//Kepercayaan Tuhan menjelma di mana-mana atau `manunggaling kawula
lan gusti' tak pernah surut. Nabi sendiri tidak pernah memposisikan
dirinya lebih dari `hamba Tuhan'//


Oleh: Dr. Syamsuddin Arif *)

 
Suatu hari, seorang pengembara mengetuk pintu rumah Junayd, tokoh sufi
terkemuka pada zamannya. "Siapa di situ?" tanyanya. Si tamu menjawab:
"Aku Sang Kebenaran (ana l-haqq)!" Mendengar itu Junayd berkata: "Anta
bi l-Haqq. Engkau bakal membinasakan kayu bakar". Ramalan Junayd
terbukti. Pada hari Selasa 24 Dzulqa'dah 309 Hijriah bertepatan dengan
26 Maret 922 Masehi, sang pengembara yang tidak lain adalah Abu
l-Mughits al-Husayn ibn Manshur al-Hallaj dihukum mati di alun-alun
kota Baghdad. Ucapan-ucapannya –yang tertuang dalam bentuk prosa
maupun puisi- dinilai menyimpang dan mengelirukan karena mengajarkan
pantheisme dan manunggaling kawula lan gusti.

 

Pantheisme ialah kepercayaan bahwa Tuhan menjelma di mana-mana, bahwa
segala yang wujud di alam ini adalah perwujudannya. Sedangkan
`manunggaling kawula lan gusti' secara literal berarti menyatu hamba
dan Tuhan. Ajaran mistis ini pernah menggegerkan Kerajaan Islam Demak
sehingga Syekh Siti Jenar (Lemah Abang) dieksekusi oleh para Wali
Sanga. Sesudahnya pernah juga heboh kasus Haji Mutamakkin yang
menganggap ibadah-ibadah zahir tidak perlu bagi orang yang sudah
menyatu dengan Tuhan (Lihat: P.J. Zoetmulder, Pantheïsme dan Monisme
dalam Sastra Suluk Jawa, terj. Dick Hartoko, Jakarta: Gramedia, 1991
dan Subardi, The Book of Cabolek, The Hague: Martinus Nijhoff, 1975).

Kasus-kasus tersebut di atas tidak pernah -untuk tidak mengatakan
mustahil- terjadi ketika Nabi SAW masih hidup. Di zaman Rasulullah,
kenyelenehan paling jauh yang kita ketahui ialah dakwaan Musailamah si
pendusta. Penguasa Yamamah (Najd) dan kepala suku Bani Hanifah ini
memang memproklamirkan diri sebagai nabi, namun ia tidak pernah
mengaku bersatu (ittihad) dengan Tuhan dan tidak pula mendaku Tuhan
masuk, berada atau bersemayam (hulul) dalam dirinya. 

Mustahil, sebab Nabi Muhammad SAW sendiri tidak pernah memposisikan
dirinya lebih dari sekadar `hamba Tuhan' (`abdullah) dan utusanNya
(rasuluhu). Tidak terdapat satu hadis pun yang mengabarkan pada kita
tentang ucapan-ucapan mengarut (syathahat) semisal "Maha suci aku",
"Tuhan ada dalam jubahku" dan sebagainya keluar dari mulut beliau.
Rasulullah SAW selalu menggunakan kata ganti orang kedua tunggal
(dhamir al-mukhathab al-mufrad) dan kata ganti orang ketiga tunggal
(dhamir al-gha'ib al-mufrad) apabila beliau berkata tentang dan kepada
Tuhan. Misalnya: "Maha suci Engkau. Tak terhitung pujian bagiMu.
Engkau sebagaimana Kau puji diriMu" (subhanak allahumma la nuhshi
tsana'an `alayka anta kama atsnayta `ala nafsika), atau "Maha suci
Tuhanku yang maha tinggi" (subhana rabbiya l-a`la). Semua ini tentu
saja sesuai dengan petunjuk Allah SWT dalam firman-Nya (e.g. QS 2:32,
17:1, 21:87, 36:83, 37:180).

Selain al-Hallaj, tokoh sufi favorit yang kerap dikaitkan dengan
pantheisme ialah Ibnu Arabi (w. 638 H/ 1240 M). Kepada pemikir
kontroversial asal Murcia, Andalusia ini telah disematkan label `sufi
liberal' dan `pluralis'. Kepadanya jua dinisbatkan doktrin wahdatu
l-wujud yang telah menimbulkan polemik tak berkesudahan di kalangan
ulama maupun `sufaha' hingga hari ini. (Lihat: al-Biqa`i, Masra`
al-Tashawwuf, aw, Tanbih al-Ghabi ila Takfir Ibn `Arabi, ed. `Abd
ar-Rahman al-Wakil (Bilbis: Dar al-Taqwa, 1989) dan al-Suyuthi, Tanbih
al-Ghabi fi Takhti'ati Ibn `Arabi, ed. `Abd ar-Rahman Hasan Mahmud
(Kairo: Maktabat al-Adab, 1990). Peliknya, istilah `wahdatu l-wujud'
sendiri tidak ditemukan dalam karya-karya Ibnu Arabi. Menurut William
Chittick, istilah ini kemungkinan besar pertama kali diperkenalkan
oleh Shadruddin al-Qunawi (w. 637 H/1274 M), murid setia sekaligus
anak tiri Ibnu Arabi, dan dipopulerkan oleh penulis-penulis sesudahnya
semisal Ibn Sab`in (w. 646 H/1248 M) dan Afifuddin at-Tilimsani (w.
690 H/1291).

