Kantor Berita Common Ground Mitra Kemanusiaan (CGNews-MK) Bagi Hubungan Muslim-Barat yang Saling Asah, Asih, Asuh 10 - 16 Oktober 2006 Jika halaman ini tidak tampil sebagaimana mestinya, klik di sini. Kantor Berita Common Ground - Mitra Kemanusiaan (CGNews - MK) bertujuan mendorong perspektif dan dialog konstruktif yang berkaitan dengan hubungan Muslim-Barat. Layanan ini juga tersedia dalam bahasa Arab, bahasa Inggris dan bahasa Perancis. Untuk berlangganan, klik di sini. Untuk arsip artikel CGNews dan informasi lainnya, silahkan kunjungi website kami: www.commongroundnews.org. Kecuali jika ditentukan khusus, ijin hak cipta telah diperoleh dan semua artikel bisa dipublikasikan kembali oleh media massa atau surat kabar. Silahkan memberitahukan kepada sumber artikel asli dan Kantor Berita Common Ground (CGNews). Dalam edisi ini 1) Kaum Muda Amerika dan Perang Suci oleh Kathryn Joyce Dalam artikel kelima dari serangkaian tulisan mengenai kebangkitan kembali agama dan hubungan Muslim-Barat, Kathryn Joyce, seorang penulis yang tinggal di New York, mendeskiripsikan beberapa ajaran dan kegiatan yang bisa menyeret anak-anak muda ke dalam fundamentalisme Kristen. Ia berpendapat bahwa "Semangat kepasrahan diri, kepatuhan, dan pengorbanan diri, hingga penghancuran diri seperti ini mengilhami gerakan-gerakan muda fundamentalis di semua agama." Selain itu ia juga menyatakan, "Para orang tua dan pemimpin masyarakat berbagai tanggung jawab menghindarkan anak-anak kita dari komitmen robotik dan mengarahkan mereka ke kehidupan yang penuhi pilihan-pilihan bermakna." (Sumber: Common Ground News Service (CGNews), 10 Oktober 2006)
2) Tradisi, Ramadhan, dan Paus oleh Ibrahim N. Abusharif Ibrahim N. Abusharif, seorang penulis asal Chicago, mencoba menjawab pertanyaan yang terkandung dalam pidato kontroversial Paus belum lama ini: hal baru apakah yang dibawa Muhammad? Ia pun mengatakan bahwa "Ketika orang dari berbagai tradisi agama benar-benar berusaha saling mengenal satu sama lain, tentang peribatan kita dan apa yang penting bagi kita, kita semua akan menjadi orang yang lebih arif. Kita semua perlu bersikap rendah hati menyadari kenyataan bahwa tak seorangpun yang mempunyai sebuah buku besar yang berisi nama-nama orang yang akan masuk surga, atau sebaliknya." (Sumber: Common Ground News Service (CGNews), 10 Oktober 2006) 3) 'Benturan' Identitas - Wawancara dengan Samuel Huntington oleh Samuel Huntington Dalam sebuah wawancara dengan Majalah Islamica, Samuel Huntington, Profesor Universitas Albert J. Weatherhead III di Universitas Harvard, menjernihkan apa makna benturan peradaban. Ia menyatakan, "Hubungan antar negara di dekade yang mendatang akan mencerminkan komitmen kebudayaan mereka, ikatan kebudayaan mereka, dan permusuhan mereka dengan negara-negara lain." Pokok yang mengejutkan, barangkali adalah kesimpulannya bahwa ini merupakan sebuah tema umum dan tidak menghindarkan hubungan antara dunia Muslim dan Barat yang terkadang menghasilkan persekutuan-persekutuan lintas budaya berdasarkan kepentingan bersama, ia juga tak mengabaikan perbedaan-perbedaan yang hidup dalam dunia Muslim dan Barat. (Sumber: Islamica Magazine, September 2006) 4) Bagaimana Membeli Citra oleh Ayman El-Amir Ayman El-Amir, mantan koresponden Al-Ahram Washington, mengatakan kepada umat Muslim dan bangsa Arab bahwa berkaitan mengubah pandangan Barat, pesan lebih penting dibandingkan menguasai medium. "Umat Muslim harus berbuat lebih banyak untuk menciptakan kesan yang meyakinkan tentang sistem nilai universal mereka " Ia juga mengingatkan, "Bahkan dalam masa-masa ekstrem dari sebuah dunia Muslim yang beragam dan penuh pertentangan, ada kesatuan yang pasti dari tujuan dan identitas kebudayaan. Kasih sayang, tenggang rasa, dan keyakinan tetap merupakan nilai-nilai yang diyakini umat Muslim dan bersifat universal." (Sumber: Al-Ahram Weekly, 28 September 4 Oktober, 2006) 5) Membungkam Dialog oleh Daniel Barenboim Daniel Barenboim, pianis dan konduktor, mempersoalkan perbedaan antara "substandi dan persepsi" dalam konteks keputusan terbaru dari Deutsche Oper membatalkan pergelaran karya Mozart Idomeneo. "Dengan menyensor diri kita sendiri secara artistik karena rasa takut menghina kelompok tertentu, kita tidak hanya membatasi pemikiran manusia secara umum, tetapi juga telah menghina kecerdasan sebagian besar umat Muslim dan melucuti mereka dari kesempatan untuk menunjukkan kematangan berpikir mereka." Ia menyimpulkan bahwa pembatalan tersebut "bukannya meletakan umat Muslim sebagai mitra untuk mencari suatu penyelesaian, malah mengasingkan seluruh umat Muslim dan memposisikan mereka menjadi bagian dari masalah." (Sumber: Internasional Herald Tribune, 2 Oktober, 2006) 1) Kaum Muda Amerika dan Perang Suci Kathryn Joyce New York, New York - "Ini adalah perang," demikian pernyataan Ron Luce, penulis manifesto pemuda evangelis Battle Cry for a Generation dan pendiri gerakan Teen Mania. Waktu itu ia berbicara di hadapan para aktivis muda Kristen dalam salah satu kegiatan keagamaannya yang diselenggarakan di seluruh pelosok negri. Kegiatan yang begitu hingar bingar, tak ubahnya kocokan antara konser musik rock, pengakuan dosa di depan altar, demonstrasi anti pernikahan sesama gay, yang dibumbui dengan pekikan-pekikan angkat saja kaum militan. "Yesus menyeru, mengatakan kepada kita bahwa kekerasanyang 'penuh kekuatan'akan melindungi kerajaan Kalian tak perlu tahu banyak tentang Yesus, cukup serahkan seluruh hidup kalian Selamat dating di kerajaan kepasrahan total pada Tuhan." Di balik ledakan kembang api dan kisah-kisah perang tersebut tersirat pesan yang lebih dalam pada para remaja itu: bahwa pemberontakan sesungguhnya tak terletak dalam peniruan atau pemikiran bebas, tetapi dalam kepasrahan dan kepatuhan total pada Kritus dan kekuasaannya di muka bumi. Sebuah counter-intuitive truism tentang kepatuhan radikal yang menjadi landasan gerakan restorasi Kristen fundamentalis menentang sisa-sisa individualisme dan kebebasan bersikap era 60-an. Pesan Luce seiring sejalan dengan tulisan Mary Pride, seorang mantan feminis yang menjadi Kristen fundamentalis dan salah satu penyokong utama gerakan bersekolah di rumah yang konservatif pada pertengahan 1980-an melalui bukunya, The Way Home: Away from Feminism, Back to Reality. Buku ini adalah sebuah manual anti-feminis yang berupaya mengajak kembali keluarga-keluarga agar mematuhi Injil, menghormati kaum pria. The Way Home juga telah membantu mengarahkan energi restorasi ajaran Kristen di tingkat dasar. Berbeda dengan revolusi-revolusi kebudayaan lainnya yang menekankan individualisme dan kebebasan sebagai kunci perubahan sosial, Pride justru mendorong ketaatan kepada otorita dan tradisi, serta kepasrahan penuh kepada Tuhan, dengan cara menyadari posisi diri kita masing-masing dan menjaganya laksana seorang prajurit. "Kepasrahan", tulisnya, "memiliki nafas kemiliteran." Dengan menggambarkan peran-peran suami dan ayah, isteri dan ibu, sesuai Injil, ia menjelaskan analoginya, "Untuk mencapai tujuan yang lebih besar, sang prajurit harus mematuhi perintah perwira atasannya, meski ia tidak tak setuju Generasi ini berada dalam bahaya karena lupa bahwa kehidupan Kristen masih dalam kondisi perang Ketika seorang prajurit memiliki komitmen untuk berperang, bersedia membuang hasrat pribadinya untuk meraih kemenangan, dan bersedia mematuhi pemimpin yang telah dipilih oleh Panglimanya, pasukan itu pasti akan menang." Dalam metafora ini, dan dalam teologi pro-kelahiran, gerakan keluarga besar yang tumbuh seperti jamur dalam masyarakat yang bersekolah di rumah, peringkat peran-peran itu adalah sebagai berikut: Tuhan sebagai Panglima, suami sebagai khalifah Tuhan di muka bumi sekaligus pemimpin keluarga, dan isteri sebagai prajurit di bawahnya. Anak-anak, sebagaimana disebut dalam ayat-ayat Injil adalah anak-anak panah yang memenuhi tempat anak panah (quiver) milik ayah mereka. Artinya, mereka akan digunakan untuk melawan para musuh orangtua mereka sebuah pengorbanan suka rela yang dilakukan oleh soldadu-soldadu yang dibesarkan dan diajari untuk menempatkan kepatuhan di atas kepentingan pribadi. Semangat kepasrahan diri, kepatuhan, pengorbanan diri hingga penghancuran diri ini telah mengilhami gerakan-gerakan muda fundamentalis di semua agama, dari para pejuang muda Kristen generasi Battle Cry Ron Luce, hingga pemuda-pemudi Muslim yang direkrut dan dijadikan senjata hidup bagi sistem perang suci yang berbeda. Dalam buku The Use and Abuse of Holy War, James Turner Johnson, seorang ahli agama Islam, mengutarakan bahwa perbedaan sejarah antara Barat dan Muslim telah membuat kedua belah pihak berhadap-hadapan dalam perang suci. Orang Barat sekuler memandang perang-perang berdasarkan agama ini sebagai sesuatu yang menyedihkan, sementara di negara-negara Muslim, perang agama justru menyatukan budaya, mengatasi segala perbedaan sekuler di antara orang-orang kini bersatu memasrahkan diri kepada Tuhan mereka. Di kalangan gerakan kepemudaan yang lebih konstruktif, berbagai program layanan seperti Habitat for Humanity, organisasi-organisasi aktivis seperti Teen Peace dan The Sierra Student Coalition, atau program yang menjangkau masyarakat perkotaan seperti Homies Unidos, nilai kepatuhan diletakkan di urutan kedua setelah pengembangan hati nurani, ajaran gotong royong, atau perjuangan untuk mencapai tujuan. Pertunjukan-pertunjukan musik rock bagi Tuhan dipotong dan dialihkan dalam irama yang yang lebih tenang, lebih dewasa, dengan mengajarkan bahwa perubahan sosial membutuhkan waktu dan kerja keras, bukan sekedar semangat gila-gilaan belaka. Perang sebagai sebuah tujuan yang dapat menyatukan kaum muda bersama ditukar dengan komitmen yang lebih bijak terhadap perdamaian. Para orang tua dan pemimpin masyarakat berbagi tanggung jawab menghindarkan anak-anak kita dari komitmen robotik dan mengarahkan mereka ke kehidupan yang penuh pilihan-pilihan bermakna. ### * Kathryn Joyce adalah seorang penulis yang tinggal di New York City. Ini adalah artikel kelima dari serangkaian tulisan mengenai kebangkitan kembali agama dan hubungan Muslim-Barat untuk Common Ground News Service, www.commongroundnews.org. Sumber: Common Ground News Service (CGNews), 10 Oktober 2006, www.commongroundnews.org. Hak cipta untuk publikasi telah diperoleh. 2) Tradisi, Ramadhan, dan Paus Ibrahim N. Abusharif Chicago, Illinois Walaupun telah meminta maaf secara terbuka dan mencabut pernyataannya, kita mungkin tetap tak dapat memahami mengapa Paus Benedict XVI memutuskan untuk membenamkan diri ke dalam kolam ingatan akan polemik antara Katolik dan Islam pada Abad Pertengahan. Pertanyaan tersebut akan tetap menyembul jika Paus mengutip pernyataan lain tentang Protestan atau Yahudi, yang sama menggiurkannya dan bejibun jumlahnya. Ada sebuah pertanyaan dari percakapan Abad XIV yang telah dikutip Paus itu yang ketika berdiri sendiri terdengar netral dan tak merendahkan Islam: Hal baru apakah yang dibawa Muhammad? Pertanyaan inilah yang seharusnya dijawab, khususnya ketika mempertimbangkan penyebaran neologisme dari inajinasi pemasaran politik ("fasisme Islam", "Islam radikal", "Islamis", "Jihadis", dsb). Pengulangan kata-kata tersebut merupakan metode yang dipakai untuk menenangkan masyarakat agar mau menerima kebijakan-kebijakan nasional yang penting dan kembang gula politik. Tetapi kata-kata ini semakin menebalkan selubung mitologi yang membebati Islam di Barat dan membuat gambaran buruk mengenai umat Muslim di seluruh dunia, sebuah wajah menyeringai. Saya akan menjawab pertanyaan Paus, dengan mengutip langsung dari Al Qur'an. Nabi Muhammad tidak diturunkan untuk menciptakan sesuatu yang baru tetapi untuk mengembalikan, menegaskan, dan melengkapi pesan Ibrahim yang menegakkan prinsip utama dari seluruh proyek agama: tidak ada Tuhan selain Allah, yang telah menciptakan langit dan bumi. Inilah pesan inti dari seluruh utusan sebelum Ibrahim, baik para nabi berdarah Israil (Yakub hingga Isa), maupun mereka yang keturunan Ismail, Muhammad sampai nabi terakhir, seperti yang diyakini umat Muslim. Pesan yang mereka bawa tidak pernah lari dari inti ajaran Ibrahim, perbedaan yang ada hanya terletak pada rincian hukum suci yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Obsesi Islam tidak ada hubungannya dengan inovasi, tetapi dengan restorasi dan proteksi pesan awal tersebut. Tanpa itu, makna dan tujuan hidup akan lenyap, atau menjadi angka, hanya menyisakan etos pasca modern yang dingin sebagai tempat berlindung. Islam dan Kristen sebenarnya memiliki banyak kesamaan keyakinan, tetapi keduanya dipisahkan oleh cerita penyelamatan yang berbeda. Saya sadar, cara seseorang masuk surga di akhirat bukanlah hal remeh dalam agama, tetapi masalah siapa yang benar atau salah tidak pernah dimaksudkan untuk diselesaikan di dunia, tidak juga dimaksudkan untuk menghasilkan rasa benci terhadap "orang lain". Kita semua perlu bersikap rendah hati menginngat bahwa tak seorangpun yang mempunyai sebuah buku besar yang berisi nama-nama orang yang akan masuk surga, atau sebaliknya. Jadi tanggung jawab kita dalam kehidupan ini adalah untuk turun dari singgasana kita dan mencari kesamaan landasan, bukan karena hal ini merupakan suatu filosofi liberal baru, tetapi karena hal tersebut merupakan tujuan utama dari agama, yaitu untuk menegakkan kebenaran dalam hubungan antar manusia dan untuk hidup berdampingan serukun mungkin. Inilah berjuang di jalan Allah; inilah jihad. Kedatangan bulan Ramadhan, bulan saat umat Muslim berpuasa di siang hari dan beribadah malam hari, menekankan inti dari editorial ini. Al Qur'an memperkenalkan ritual berpuasa pada bulan Ramadhan sebagaimana berikut: "Hai orang beriman, berpuasalah engkau sebagaimana orang-orang sebelum engkau." Islam adalah agama yang murni, seperti yang diyakini umat Muslim, sebuah lanjutan dari sebuah pesan yang berdasarkan logika maupun intuisi tidak akan berubah di tingkat esensinya. Jalan menuju keselamatan bagi manusia yang pertama, pastilah sama dengan manusia terakhir, demikianlah seorang bijak pernah berkata. Cerita yang tidak dapat diubah karena akhir yang baik bergantung sepenuhnya pada ampunan Tuhan. Di antara berbagai aspek yang ada dalam semua agama adalah fakta bahwa berpuasa merupakan bagian dari ajaran spiritual mereka. Kita masing-masing memiliki tubuh yang mempunyai berbagai kebutuhan, tetapi menyerahkan kemanusiaan kita kepada kehendak "tubuh" merupakan suatu kelalaian yang selalu diingatkan agama. Selama ribuan tahun, orang-orang bijak yang kaya pengalaman telah menawarkan pandangan mereka, baik yang hanya diketahui oleh segelintir orang maupun yang praktis, tentang berbagai manfaat yang berhubungan dengan kerelaan melepaskan diri dari keduniawian selama satu waktu tertentu dan dengan tujuan mulia. Mereka telah memperluasnya hingga bagaimana alam molekul makanan dan minuman, misalnya, mempengaruhi dunia yang tidak kasat mata dari keinginan dan pilihan, dari rasa syukur dan nurani, serta bagaimana pengetahuan agung tertentu datang hanya kepada mereka yang telah menguasai nafsu mereka. Orang-orang modern yang mengejek mereka yang berpuasa, tak memahami bahwa menahan diri dari makan, minum, dan berhubungan intim dari subuh hingga maghrib (selama 29 atau 30 hari berturut-turut) adalah demi mengembalikan kehalusan jiwa kita dengan mengingatkan kita, pertama dan terutama, bahwa kita punya jiwa, karena jiwa adalah wadah bagi spiritualitas manusia. Sesederhana itu. Ketika orang dari berbagai tradisi agama benar-benar berusaha saling mengenal satu sama lain, tentang peribatan kita dan apa yang penting bagi kita, kita semua akan menjadi orang yang lebih arif. Paus John Paul II mengetahui hal ini dengan baik dan sangat dihormati di dunia Muslim hingga merasa sangat berduka ketika beliau wafat. Kami berharap Paus Benedict XVI akan melanjutkan warisan beliau. ### * Ibrahim N. Abusharif adalah seorang penulis yang berasal dari Chicago. Saat ini ia sedang mengerjakan kamus kecil Al Qur'an. Artikel ini disebarluaskan oleh Common Ground News Service (CGNews) dan dapat dibaca di www.commongroundnews.org. Sumber: Common Ground News Service (CGNews), 10 Oktober 2006, www.commongroundnews.org. Hak cipta untuk publikasi telah diperoleh. 3) 'Benturan' Identitas - Wawancara dengan Samuel Huntington Samuel Huntington Cambridge, Massachusetts Selama 13 tahun, dua kata telah mendominasi wacana hubungan kebudayaan, internasional, dan keagamaan terkait dengan kebijakan luar negeri di masa kita, yaitu "Benturan peradaban." Seperti yang dinyatakan oleh Profesor Universitas Harvard Samuel Huntington, frasa tersebut telah menimbulkan perdebatan panas di penjuru dunia, khususnya di kalangan umat muslim. Teori Huntington sering kali ditafsirkan sebagai proklamasi ketidaksesuaian mendasar antara "Barat Kristen" dan "Dunia Muslim". Dampak yang ditimbulkannya pada politik global terkadang sulit untuk dipahami. Majalah Islamica berbincang-bincang dengan Samuel Huntington tentang 'benturan' identitas dan lobi Israel. Islamica: Saya ingin memulai dengan sebuah pertanyaan umum tentang buku Anda "Benturan Peradaban." Teori Anda tentang benturan peradaban menyatakan bahwa "politik global dewasa ini seharusnya dipahami sebagai hasil dari konflik yang mengakar antara kebudayaan-kebudayaan dan agama-agama besar dunia." Tesis ini memperoleh momentum pasca 11 September, dan kini perang melawan terorisme sering didefinisikan sebagai pertarungan Barat melawan Islam, sebagai benturan mendasar dari kedua peradaban ini. Apakah Anda merasa bahwa tesis anda telah digunakan dengan tepat dalam menggambarkan perang melawan terorisme sebagai perang antara Barat melawan Islam? Jika tidak, perubahan-perubahan apa dalam penerapan teori Anda yang ingin anda lakukan? SH: Argumen dalam buku saya tentang benturan peradaban dicerminkan dengan baik dalam kutipan singkat yang mengatakan bahwa hubungan antar negara di dekade mendatang akan mencerminkan komitmen kebudayaan mereka, ikatan kebudayaan mereka, dan permusuhan mereka dengan negara-negara lain. Cukup jelas bahwa kekuasaan akan terus memainkan peran utama dalam politik global seperti yang selama ini selalu terjadi, walaupun biasanya ada sesuatu yang lain. Pada abad ke-18 di Eropa, sebagian besar isu melibatkan masalah seputar monarki atau monarki melawan gerakan republikan yang tengah bangkit, pertama di Amerika dan kemudian di Perancis. Pada Abad 19, bangsa dan rakyat berusaha mendefiniskan nasionalisme mereka dan menciptakan negara yang mencerminkan nasionalisme mereka. Pada abad ke-20, ideologi tampil ke muka, sebagian besar, tetapi tidak eksklusif, sebagai akibat dari Revolusi Rusia dan kita memiliki fasisme, komunisme, dan demokrasi liberal bersaing satu sama lain. Boleh dibilang, semua itu telah berakhir. Dua ideologi (fasisme dan komunisme) memang tidak sepenuhnya hilang tetapi telah tergusur ke tepian, sementara demokrasi liberal telah diterima di seluruh dunia, setidaknya secara teoritik. Jadi pertanyaan sesungguhnya adalah apa yang akan menjadi pusat perhatian politik global dalam dekade-dekade mendatang. Menurut hemat saya, identitas budaya, permusuhan budaya dan berbagai bentuk ikatan lainnya, akan memainkan peranan utama, meski bukan satu-satunya. Berbagai negara akan bekerja sama, dan akan lebih besar kemungkinannya untuk bekerja sama jika mereka memiliki kesamaan budaya, seperti yang diperlihatkan secara dramatis oleh Uni Eropa. Kelompok-kelompok lain sedang bermunculan di Asia Timur dan di Amerika Selatan. Pada dasarnya, seperti yang saya katakan, politik-politik mereka akan menyesuaikan diri berdasarkan persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan budaya. Islamica: Jika tesis Anda sepenuhnya menjelaskan hubungan antara negara-negara pasca 11/9, bagaimana Anda menempatkan persekutuan antara Pakistan dan Amerika Serikat melawan Afghanistan misalnya, atau relasi-relasi yang serupa? SM: Ya, jelas bahwa Pakistan dan AS merupakan dua negara yang sangat berbeda, tetapi kami memiliki kesamaan kepentingan geopolitik untuk mencegah komunis menguasai Afghanistan dan karena itu, mengingat kesediaan Pakistan, meski pemerintahan mereka berada di tangan milier, kami bekerja bersama dalam rangka mendorong kepentingan-kepentingan bersama kami. Tetapi jelas bahwa kami juga berbeda pandangan dengan Pakistan dalam banyak persoalan. Islamica: Anda mengatakan dalam buku anda, "Selama 45 tahun, Tirai Besi merupakan garis pembatas utama di Eropa. Garis itu telah berpindah beberapa ratus mil ke timur. Sekarang ia memisahkan bangsa-bangsa Kristen Barat, di satu sisi, dari