Konotasi negatif yang melekat pada istilah wahdatul-wujud kian menguat
sesudah dikritik habis oleh Ibnu Taymiyyah (w. 728 H/1328 M). Bagi
ulama yang wafat dalam penjara Damaskus ini, wahdatul wujud bukanlah
tawhid, melainkan pantheisme terselubung yang mengingkari eksistensi
Tuhan karena menganggap Tuhan ada dimana-mana dan menganggap alam
semesta (termasuk manusia) sebagai manifestasinya: "ma tsamma mawjud
illa hadza l-`alam al-masyhud". Inti paham ini, tegasnya,
mengidentikkan wujud Tuhan dengan dengan wujud segala yang ada: "anna
wujuda l-ka'inat huwa `aynu wujudillah" (Lihat: Dar'u t-Ta`arudh
al-`Aql wa n-Naql, ed. M. Rasyad Salim, Dar al-Kunuz al-Adabiyyah,
3:163 dan Majmu`at Rasa'il Ibn Taymiyyah, ed. S.M. Rasyid Ridha, Kairo
1349 H, 4:4 dan 1:71).

Dikenal pemberani, jujur dan bernalar tajam, Ibnu Taimiyah tidak asal
tuduh. Sebagai bukti ditunjuknya dua bait puisi Ibn Arabi dalam
pembukaan kitab al-Futuhat al-Makkiyah (paragraf 6) yang berbunyi:
"Tuhan adalah benar-nyata, tetapi hamba juga benar-nyata. Aduhai
lantas siapa yang dibebani kewajiban? Jika engkau katakan `hamba',
dialah `Tuhan'. Tapi jika engkau katakan `Tuhan', mengapa pula
dibebani kewajiban?" (Ibn Taymiyyah, op.cit., 1:73). Itu baru satu
bukti, belum lagi ungkapan-ungkapan senada yang bertaburan dalam kitab
Fushus al-Hikam. Contohnya: "Maha suci Tuhan yang mewujudkan segala
sesuatu dan menjadi esensinya (Subhâna man azh-hara al-asy-yâ'a wa
huwa `aynuhâ)" dan "Sang Kebenaran adalah ciptaan dari perspektif ini
maka pahamilah, akan tetapi juga bukan ciptaan dari perspektif itu
maka ingatlah!" (Lihat Fushus al-Hikam, ed. A. al-`Afifi, Kairo: Dar
Ihya' al-Kutub al-`Arabiyyah, 1946, hlm. 79 dan A.E. Afifi, The
Mystical Philosophy of Muhyid Din Ibnul Arabi, Cambridge: Cambridge
University Press, 1939, hlm. 135). 

Golongan yang mengatakan Tuhan ada dimana-mana kerap berdalih dengan
dua ayat al-Qur'an. Pertama, dengan ayat 16 surah Qaf: "Sungguh Kami
telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh
hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya".
Banyak ulama tafsir memahami frasa "Kami lebih dekat kepadanya
daripada urat lehernya" sebagai pernyataan figuratif metaforis. "Ini
merupakan perumpamaan kedekatan (hadza matsal fi farth al-qurb),"
tegas Imam al-Biqa`i (w. 885 H/1480 M) dalam tafsirnya, Nazhmu d-Durar
fi Tanasub al-Ayat wa s-Surar. Pendapat yang sama dikemukakan oleh
Imam al-Qurthubi (w. 671 H/1273 M) dalam al-Jami` li-Ahkami l-Qur'an.

Sebagian mufassir seperti Imam Ibn Katsir (w. 774 H/1373 M) mengatakan
bahwa yang dimaksud adalah kedekatan para malaikat Allah, sesuai
dengan konteks ayat sesudahnya yang menyebut malaikat
pengawas-pencatat Raqib dan `Atid. Walhasil, kedekatan tersebut bukan
kedekatan jarak fisikal sebagaimana dikhayalkan oleh penganut
manunggaling kawula gusti.