bangsa-bangsa Muslim dan Ortodoks di sisi lain." Beberapa ahli telah menanggapi analisis tersebut dengan menyatakan bahwa pembuatan perbedaan yang begitu tegas antara Barat dan Islam mengesankan adanya keseragaman masif dalam kedua kategori tersebut. Sebagian lain menambahkan bahwa pembagian seperti itu mengesankan bahwa Islam tidak hidup di dunia Barat. Saya memahami bahwa ini merupakan kecaman yang sering Anda terima. Secara umum, bagaimana tanggapan Anda terhadap analisis seperti itu? SH: Pengertian, yang seperti Anda katakan dipahami sebagian orang, sama sekali salah. Saya tidak mengatakan bahwa Barat bersatu, saya tidak berpendapat demikian. Jelas bahwa ada perbedaan-perbedaan dalam dunia Barat, demikian pula dengan dunia Islam ada sekte-sekte yang berbeda, masyarakat yang berbeda, negara yang berbeda. Jadi tak satupun yang benar-benar seragam. Tetapi mereka memiliki kesamaan-kesamaan. Orang-orang di manapun berbicara tentang Islam dan Barat. Agaknya hal tersebut berhubungan dengan fakta bahwa ini semua adalah pihak-pihak yang memiliki arti dan mereka memang memilikinya. Tentu saja inti dari kenyataan tersebut adalah perbedaan-perbedaan dalam agama. Islamica: Adakah hal yang merekonsiliasi atau titik temu antara, sebagaimana yang sering digambarkan, kedua sisi "Tirai Besi" ini? SH: Pertama, Anda menyatakan "kedua sisi", tetapi seperti yang telah saya sampaikan, kedua sisi ini terbagi-bagi, dan negara-negara Barat bekerjasama dengan negara-negara Muslim, atau sebaliknya. Saya pikir itu adalah suatu kesalahan, saya tegaskan, untuk memikirkan dua sisi homogen yang sesungguhnya saling bertentangan. Politik global tetap sangat rumit dan semua negara memiliki kepentingan berbeda-beda, yang juga akan membawa mereka menjalin pertemanan dan persekutuan yang kelihatannya aneh. AS telah dan masih bekerja sama dengan berbagai diktator militer di seluruh dunia. Jelas kita menginginkan mereka melakukan demokratisasi, tetapi kita melakukannya karena kita memiliki kepentingan nasional, entah itu bekerjasama dengan Pakistan mengenai Afghanistan atau apapun. ### * Samuel Huntington merupakan Profesor Universitas Albert J. Weatherhead III di Universitas Harvard dan penulis berbagai buku terkenal termasuk The Clash of Civilizations and the Remarking of World Order (1996). Artikel lengkap dari artikel ini tersedia di situs web Majalah Islamica di www.islamicamagazine.com. Artikel ini disebarluaskan oleh Common Ground News Service (CGNews) dan dapat dibaca di www.commongroundnews.org. Sumber: Islamica Magazine, September 2006, www.islamicamagazine.com Hak cipta untuk publikasi telah diperoleh. 4) Bagaimana Membeli Citra Ayman El-Amir Kairo Orang Arab dan Muslim harus berpikir dua kali sebelum mempercayai bahwa memiliki saluran media di Barat dapat mengubah cara pandang Barat. Para pembuat film, rumah busana, perusahaan, jaringan penjual makanan eceran, raja minyak, bahkan politisi mengeluarkan biaya besar untuk membeli sebuah kesan positif yang akan menarik hati ceruk pasar yang mereka incar. Seperti halnya kosmetik, penciptaan kesan merupakan sebuah industri miliaran dolar yang keuntungannya bisa sangat besar, jika citra tersebut dapat dijual. Para pembuat iklan di pasar AS dan Eropa mengakui bahwa para pelanggan terdorong untuk membeli sebuah citra, bukan poduk. Tentu saja, produk yang bersaing harus memiliki kualitas untuk dijual: pasta gigi harus mengkilatkan gigi dan deterjen harus membersihkan pakaian. Pertanyaannya, apakah umat Muslim ingin memasarkan sebuah kesan postitif tentang Islam di Barat dengan cara yang sama? Pertanyaan ini diajukan secara tidak langsung pada pertemuan Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang baru saja berakhir di Riyadh, Arab Saudi. Sekretaris Jenderal OKI, Ekmeledin Ihsanoglu yang berasal dari Turki, menyarankan bahwa "para investor Muslim harus berinvestasi dalam institusi media besar dunia, yang umumnya membuat keuntungan cukup besar sehingga mereka mempunyai kemampuan mempengaruhi kebijakan mereka melalui dewan administrasinya." Ia mencontohkan multimiliarder Saudi Pangeran Al-Waleed Bin Talal yang memiliki sekitar 5,46 peren saham pada Rupert Murdoch's News Corp, pemilik saluran Fox News TV yang terkenal anti-Arab. Kenyataannya, untuk memiliki saham yang dapat mengendalikan konglomerat seperti Colgate-Palmolive sama sekali berbeda dengan memiliki saham dalam sebuah organisasi media. Organisasi-organisasi media adalah pembentuk pendapat orang dan yang bisa memiliki mereka dan berapa jumlahnya merupakan isu yang cukup sensitif. Contoh kecil tapi berarti untuk disebut adalah keberatan-keberatan Kongres AS atas keberhasilan Dubai Ports World di awal tahun ini menawar hak pengelolaan tujuh terminal pelabuhan AS. Di bawah tekanan kontroversi tersebut, pemerintah Dubai akhirnya menarik penawarannya. Belum lagi kesepakatan senilai $1,2 miliar dari Dubai International Capital untuk membeli Doncasters Corporation, perusahaan pembuat suku-suku cadang berpresisi bagi pesawat tempur militer AS dan tank bagi kontraktor-kontraktor seperti Boeing, Honeywell, Pratt, dan Whitney dan General Electric, yang bermarkas di London dan beroperasi di sembilah tempat di AS. Kepemilikan sebuah perusahaan media menentukan kebijakan editorial dari medium tersebut hingga sejauh mana arah pendapat editorial tersebut, entah liberal, entah konservatif, atau mainstream. Sesungguhnya, apa yang paling dipedulikan oleh pemilik adalah untung-rugi, yang ditentukan oleh para pemasang iklan dan perating. Bahkan Pangeran Al-Waleed menyadari ini. Dalam demokrasi liberal Barat, menyuarakan propaganda tidak akan menarik penonton, justru menyebabkan peringkat yang buruk dan kerugian finansial. Komisi Komunikasi Federal AS (FCC) telah menetapkan tiga peraturan dasar bagi pemberian izin industri penyiaran: keadilan, waktu yang setara, dan kepentingan masyarakat. Namun masyarakatlah, dan pemasang iklan, yang menentukan kredibilitas sebuah saluran TV, stasiun radio, atau sebuah surat kabar. Rating ditentukan oleh kredibilitas dan popularitas, yang selanjutnya akan diikuti oleh iklan. Kredibilitas ditentukan oleh tingkat kebebasan yang dinikmati, atau yang seakan-akan dimiliki suatu media. Sebuah usaha media yang berhasil pasti menjadi bagian tak terpisahkan dari jalinan sosio-ekonomi dan politik bangsa. Para pembaca dan penonton Perancis akan membaca Le Monde, Le Figaro atau l'Humanité bukannya The Washington Post atau The Boston Globe. Mereka akan menonton TV5 bukannya CNN atau BBC dalam bahasa Perancis. Ini adalah masalah kedekatan dengan kepentingan lokal dan nasional. Lebih jauh, negara-negara dunia melindungi kekuasaan penyiaran nasional mereka dengan ketat seperti mereka menjaga perairan perbatasan mereka. Itu adalah salah satu kesulitan yang dihadapi oleh Al-Jazeera Internasional saat mereka merencanakan untuk memulai siaran global, dan khususnya bagi para penonton Barat, bulan Mei silam. Negosiasi dengan saluran-saluran kabel yang akan memasukkan sinyal Al-Jazeera ke dalam jadwal pemrograman mereka yang kemudian memungkinkan setasiun terpandang itu menembus pasar nasional terbukti lebih sulit daripada yang dibayangkan sebelumnya. Pertanyaan lainnya: sejauh manakah masyarakat Arab dan umat Muslim memiliki kesamaan sistem nilai dengan Barat? Kepentingan-kepentingan Barat atas arus pasokan minyak Arab yang berkelanjutan dan dalam jumlah besar, penjajahan masa lalu, dan sisa-sisa keantikan peradaban kuno yang lebih merupakan daya tarik turis daripada bahan kajian serius dan mendalam, boleh dibilang tidak memadai untuk disebut sebagai sistem nilai bersama. Bandingkan ini dengan tradisi Yudeo-Kristen yang telah dikembangkan oleh lobi Yahudi di AS selama empat dekade sejak masa gerakan hak-hak asasi manusia, dan yang telah diputarbalikkan oleh kaum neo-konservatif menjadi anti-Muslim atau anti-Arab demi membela Israel. Dikotomi sistem nilai inilah yang menghentikan kemitraan jangka pendek antara MBC dan BBC (siaran berbahasa Arab) pada 1996 dengan alas an perbedaan editorial. Jika sebagian harus mengambil langkah gila-gilaan seperti itu dalam menuju ekonomi pasar dan konsumerisme sebagai suatu standar nilai-nilai bersama, kita mungkin menemukan lebih banyak kesamaan dengan China atau Singapura tinimbang Barat. Bagaimana dengan nilai-nilai universal lain? Di antara komoditas-komoditas moral dan material yang diimpor oleh rezim-rezim Arab/Muslim dari Barat, demokrasi, hak-hak asasi manusia, kebebasan berpikir dan menyatakan pendapat, keadilan dan kesetaraan di mata hokum, merupakan hal-hal yang paling tidak disukai atau dihargai. Beberapa pejabat Arab bahkan telah mempertimbangkan hingga begitu jauh bahwa Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia sebagai suatu ciptaan Barat dan bahwa ketetapan-ketetapannya tidak selalu sesuai dengan keunikan tradisi dan sistem nilai kita suatu mekanisme protektif menentang hak-hak asasi manusia yang diakui secara universal. Terkadang ketika para arsitek dari proses berusia satu dekade Barcelona masih berjuang untuk membangun landasan-landasan bagi sebuah dialog antara kebudayaan Eropa-Mediterania, muncul duri-duri yang menyentuh urat nadi. Ucapan Paus Benedict XVI, yang mengutip kalimat khusus dari seorang kaisar Byzantine Abad Pertengahan, Manuel II, yang menggambarkan Nabi Muhammad dan sifat dasar Islam sebagai jahat dan penuh kekerasan, disampaikan pada waktu yang tidak tepat dan dengan selera yang rendah. Datang pada saat luka sedang disembuhkan akibat dari kartun-kartun penuh penghinaan yang ditampilkan oleh harian Denmark, Jylldans-Posten, yang menggambarkan Rasul sebagai seorang teroris, rujukan yang tidak bijaksana dari Paus mungkin dapat membawa kemunduran dalam hubungan Muslim-Kristen hingga ke masa-masa Perang Salib bisa-bisa membuat ramalan Presiden AS George W Bush menjadi kenyataan. Reaksi balik umat Muslim mungkin akan lebih keras lagi jika saja Paus tidak meminta maaf. Citra yang ingin ditampilkan masyarakat Arab dan umat Muslim tidak tergantung pada mediumnya tetapi pada pesannya. Bahkan dalam masa-masa ekstrem dari sebuah dunia Muslim yang beragam dan penuh pertentangan, ada kesatuan yang pasti dari tujuan dan identitas kebudayaan. Kasih sayang, tenggang rasa, dan keyakinan tetap merupakan nilai-nilai yang diyakini umat Muslim dan bersifat universal. Sumbangan-sumbangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam bagi kebangkitan Eropa Abad Pertengahan dari Abad Kegelapan menuju Renaissance merupakan warisan bersama yang kurang terdokumentasi atau diakui secara memadai. Masa keemasan dunia Yahudi berkembang selama kekuasaan Muslim di Andalusia yang bertahun-tahun kemudian dibalas dengan inkuisisi Spanyol di bawah Isabelle dan Ferdinan telah membunuhi baik umat Muslim dan Yahudi. Berpura-pura bahwa dunia Islam dan Barat tidak berlawanan arah hanya sebuah penyangkalan diri oleh mereka yang mendukung dialog antar budaya. Jika Islam memiliki Osama bin Laden, Barat memiliki kaum neo-konservatif. Keduanya memimpin dunia menuju suatu konfrontasi yang akan membawa kehancuran besar. Dialog antar budaya sejauh ini hanya menghasilkan usaha-usaha bilateral untuk menghentikan imigran ilegal dari Afrika dan Timur Tengah ke Eropa, di samping pertukaran informasi intelijen mengenai para agen dan rencana terorisme. Sejauh ini kedua sistem nilai telah terbukti tidak sesuai satu sama lain. Umat Muslim harus berbuat lebih banyak untuk menciptakan citra yang meyakinkan tentang sistem nilai universal mereka sebelum memutuskan apakah hal tersebut perlu dikomunikasikan melalui gagasan tidak masuk akal seperti menguasai dewan konglomerat media, melalui satelit penyiaran atau melalui saluran TV pita lebar (broadband) di Internet. ### * Ayman El-Amir adalah mantan koresponden Al-Ahram di Washington, DC. Ia juga bertindak sebagai direktur Radio dan Televisi Perserikatan Bangsa-bangsa di New York. Artikel ini disebarluaskan oleh Common Ground News Service (CGNews) dan dapat dibaca di www.commongroundnews.org. Sumber: Al-Ahram Weekly, 28 September 4 Oktober, 2006, www.ahram.org.eg/weekly Hak cipta untuk publikasi telah diperoleh. 5) Membungkam Dialog Daniel Barenboim Jerusalem Pembatalan pergelaran karya Mozart, Idomeneo, di Berlin memunculkan pertanyaan paling penting tentang persepsi kita tentang dunia Muslim, sebuah isu yang belum diatasi secara memuaskan. Produksi tersebut, yang belum sempat saya lihat dan karenanya tidak dapat saya komentari, untuk sementara waktu dikeluarkan dari daftar lagu Deutsche Oper's musim ini karena berbagai elemen di dalamnya yang dapat menyinggung atau menghina orang yang bahkan pada kenyataannya belum tentu dapat menyaksikannya. Adalah tanggung jawab pemerintah untuk melindungi warga negaranya dari ancaman kekerasan dan terorisme, tetapi apakah sebuah gedung teater juga bertugas untuk melindungi para penontonnya dari pernyataan artistik yang mungkin ditafsirkan sebagai penghinaan? Hubungan antara pernyataan artistik dan hubungan yang ditimbulkannya tidak seperti hubungan antara substansi dan persepsi. Kita lebih sering mengganti isi untuk menyesuaikannya dengan persepsi. Tentu saja, tak ada satu pun cara untuk menentukan hubungan yang dibangkitkan oleh seni karena hal tersebut merupakan hak prerogatif setiap orang. Dalam musik, perbedaan antara isi dan persepsi ditentukan oleh kertas cetakan. Dalam teater atau opera, jika tidak ada kertas musik bagi arahan panggung, hal tersebut menjadi tanggung jawab pribadi sang sutradara. Alasan mendasar dari peran teater dalam masyarakat adalah kemampuannya untuk tetap melakukan dialog berkesinambungan dengan kenyataan, terlepas dari dampaknya atas kenyataan. Bentuk dialog ini bukan merupakan sebuah lambang keberanian, atau kepengecutan, tetapi harus muncul dari dalam diri seseorang atau sebuah institusi, sebuah kebutuhan untuk mengekspresikan diri. Membatasi kebebasan berekspresi seseorang sebagai tanggapan atas rasa takut sama tidak efektifnya dengan memaksakan pandangan seseorang melalui kekerasan militer. Seni tidak mengenal moral, tidak juga mendidik atau menghina; reaksi kita terhadap seni yang membuatnya menjadi apapun yang ada dalam pikiran kita. Masyarakat kita semakin lama semakin banyak melihat kontroversi sebagai sebuah sifat yang negatif, tetapi perbedaan pendapat dan perbedaan antara isi dan persepsi dari suatu karya seni merupakan intisari dari kreativitas. Jika isi dapat dimanipulasi, demikian juga persepsi, bahkan dengan hasil dua kali lipat. Dengan menyensor diri kita sendiri secara artistik karena rasa takut menghina kelompok tertentu, kita tidak hanya membatasi pemikiran manusia secara umum, tetapi juga telah menghina kecerdasan sebagian besar umat Muslim dan melucuti mereka dari kesempatan untuk menunjukkan kematangan berpikir mereka. Penyensoran itu merupakan lawan utama dari dialog dan sebuah konsekuensi dari ketidakmampuan untuk membedakan antara berbagai pandangan berbeda yang ada di dunia Muslim yang luas. Seni tidak ada urusannya dengan sebuah masyarakat yang menolak apa yang saya sebut standar-standar intelijen yang dapat diterima umum dan mengambil jalan pintas dengan pembenaran politik, yang pada kenyataannya memiliki intisari berbeda dengan fundamentalisme dalam beragam perwujudannya. Baik pembenaran politik maupun fundamentalisme memberikan jawaban yang bertujuan bukan untuk lebih memahami keadaan, tetapi untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan lebih lanjut. Bertindak atas dasar rasa takut tidak membawa ketenangan bagi para fundamentalis, yang memang sama sekali tidak punya keinginan untuk ditenangkan, dan tidak mendorong umat Muslim yang ingin berkembang dan berdialog. Sebaliknya pembatalan itu bukannya meletakan umat Muslim sebagai mitra untuk mencari suatu penyelesaian, malah mengasingkan seluruh umat Muslim dan memposisikan mereka menjadi bagian dari masalah . Dengan melucuti masyarakat kita dari dialog mendasar ini kita akan terus mengasingkan orang-orang yang usahanya dalam membangun perdamaian tidak boleh dibuang begitu saja demi masa depan tanpa kekerasan. Mungkin dunia Muslim membutuhkan seorang Spinoza modern yang dapat menyampaikan sifat dasar Islam dengan cara yang sama seperti Spinoza yang mengekspresikan sifat dasar cara pemikiran Yudeo-Kristen, sekaligus berada di luarnya, bahkan menolaknya. Keputusan untuk tidak menampilkan Idomeneo pada akhirnya menjadi sebuah keputusan yang tidak membedakan mana kelompok yang tercerahkan dan mana yang ekstremis, tak membedakan antara kaum intelektual dan kaum dogmatik, antara orang yang memiliki ketertarikan budaya dan orang dari manapun atau agama apapun yang berpandangan sempit. Seperti yang saya katakan di atas, saya belum melihat pertunjukan ini. Saya hanya bisa berharap bahwa Hans Neuenfels, direktur Deutsche Oper, akan menganggap pameran potongan kepala Yesus, Muhammad, dan Buddha merupakan kebutuhan absolut dunia dalam yang didiktekan oleh musik Mozart. Mungkin ia seharusnya membiarkan kepala-kepala ini berbicara sehingga mereka dapat membuat pengakuan tentang kebijakan agung dan kekuatan pemikiran yang mereka wakili bersama-sama. ### * Daniel Barenboim adalah seorang pianis dan konduktor. Artikel ini disebarluaskan oleh Common Ground News Service (CGNews) dan dapat dibaca di www.commongroundnews.org. Sumber: Internasional Herald Tribune, 2 Oktober, 2006, www.iht.com Hak cipta untuk publikasi telah diperoleh. Pandangan Kaum Muda CGNews-MK juga secara berkala mempublikasikan tulisan-tulisan para mahasiswa jurnalis yang memperkuat pemahaman antar budaya dan mendorong perspektif dan dialog konstruktif di lingkungan mereka sendiri. Mahasiswa jurnalis dan para penulis di bawah usia 27 tahun dianjurkan untuk menulis kepada Chris Binkley ([EMAIL PROTECTED]) untuk informasi lebih lanjut tentang pengiriman tulisan. Tentang CGNews-MK Kantor Berita Common Ground - Mitra Kemanusiaan (CGNews-MK) mempublikasikan berita, opini, feature dan analisis oleh para ahli baik lokal maupun internasional mengenai berbagai masalah yang berkaitan dengan hubungan Muslim-Barat. CGNews-MK mengumpulkan artikel-artikel yang berimbang dan berorientasi-solusi dari media massa di seluruh dunia. Dengan dukungan dari Pemerintah Norwegia dan United States Institute of Peace, layanan ini merupakan inisiatif nir-laba dari Search for Common Ground, sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) internasional yang bergerak di bidang transformasi konflik. Layanan ini merupakan salah satu hasil dari serangkaian pertemuan kerja yang diadakan dengan kemitraan bersama Pangeran HRH El Hassan bin Talal di Jordania, pada bulan Juni 2003. Kantor Berita Common Ground juga membuat dan menyebarluaskan artikel-artikel berorientasi-penyelesaian masalah yang ditulis oleh para ahli baik lokal maupun internasional demi memajukan perspektif yang membangun dan mendorong dialog mengenai masalah-masalah Timur Tengah dewasa ini. Layanan ini, Kantor Berita Common Ground - Timur Tengah (CGNews-TT), juga tersedia dalam bahasa Arab, bahasa Inggris dan bahasa Hebrew. Untuk berlangganan, klik di sini. Pandangan yang disampaikan dalam artikel-artikel ini merupakan pandangan para pengarangnya, dan bukan pandangan CGNews-MK atau afiliasinya. Kantor Berita Common Ground 1601 Connecticut Avenue, NW Suite #200 Washington, DC 20009 USA Ph: +1(202) 265-4300 Fax: +1(202) 232-6718 Rue Belliard 205 Bte 13 B-1040 Brussels, Belgia Ph: +32(02) 736-7262 Fax: +32(02) 732-3033 Email : [EMAIL PROTECTED] Website : www.commongroundnews.org Editor Emad Khalil (Amman) Juliette Schmidt (Beirut) Chris Binkley (Dakar) Emmanuelle Hazan (Geneva) Nuruddin Asyhadie (Jakarta) Leena El-Ali (Washington) Andrew Kessinger (Washington) Penerjemah Olivia Qusaibaty (Washington) Rio Rinaldo (Jakarta) Zeina Safa (Beirut) CGNews adalah kantor berita nir-laba. Anda saat ini terdaftar sebagai [EMAIL PROTECTED] Untuk keluar dari layanan ini, klik disini. --------------------------------- Do you Yahoo!? Get on board. You're invited to try the new Yahoo! Mail. [Non-text portions of this message have been removed] ======================= Milis Wanita Muslimah Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat. Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED] Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/ <*> Your email settings: Individual Email | Traditional <*> To change settings online go to: http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/join (Yahoo! ID required) <*> To change settings via email: mailto:[EMAIL PROTECTED] mailto:[EMAIL PROTECTED] <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/