Kedua, dengan ayat 4 surah al-Hadid: "Dialah yang menciptakan langit
dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas `arsy. Dia
mengetahui segala yang masuk ke dalam bumi dan segala yang keluar
darinya, segala yang turun dari langit dan segala yang naik ke sana,
dan Dia beserta kamu dimana saja kamu berada. Dan Allah maha Melihat
apa yang kamu kerjakan" (Huwa al-ladzi khalaqa as-samawati wa al-ardha
fi sittati ayyamin tsumma istawa `ala al-`arsy, ya`lamu ma yaliju fi
al-ardhi wama yakhruju minha wama yanzilu min as-sama'i wama ya`ruju
fiha wa Huwa ma`akum aynama kuntum wa Allahu bima ta`maluna bashir).
Tidak sedikit orang yang tergelincir ketika menafsirkan ayat ambigu ini.

Penafsiran Ibnu Arabi sendiri terhadap ungkapan yang digarisbawahi di
atas dapat kita ikuti dalam kitab al-Futuhat Makkiyyah (bab 272)
ketika ia menguraikan isi kandungan ayat 7 surat 58 (al-Mujadalah):
"Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang melainkan Dia-lah yang
keempatnya. Dan tiada [pembicaraan antara] lima orang, melainkan
Dia-lah yang keenamnya. Dan tiada [pula pembicaraan antara jumlah]
yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia ada beserta
mereka di manapun mereka berada (ma yakunu min najwa tsalatsatin illa
Huwa rabi`uhum, wa la khamsatin illa Huwa sadisuhum, wa la adna min
dzalika wa la aktsara illa Huwa ma`ahum aynama kanu)."

Seorang pembaca yang cermat, kata Ibnu Arabi, dapat dengan mudah
menangkap bahwa maksud ungkapan "wa la adna min dzalika " adalah dua
orang, sedangkan "wa la aktsara" berarti tujuh orang atau lebih. Ibnu
Arabi kemudian mengajukan pertanyaan: Kenapa dalam ayat tersebut
dikatakan "jika ada tiga individu maka Allah adalah yang keempatnya,
dan jika ada lima maka Allah yang keenam"? Kenapa bukan "jika ada
empat maka Dia kelimanya, ataupun jika ada enam maka Dia ketujuhnya"? 

Jawabannya, imbuh Ibnu Arabi, adalah karena Allah hendak menegaskan
keesaan-Nya (annahu yuridu al-ifrad), bahwa hanya Dialah yang berdiri
sendiri, yang wujudNya diperlukan namun tidak memerlukan yang lain.
Dalam setiap jumlah tersebut, Allah menjadi penggenap akan tetapi
tidak termasuk di dalamnya (yasyfa`uha [ya`ni an-najwa] bima laysa
minha). Dengan begitu, tambahnya, Allah juga menunjukkan status
keberbedaanNya. Artinya, tak seorangpun dapat independen sendiri
melainkan wujudnya digenapkan oleh al-Haqq, karena ketunggalan dan
keesaan hanya milikNya semata (hatta la takuna al-ahadiyyatu illa
lahu). Oleh karena makhluk mustahil dapat menggenapkanNya, tetapi
sebaliknya Dia yang menggenapkan makhluk, maka berfirmanlah Dia: wa
Huwa ma`akum aynama kuntum.

Menarik untuk dipertanyakan, lanjut Ibnu Arabi, mengapa bukan
sebaliknya. Mengapa Allah tidak mengatakan: wa antum ma`aHu aynama
kana? Jawabannya, karena mustahil bagi makhluk dapat beserta
denganNya, walaupun tidak mustahil bagiNya untuk beserta kita
(fa-ya`lamu subhanahu kayfa yash-habuna wa la na`rifu kayfa
nash-habuHu). Singkatnya, tafsir dari surat al-Hadid ayat 4 tersebut
di atas menurut Ibnu Arabi ialah: Kebesertaan hanya mungkin bagiNya,
tetapi mustahil bagi kita (fa al-ma`iyyah lahu tsabitah fina,
manfiyyah `anna fihi). Terlepas dari benar-tidaknya, uraian Ibnu Arabi
ini setidaknya menjelaskan pada kita posisinya yang tidak sehaluan
dengan ajaran manunggaling kawula lan gusti.

Namun di sinilah tampak jelas ambivalensi Ibnu Arabi. Di satu sisi
terkesan menganut pantheisme dan di sisi lain terkesan menolaknya.
Sikap mendua ini juga ditangkap oleh Ibnu Taimiyah: "Ibnu Arabi lebih
dekat ke Islam dan paling indah kata-katanya … sehingga banyak dikutip
orang." (op.cit. 1:176). Wallahu a`lam.

*) Penulis peneliti INSISTS, sedang mengadakan penelitian di Johann
olfgang Goethe-Universität, Frankfurt am Main , Jerman, untuk PhD keduanya





=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke