Kantor Berita Common Ground
Mitra Kemanusiaan (CGNews-MK) 
  Bagi Hubungan Muslim-Barat yang Saling Asah, Asih, Asuh
                 10 - 16 Oktober 2006
                       Jika halaman ini tidak tampil sebagaimana mestinya, klik 
di sini.
    
  Kantor Berita Common Ground - Mitra Kemanusiaan (CGNews - MK) bertujuan 
mendorong perspektif dan dialog konstruktif yang berkaitan dengan hubungan 
Muslim-Barat. Layanan ini juga tersedia dalam bahasa Arab, bahasa Inggris dan 
bahasa Perancis. Untuk berlangganan, klik di sini.
    
  Untuk arsip artikel CGNews dan informasi lainnya, silahkan kunjungi website 
kami: www.commongroundnews.org.
    
  Kecuali jika ditentukan khusus, ijin hak cipta telah diperoleh dan semua 
artikel bisa dipublikasikan kembali oleh media massa atau surat kabar. Silahkan 
memberitahukan kepada sumber artikel asli dan Kantor Berita Common Ground 
(CGNews).
         Dalam edisi ini           1) Kaum Muda Amerika dan Perang Suci oleh 
Kathryn Joyce
  Dalam artikel kelima dari serangkaian tulisan mengenai kebangkitan kembali 
agama dan hubungan Muslim-Barat, Kathryn Joyce, seorang penulis yang tinggal di 
New York, mendeskiripsikan beberapa ajaran dan kegiatan yang bisa menyeret 
anak-anak muda ke dalam fundamentalisme Kristen. Ia berpendapat bahwa "Semangat 
kepasrahan diri, kepatuhan, dan pengorbanan diri, hingga penghancuran diri 
seperti ini mengilhami gerakan-gerakan muda fundamentalis di semua agama." 
Selain itu ia juga menyatakan, "Para orang tua dan pemimpin masyarakat berbagai 
tanggung jawab menghindarkan anak-anak kita dari komitmen robotik dan 
mengarahkan mereka ke kehidupan yang penuhi pilihan-pilihan bermakna." 
(Sumber: Common Ground News Service (CGNews), 10 Oktober 2006)

              2) Tradisi, Ramadhan, dan Paus oleh Ibrahim N. Abusharif
  Ibrahim N. Abusharif, seorang penulis asal Chicago, mencoba menjawab 
pertanyaan yang terkandung dalam pidato kontroversial Paus belum lama ini: hal 
baru apakah yang dibawa Muhammad? Ia pun mengatakan bahwa "Ketika orang dari 
berbagai tradisi agama benar-benar berusaha saling mengenal satu sama lain, 
tentang peribatan kita dan apa yang penting bagi kita, kita semua akan menjadi 
orang yang lebih arif. … Kita semua perlu bersikap rendah hati menyadari 
kenyataan bahwa tak seorangpun yang mempunyai sebuah buku besar yang berisi 
nama-nama orang yang akan masuk surga, atau sebaliknya." 
(Sumber: Common Ground News Service (CGNews), 10 Oktober 2006)

              3) 'Benturan' Identitas - Wawancara dengan Samuel Huntington oleh 
Samuel Huntington
  Dalam sebuah wawancara dengan Majalah Islamica, Samuel Huntington, Profesor 
Universitas Albert J. Weatherhead III di Universitas Harvard, menjernihkan apa 
makna benturan peradaban. Ia menyatakan, "Hubungan antar negara di dekade yang 
mendatang akan mencerminkan komitmen kebudayaan mereka, ikatan kebudayaan 
mereka, dan permusuhan mereka dengan negara-negara lain." Pokok yang 
mengejutkan, barangkali adalah kesimpulannya bahwa ini merupakan sebuah tema 
umum dan tidak menghindarkan hubungan antara dunia Muslim dan Barat yang 
terkadang menghasilkan persekutuan-persekutuan lintas budaya berdasarkan 
kepentingan bersama, ia juga tak mengabaikan perbedaan-perbedaan yang hidup 
dalam dunia Muslim dan Barat. 
(Sumber: Islamica Magazine, September 2006)

              4) Bagaimana Membeli Citra oleh Ayman El-Amir
  Ayman El-Amir, mantan koresponden Al-Ahram Washington, mengatakan kepada umat 
Muslim dan bangsa Arab bahwa berkaitan mengubah pandangan Barat, pesan lebih 
penting dibandingkan menguasai medium. "Umat Muslim harus berbuat lebih banyak 
untuk menciptakan kesan yang meyakinkan tentang sistem nilai universal mereka…" 
Ia juga mengingatkan, "Bahkan dalam masa-masa ekstrem dari sebuah dunia Muslim 
yang beragam dan penuh pertentangan, ada kesatuan yang pasti dari tujuan dan 
identitas kebudayaan. Kasih sayang, tenggang rasa, dan keyakinan tetap 
merupakan nilai-nilai yang diyakini umat Muslim dan bersifat universal." 
(Sumber: Al-Ahram Weekly, 28 September – 4 Oktober, 2006)

              5) Membungkam Dialog oleh Daniel Barenboim
  Daniel Barenboim, pianis dan konduktor, mempersoalkan perbedaan antara 
"substandi dan persepsi" dalam konteks keputusan terbaru dari Deutsche Oper 
membatalkan pergelaran karya Mozart Idomeneo. "Dengan menyensor diri kita 
sendiri secara artistik karena rasa takut menghina kelompok tertentu, kita 
tidak hanya membatasi pemikiran manusia secara umum, tetapi juga telah menghina 
kecerdasan sebagian besar umat Muslim dan melucuti mereka dari kesempatan untuk 
menunjukkan kematangan berpikir mereka." Ia menyimpulkan bahwa pembatalan 
tersebut "bukannya meletakan umat Muslim sebagai mitra untuk mencari suatu 
penyelesaian, malah mengasingkan seluruh umat Muslim dan memposisikan mereka 
menjadi bagian dari masalah." 
(Sumber: Internasional Herald Tribune, 2 Oktober, 2006)

                         1)  Kaum Muda Amerika dan Perang Suci
Kathryn Joyce         New York, New York - "Ini adalah perang," demikian 
pernyataan Ron Luce, penulis manifesto pemuda evangelis Battle Cry for a 
Generation dan pendiri gerakan Teen Mania. Waktu itu ia berbicara di hadapan 
para aktivis muda Kristen dalam salah satu kegiatan keagamaannya yang 
diselenggarakan di seluruh pelosok negri. Kegiatan yang begitu hingar bingar, 
tak ubahnya kocokan antara konser musik rock, pengakuan dosa di depan altar, 
demonstrasi anti pernikahan sesama gay, yang dibumbui dengan pekikan-pekikan 
angkat saja kaum militan. "Yesus menyeru, mengatakan kepada kita bahwa 
kekerasan–yang 'penuh kekuatan'–akan melindungi kerajaan… Kalian tak perlu tahu 
banyak tentang Yesus, cukup serahkan seluruh hidup kalian… Selamat dating di 
kerajaan kepasrahan total pada Tuhan."

Di balik ledakan kembang api dan kisah-kisah perang tersebut tersirat pesan 
yang lebih dalam pada para remaja itu: bahwa pemberontakan sesungguhnya tak 
terletak dalam peniruan atau pemikiran bebas, tetapi dalam kepasrahan dan 
kepatuhan total pada Kritus dan kekuasaannya di muka bumi. Sebuah 
counter-intuitive truism tentang kepatuhan radikal yang menjadi landasan 
gerakan restorasi Kristen fundamentalis menentang sisa-sisa individualisme dan 
kebebasan bersikap era 60-an.

Pesan Luce seiring sejalan dengan tulisan Mary Pride, seorang mantan feminis 
yang menjadi Kristen fundamentalis dan salah satu penyokong utama gerakan 
bersekolah di rumah yang konservatif pada pertengahan 1980-an melalui bukunya, 
The Way Home: Away from Feminism, Back to Reality. Buku ini adalah sebuah 
manual anti-feminis yang berupaya mengajak kembali keluarga-keluarga agar 
mematuhi Injil, menghormati kaum pria. The Way Home juga telah membantu 
mengarahkan energi restorasi ajaran Kristen di tingkat dasar. Berbeda dengan 
revolusi-revolusi kebudayaan lainnya yang menekankan individualisme dan 
kebebasan sebagai kunci perubahan sosial, Pride justru mendorong ketaatan 
kepada otorita dan tradisi, serta kepasrahan penuh kepada Tuhan, dengan cara 
menyadari posisi diri kita masing-masing dan menjaganya laksana seorang 
prajurit.

"Kepasrahan", tulisnya, "memiliki nafas kemiliteran." Dengan menggambarkan 
peran-peran suami dan ayah, isteri dan ibu, sesuai Injil, ia menjelaskan 
analoginya, "Untuk mencapai tujuan yang lebih besar, sang prajurit harus 
mematuhi perintah perwira atasannya, meski ia tidak tak setuju… Generasi ini 
berada dalam bahaya karena lupa bahwa kehidupan Kristen masih dalam kondisi 
perang… Ketika seorang prajurit memiliki komitmen untuk berperang, bersedia 
membuang hasrat pribadinya untuk meraih kemenangan, dan bersedia mematuhi 
pemimpin yang telah dipilih oleh Panglimanya, pasukan itu pasti akan menang."

Dalam metafora ini, dan dalam teologi pro-kelahiran, gerakan keluarga besar 
yang tumbuh seperti jamur dalam masyarakat yang bersekolah di rumah, peringkat 
peran-peran itu adalah sebagai berikut: Tuhan sebagai Panglima, suami sebagai 
khalifah Tuhan di muka bumi sekaligus pemimpin keluarga, dan isteri sebagai 
prajurit di bawahnya. Anak-anak, sebagaimana disebut dalam ayat-ayat Injil 
adalah anak-anak panah yang memenuhi tempat anak panah (quiver) milik ayah 
mereka. Artinya, mereka akan digunakan untuk melawan para musuh orangtua mereka 
– sebuah pengorbanan suka rela yang dilakukan oleh soldadu-soldadu yang 
dibesarkan dan diajari untuk menempatkan kepatuhan di atas kepentingan pribadi.

Semangat kepasrahan diri, kepatuhan, pengorbanan diri hingga penghancuran diri 
ini telah mengilhami gerakan-gerakan muda fundamentalis di semua agama, dari 
para pejuang muda Kristen generasi Battle Cry Ron Luce, hingga pemuda-pemudi 
Muslim yang direkrut dan dijadikan senjata hidup bagi sistem perang suci yang 
berbeda.

Dalam buku The Use and Abuse of Holy War, James Turner Johnson, seorang ahli 
agama Islam, mengutarakan bahwa perbedaan sejarah antara Barat dan Muslim telah 
membuat kedua belah pihak berhadap-hadapan dalam “perang suci”. Orang Barat 
sekuler memandang perang-perang berdasarkan agama ini sebagai sesuatu yang 
menyedihkan, sementara di negara-negara Muslim, perang agama justru menyatukan 
budaya, mengatasi segala perbedaan sekuler di antara orang-orang kini bersatu 
memasrahkan diri kepada Tuhan mereka.

Di kalangan gerakan kepemudaan yang lebih konstruktif, berbagai program layanan 
seperti Habitat for Humanity, organisasi-organisasi aktivis seperti Teen Peace 
dan The Sierra Student Coalition, atau program yang menjangkau masyarakat 
perkotaan seperti Homies Unidos, nilai kepatuhan diletakkan di urutan kedua 
setelah pengembangan hati nurani, ajaran gotong royong, atau perjuangan untuk 
mencapai tujuan. Pertunjukan-pertunjukan musik rock bagi Tuhan dipotong dan 
dialihkan dalam irama yang yang lebih tenang, lebih dewasa, dengan mengajarkan 
bahwa perubahan sosial membutuhkan waktu dan kerja keras, bukan sekedar 
semangat gila-gilaan belaka.

Perang sebagai sebuah tujuan yang dapat menyatukan kaum muda bersama ditukar 
dengan komitmen yang lebih bijak terhadap perdamaian. Para orang tua dan 
pemimpin masyarakat berbagi tanggung jawab menghindarkan anak-anak kita dari 
komitmen robotik dan mengarahkan mereka ke kehidupan yang penuh pilihan-pilihan 
bermakna.

###

* Kathryn Joyce adalah seorang penulis yang tinggal di New York City. Ini 
adalah artikel kelima dari serangkaian tulisan mengenai kebangkitan kembali 
agama dan hubungan Muslim-Barat untuk Common Ground News Service, 
www.commongroundnews.org.

Sumber: Common Ground News Service (CGNews), 10 Oktober 2006, 
www.commongroundnews.org. 
Hak cipta untuk publikasi telah diperoleh.                      2)  Tradisi, 
Ramadhan, dan Paus
Ibrahim N. Abusharif         Chicago, Illinois – Walaupun telah meminta maaf 
secara terbuka dan mencabut pernyataannya, kita mungkin tetap tak dapat 
memahami mengapa Paus Benedict XVI memutuskan untuk membenamkan diri ke dalam 
kolam ingatan akan polemik antara Katolik dan Islam pada Abad Pertengahan. 
Pertanyaan tersebut akan tetap menyembul jika Paus mengutip pernyataan lain 
tentang Protestan atau Yahudi, yang sama menggiurkannya dan bejibun jumlahnya.

Ada sebuah pertanyaan dari percakapan Abad XIV yang telah dikutip Paus itu yang 
ketika berdiri sendiri terdengar netral dan tak merendahkan Islam: Hal baru 
apakah yang dibawa Muhammad?

Pertanyaan inilah yang seharusnya dijawab, khususnya ketika mempertimbangkan 
penyebaran neologisme dari inajinasi pemasaran politik ("fasisme Islam", "Islam 
radikal", "Islamis", "Jihadis", dsb). Pengulangan kata-kata tersebut merupakan 
metode yang dipakai untuk menenangkan masyarakat agar mau menerima 
kebijakan-kebijakan nasional yang penting dan kembang gula politik. Tetapi 
kata-kata ini semakin menebalkan selubung mitologi yang membebati Islam di 
Barat dan membuat gambaran buruk mengenai umat Muslim di seluruh dunia, sebuah 
wajah menyeringai.

Saya akan menjawab pertanyaan Paus, dengan mengutip langsung dari Al Qur'an. 
Nabi Muhammad tidak diturunkan untuk menciptakan sesuatu yang baru tetapi untuk 
mengembalikan, menegaskan, dan melengkapi pesan Ibrahim yang menegakkan prinsip 
utama dari seluruh proyek agama: tidak ada Tuhan selain Allah, yang telah 
menciptakan langit dan bumi. Inilah pesan inti dari seluruh utusan sebelum 
Ibrahim, baik para nabi berdarah Israil (Yakub hingga Isa), maupun mereka yang 
keturunan Ismail, Muhammad sampai nabi terakhir, seperti yang diyakini umat 
Muslim.

Pesan yang mereka bawa tidak pernah lari dari inti ajaran Ibrahim, perbedaan 
yang ada hanya terletak pada rincian hukum suci yang disesuaikan dengan situasi 
dan kondisi. Obsesi Islam tidak ada hubungannya dengan inovasi, tetapi dengan 
restorasi dan proteksi pesan awal tersebut. Tanpa itu, makna dan tujuan hidup 
akan lenyap, atau menjadi angka, hanya menyisakan etos pasca modern yang dingin 
sebagai tempat berlindung.

Islam dan Kristen sebenarnya memiliki banyak kesamaan keyakinan, tetapi 
keduanya dipisahkan oleh cerita penyelamatan yang berbeda. Saya sadar, cara 
seseorang masuk surga di akhirat bukanlah hal remeh dalam agama, tetapi masalah 
siapa yang benar atau salah tidak pernah dimaksudkan untuk diselesaikan di 
dunia, tidak juga dimaksudkan untuk menghasilkan rasa benci terhadap "orang 
lain". Kita semua perlu bersikap rendah hati menginngat bahwa tak seorangpun 
yang mempunyai sebuah buku besar yang berisi nama-nama orang yang akan masuk 
surga, atau sebaliknya. Jadi tanggung jawab kita dalam kehidupan ini adalah 
untuk turun dari singgasana kita dan mencari kesamaan landasan, bukan karena 
hal ini merupakan suatu filosofi liberal baru, tetapi karena hal tersebut 
merupakan tujuan utama dari agama, yaitu untuk menegakkan kebenaran dalam 
hubungan antar manusia dan untuk hidup berdampingan serukun mungkin. Inilah 
berjuang di jalan Allah; inilah jihad.

Kedatangan bulan Ramadhan, bulan saat umat Muslim berpuasa di siang hari dan 
beribadah malam hari, menekankan inti dari editorial ini. Al Qur'an 
memperkenalkan ritual berpuasa pada bulan Ramadhan sebagaimana berikut: "Hai 
orang beriman, berpuasalah engkau sebagaimana orang-orang sebelum engkau." 
Islam adalah agama yang murni, seperti yang diyakini umat Muslim, sebuah 
lanjutan dari sebuah pesan yang berdasarkan logika maupun intuisi tidak akan 
berubah di tingkat esensinya. Jalan menuju keselamatan bagi manusia yang 
pertama, pastilah sama dengan manusia terakhir, demikianlah seorang bijak 
pernah berkata. Cerita yang tidak dapat diubah karena akhir yang baik 
bergantung sepenuhnya pada ampunan Tuhan.

Di antara berbagai aspek yang ada dalam semua agama adalah fakta bahwa berpuasa 
merupakan bagian dari ajaran spiritual mereka. Kita masing-masing memiliki 
tubuh yang mempunyai berbagai kebutuhan, tetapi menyerahkan kemanusiaan kita 
kepada kehendak "tubuh" merupakan suatu kelalaian yang selalu diingatkan agama. 
Selama ribuan tahun, orang-orang bijak yang kaya pengalaman telah menawarkan 
pandangan mereka, baik yang hanya diketahui oleh segelintir orang maupun yang 
praktis, tentang berbagai manfaat yang berhubungan dengan kerelaan melepaskan 
diri dari keduniawian selama satu waktu tertentu dan dengan tujuan mulia. 
Mereka telah memperluasnya hingga bagaimana alam molekul makanan dan minuman, 
misalnya, mempengaruhi dunia yang tidak kasat mata dari keinginan dan pilihan, 
dari rasa syukur dan nurani, serta bagaimana pengetahuan agung tertentu datang 
hanya kepada mereka yang telah menguasai nafsu mereka.

Orang-orang modern yang mengejek mereka yang berpuasa, tak memahami bahwa 
menahan diri dari makan, minum, dan berhubungan intim dari subuh hingga maghrib 
(selama 29 atau 30 hari berturut-turut) adalah demi mengembalikan kehalusan 
jiwa kita dengan mengingatkan kita, pertama dan terutama, bahwa kita punya 
jiwa, karena jiwa adalah wadah bagi spiritualitas manusia. Sesederhana itu.

Ketika orang dari berbagai tradisi agama benar-benar berusaha saling mengenal 
satu sama lain, tentang peribatan kita dan apa yang penting bagi kita, kita 
semua akan menjadi orang yang lebih arif. Paus John Paul II mengetahui hal ini 
dengan baik dan sangat dihormati di dunia Muslim hingga merasa sangat berduka 
ketika beliau wafat. Kami berharap Paus Benedict XVI akan melanjutkan warisan 
beliau.

###

* Ibrahim N. Abusharif adalah seorang penulis yang berasal dari Chicago. Saat 
ini ia sedang mengerjakan kamus kecil Al Qur'an. Artikel ini disebarluaskan 
oleh Common Ground News Service (CGNews) dan dapat dibaca di 
www.commongroundnews.org.

Sumber: Common Ground News Service (CGNews), 10 Oktober 2006, 
www.commongroundnews.org. 
Hak cipta untuk publikasi telah diperoleh.                      3)  'Benturan' 
Identitas - Wawancara dengan Samuel Huntington
Samuel Huntington         Cambridge, Massachusetts – Selama 13 tahun, dua kata 
telah mendominasi wacana hubungan kebudayaan, internasional, dan keagamaan 
terkait dengan kebijakan luar negeri di masa kita, yaitu "Benturan peradaban." 
Seperti yang dinyatakan oleh Profesor Universitas Harvard Samuel Huntington, 
frasa tersebut telah menimbulkan perdebatan panas di penjuru dunia, khususnya 
di kalangan umat muslim. Teori Huntington sering kali ditafsirkan sebagai 
proklamasi ketidaksesuaian mendasar antara "Barat Kristen" dan "Dunia Muslim". 
Dampak yang ditimbulkannya pada politik global terkadang sulit untuk dipahami. 
Majalah Islamica berbincang-bincang dengan Samuel Huntington tentang 'benturan' 
identitas dan lobi Israel.

Islamica: Saya ingin memulai dengan sebuah pertanyaan umum tentang buku Anda 
"Benturan Peradaban." Teori Anda tentang benturan peradaban menyatakan bahwa 
"politik global dewasa ini seharusnya dipahami sebagai hasil dari konflik yang 
mengakar antara kebudayaan-kebudayaan dan agama-agama besar dunia." Tesis ini 
memperoleh momentum pasca 11 September, dan kini perang melawan terorisme 
sering didefinisikan sebagai pertarungan Barat melawan Islam, sebagai benturan 
mendasar dari kedua peradaban ini. Apakah Anda merasa bahwa tesis anda telah 
digunakan dengan tepat dalam menggambarkan perang melawan terorisme sebagai 
perang antara Barat melawan Islam? Jika tidak, perubahan-perubahan apa dalam 
penerapan teori Anda yang ingin anda lakukan?

SH: Argumen dalam buku saya tentang benturan peradaban dicerminkan dengan baik 
dalam kutipan singkat yang mengatakan bahwa hubungan antar negara di dekade 
mendatang akan mencerminkan komitmen kebudayaan mereka, ikatan kebudayaan 
mereka, dan permusuhan mereka dengan negara-negara lain. Cukup jelas bahwa 
kekuasaan akan terus memainkan peran utama dalam politik global seperti yang 
selama ini selalu terjadi, walaupun biasanya ada sesuatu yang lain. Pada abad 
ke-18 di Eropa, sebagian besar isu melibatkan masalah seputar monarki atau 
monarki melawan gerakan republikan yang tengah bangkit, pertama di Amerika dan 
kemudian di Perancis. Pada Abad 19, bangsa dan rakyat berusaha mendefiniskan 
nasionalisme mereka dan menciptakan negara yang mencerminkan nasionalisme 
mereka. Pada abad ke-20, ideologi tampil ke muka, sebagian besar, tetapi tidak 
eksklusif, sebagai akibat dari Revolusi Rusia dan kita memiliki fasisme, 
komunisme, dan demokrasi liberal bersaing satu sama lain. Boleh
 dibilang, semua itu telah berakhir. Dua ideologi (fasisme dan komunisme) 
memang tidak sepenuhnya hilang tetapi telah tergusur ke tepian, sementara 
demokrasi liberal telah diterima di seluruh dunia, setidaknya secara teoritik. 
Jadi pertanyaan sesungguhnya adalah apa yang akan menjadi pusat perhatian 
politik global dalam dekade-dekade mendatang. Menurut hemat saya, identitas 
budaya, permusuhan budaya dan berbagai bentuk ikatan lainnya, akan memainkan 
peranan utama, meski bukan satu-satunya. Berbagai negara akan bekerja sama, dan 
akan lebih besar kemungkinannya untuk bekerja sama jika mereka memiliki 
kesamaan budaya, seperti yang diperlihatkan secara dramatis oleh Uni Eropa. 
Kelompok-kelompok lain sedang bermunculan di Asia Timur dan di Amerika Selatan. 
Pada dasarnya, seperti yang saya katakan, politik-politik mereka akan 
menyesuaikan diri berdasarkan persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan 
budaya.

Islamica: Jika tesis Anda sepenuhnya menjelaskan hubungan antara negara-negara 
pasca 11/9, bagaimana Anda menempatkan persekutuan antara Pakistan dan Amerika 
Serikat melawan Afghanistan misalnya, atau relasi-relasi yang serupa?

SM: Ya, jelas bahwa Pakistan dan AS merupakan dua negara yang sangat berbeda, 
tetapi kami memiliki kesamaan kepentingan geopolitik untuk mencegah komunis 
menguasai Afghanistan dan karena itu, mengingat kesediaan Pakistan, meski 
pemerintahan mereka berada di tangan milier, kami bekerja bersama dalam rangka 
mendorong kepentingan-kepentingan bersama kami. Tetapi jelas bahwa kami juga 
berbeda pandangan dengan Pakistan dalam banyak persoalan.

Islamica: Anda mengatakan dalam buku anda, "Selama 45 tahun, Tirai Besi 
merupakan garis pembatas utama di Eropa. Garis itu telah berpindah beberapa 
ratus mil ke timur. Sekarang ia memisahkan bangsa-bangsa Kristen Barat, di satu 
sisi, dari bangsa-bangsa Muslim dan Ortodoks di sisi lain." Beberapa ahli telah 
menanggapi analisis tersebut dengan menyatakan bahwa pembuatan perbedaan yang 
begitu tegas antara Barat dan Islam mengesankan adanya keseragaman masif dalam 
kedua kategori tersebut. Sebagian lain menambahkan bahwa pembagian seperti itu 
mengesankan bahwa Islam tidak hidup di dunia Barat. Saya memahami bahwa ini 
merupakan kecaman yang sering Anda terima. Secara umum, bagaimana tanggapan 
Anda terhadap analisis seperti itu?

SH: Pengertian, yang seperti Anda katakan dipahami sebagian orang, sama sekali 
salah. Saya tidak mengatakan bahwa Barat bersatu, saya tidak berpendapat 
demikian. Jelas bahwa ada perbedaan-perbedaan dalam dunia Barat, demikian pula 
dengan dunia Islam — ada sekte-sekte yang berbeda, masyarakat yang berbeda, 
negara yang berbeda. Jadi tak satupun yang benar-benar seragam. Tetapi mereka 
memiliki kesamaan-kesamaan. Orang-orang di manapun berbicara tentang Islam dan 
Barat. Agaknya hal tersebut berhubungan dengan fakta bahwa ini semua adalah 
pihak-pihak yang memiliki arti dan mereka memang memilikinya. Tentu saja inti 
dari kenyataan tersebut adalah perbedaan-perbedaan dalam agama.

Islamica: Adakah hal yang merekonsiliasi atau titik temu antara, sebagaimana 
yang sering digambarkan, kedua sisi "Tirai Besi" ini?

SH: Pertama, Anda menyatakan "kedua sisi", tetapi seperti yang telah saya 
sampaikan, kedua sisi ini terbagi-bagi, dan negara-negara Barat bekerjasama 
dengan negara-negara Muslim, atau sebaliknya. Saya pikir itu adalah suatu 
kesalahan, saya tegaskan, untuk memikirkan dua sisi homogen yang sesungguhnya 
saling bertentangan. Politik global tetap sangat rumit dan semua negara 
memiliki kepentingan berbeda-beda, yang juga akan membawa mereka menjalin 
pertemanan dan persekutuan yang kelihatannya aneh. AS telah dan masih bekerja 
sama dengan berbagai diktator militer di seluruh dunia. Jelas kita menginginkan 
mereka melakukan demokratisasi, tetapi kita melakukannya karena kita memiliki 
kepentingan nasional, entah itu bekerjasama dengan Pakistan mengenai 
Afghanistan atau apapun.

###

* Samuel Huntington merupakan Profesor Universitas Albert J. Weatherhead III di 
Universitas Harvard dan penulis berbagai buku terkenal termasuk The Clash of 
Civilizations and the Remarking of World Order (1996). Artikel lengkap dari 
artikel ini tersedia di situs web Majalah Islamica di www.islamicamagazine.com. 
Artikel ini disebarluaskan oleh Common Ground News Service (CGNews) dan dapat 
dibaca di www.commongroundnews.org.

Sumber: Islamica Magazine, September 2006, www.islamicamagazine.com 
Hak cipta untuk publikasi telah diperoleh.                      4)  Bagaimana 
Membeli Citra
Ayman El-Amir         Kairo – Orang Arab dan Muslim harus berpikir dua kali 
sebelum mempercayai bahwa memiliki saluran media di Barat dapat mengubah cara 
pandang Barat.

Para pembuat film, rumah busana, perusahaan, jaringan penjual makanan eceran, 
raja minyak, bahkan politisi mengeluarkan biaya besar untuk membeli sebuah 
kesan positif yang akan menarik hati ceruk pasar yang mereka incar. Seperti 
halnya kosmetik, penciptaan kesan merupakan sebuah industri miliaran dolar yang 
keuntungannya bisa sangat besar, jika citra tersebut dapat dijual. Para pembuat 
iklan di pasar AS dan Eropa mengakui bahwa para pelanggan terdorong untuk 
membeli sebuah citra, bukan poduk. Tentu saja, produk yang bersaing harus 
memiliki kualitas untuk dijual: pasta gigi harus mengkilatkan gigi dan deterjen 
harus membersihkan pakaian. Pertanyaannya, apakah umat Muslim ingin memasarkan 
sebuah kesan postitif tentang Islam di Barat dengan cara yang sama?

Pertanyaan ini diajukan secara tidak langsung pada pertemuan Organisasi 
Konferensi Islam (OKI) yang baru saja berakhir di Riyadh, Arab Saudi. 
Sekretaris Jenderal OKI, Ekmeledin Ihsanoglu yang berasal dari Turki, 
menyarankan bahwa "para investor Muslim harus berinvestasi dalam institusi 
media besar dunia, yang umumnya membuat keuntungan cukup besar sehingga mereka 
mempunyai kemampuan mempengaruhi kebijakan mereka melalui dewan 
administrasinya." Ia mencontohkan multimiliarder Saudi Pangeran Al-Waleed Bin 
Talal yang memiliki sekitar 5,46 peren saham pada Rupert Murdoch's News Corp, 
pemilik saluran Fox News TV yang terkenal anti-Arab.

Kenyataannya, untuk memiliki saham yang dapat mengendalikan konglomerat seperti 
Colgate-Palmolive sama sekali berbeda dengan memiliki saham dalam sebuah 
organisasi media. Organisasi-organisasi media adalah pembentuk pendapat orang 
dan yang bisa memiliki mereka dan berapa jumlahnya merupakan isu yang cukup 
sensitif. Contoh kecil tapi berarti untuk disebut adalah keberatan-keberatan 
Kongres AS atas keberhasilan Dubai Ports World di awal tahun ini menawar hak 
pengelolaan tujuh terminal pelabuhan AS. Di bawah tekanan kontroversi tersebut, 
pemerintah Dubai akhirnya menarik penawarannya. Belum lagi kesepakatan senilai 
$1,2 miliar dari Dubai International Capital untuk membeli Doncasters 
Corporation, perusahaan pembuat suku-suku cadang berpresisi bagi pesawat tempur 
militer AS dan tank bagi kontraktor-kontraktor seperti Boeing, Honeywell, 
Pratt, dan Whitney dan General Electric, yang bermarkas di London dan 
beroperasi di sembilah tempat di AS.

Kepemilikan sebuah perusahaan media menentukan kebijakan editorial dari medium 
tersebut hingga sejauh mana arah pendapat editorial tersebut, entah liberal, 
entah konservatif, atau mainstream. Sesungguhnya, apa yang paling dipedulikan 
oleh pemilik adalah untung-rugi, yang ditentukan oleh para pemasang iklan dan 
perating. Bahkan Pangeran Al-Waleed menyadari ini. Dalam demokrasi liberal 
Barat, menyuarakan propaganda tidak akan menarik penonton, justru menyebabkan 
peringkat yang buruk dan kerugian finansial. Komisi Komunikasi Federal AS (FCC) 
telah menetapkan tiga peraturan dasar bagi pemberian izin industri penyiaran: 
keadilan, waktu yang setara, dan kepentingan masyarakat. Namun masyarakatlah, 
dan pemasang iklan, yang menentukan kredibilitas sebuah saluran TV, stasiun 
radio, atau sebuah surat kabar. Rating ditentukan oleh kredibilitas dan 
popularitas, yang selanjutnya akan diikuti oleh iklan. Kredibilitas ditentukan 
oleh tingkat kebebasan yang dinikmati, atau yang seakan-akan
 dimiliki suatu media.

Sebuah usaha media yang berhasil pasti menjadi bagian tak terpisahkan dari 
jalinan sosio-ekonomi dan politik bangsa. Para pembaca dan penonton Perancis 
akan membaca Le Monde, Le Figaro atau l'Humanité bukannya The Washington Post 
atau The Boston Globe. Mereka akan menonton TV5 bukannya CNN atau BBC dalam 
bahasa Perancis. Ini adalah masalah kedekatan dengan kepentingan lokal dan 
nasional. Lebih jauh, negara-negara dunia melindungi kekuasaan penyiaran 
nasional mereka dengan ketat seperti mereka menjaga perairan perbatasan mereka. 
Itu adalah salah satu kesulitan yang dihadapi oleh Al-Jazeera Internasional 
saat mereka merencanakan untuk memulai siaran global, dan khususnya bagi para 
penonton Barat, bulan Mei silam. Negosiasi dengan saluran-saluran kabel yang 
akan memasukkan sinyal Al-Jazeera ke dalam jadwal pemrograman mereka yang 
kemudian memungkinkan setasiun terpandang itu menembus pasar nasional terbukti 
lebih sulit daripada yang dibayangkan sebelumnya.

Pertanyaan lainnya: sejauh manakah masyarakat Arab dan umat Muslim memiliki 
kesamaan sistem nilai dengan Barat? Kepentingan-kepentingan Barat atas arus 
pasokan minyak Arab yang berkelanjutan dan dalam jumlah besar, penjajahan masa 
lalu, dan sisa-sisa keantikan peradaban kuno yang lebih merupakan daya tarik 
turis daripada bahan kajian serius dan mendalam, boleh dibilang tidak memadai 
untuk disebut sebagai sistem nilai bersama. Bandingkan ini dengan tradisi 
Yudeo-Kristen yang telah dikembangkan oleh lobi Yahudi di AS selama empat 
dekade sejak masa gerakan hak-hak asasi manusia, dan yang telah diputarbalikkan 
oleh kaum neo-konservatif menjadi anti-Muslim atau anti-Arab demi membela 
Israel. Dikotomi sistem nilai inilah yang menghentikan kemitraan jangka pendek 
antara MBC dan BBC (siaran berbahasa Arab) pada 1996 dengan alas an perbedaan 
editorial. Jika sebagian harus mengambil langkah gila-gilaan seperti itu dalam 
menuju ekonomi pasar dan konsumerisme sebagai suatu standar
 nilai-nilai bersama, kita mungkin menemukan lebih banyak kesamaan dengan China 
atau Singapura tinimbang Barat.

Bagaimana dengan nilai-nilai universal lain? Di antara komoditas-komoditas 
moral dan material yang diimpor oleh rezim-rezim Arab/Muslim dari Barat, 
demokrasi, hak-hak asasi manusia, kebebasan berpikir dan menyatakan pendapat, 
keadilan dan kesetaraan di mata hokum, merupakan hal-hal yang paling tidak 
disukai atau dihargai. Beberapa pejabat Arab bahkan telah mempertimbangkan 
hingga begitu jauh bahwa Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia sebagai 
suatu ciptaan Barat dan bahwa ketetapan-ketetapannya tidak selalu sesuai dengan 
keunikan tradisi dan sistem nilai kita – suatu mekanisme protektif menentang 
hak-hak asasi manusia yang diakui secara universal.

Terkadang ketika para arsitek dari proses berusia satu dekade Barcelona masih 
berjuang untuk membangun landasan-landasan bagi sebuah dialog antara kebudayaan 
Eropa-Mediterania, muncul duri-duri yang menyentuh urat nadi. Ucapan Paus 
Benedict XVI, yang mengutip kalimat khusus dari seorang kaisar Byzantine Abad 
Pertengahan, Manuel II, yang menggambarkan Nabi Muhammad dan sifat dasar Islam 
sebagai jahat dan penuh kekerasan, disampaikan pada waktu yang tidak tepat dan 
dengan selera yang rendah. Datang pada saat luka sedang disembuhkan akibat dari 
kartun-kartun penuh penghinaan yang ditampilkan oleh harian Denmark, 
Jylldans-Posten, yang menggambarkan Rasul sebagai seorang teroris, rujukan yang 
tidak bijaksana dari Paus mungkin dapat membawa kemunduran dalam hubungan 
Muslim-Kristen hingga ke masa-masa Perang Salib – bisa-bisa membuat ramalan 
Presiden AS George W Bush menjadi kenyataan. Reaksi balik umat Muslim mungkin 
akan lebih keras lagi jika saja Paus tidak meminta maaf.

Citra yang ingin ditampilkan masyarakat Arab dan umat Muslim tidak tergantung 
pada mediumnya tetapi pada pesannya. Bahkan dalam masa-masa ekstrem dari sebuah 
dunia Muslim yang beragam dan penuh pertentangan, ada kesatuan yang pasti dari 
tujuan dan identitas kebudayaan. Kasih sayang, tenggang rasa, dan keyakinan 
tetap merupakan nilai-nilai yang diyakini umat Muslim dan bersifat universal. 
Sumbangan-sumbangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam bagi kebangkitan 
Eropa Abad Pertengahan dari Abad Kegelapan menuju Renaissance merupakan warisan 
bersama yang kurang terdokumentasi atau diakui secara memadai. Masa keemasan 
dunia Yahudi berkembang selama kekuasaan Muslim di Andalusia yang 
bertahun-tahun kemudian dibalas dengan inkuisisi Spanyol di bawah Isabelle dan 
Ferdinan telah membunuhi baik umat Muslim dan Yahudi.

Berpura-pura bahwa dunia Islam dan Barat tidak berlawanan arah hanya sebuah 
penyangkalan diri oleh mereka yang mendukung dialog antar budaya. Jika Islam 
memiliki Osama bin Laden, Barat memiliki kaum neo-konservatif. Keduanya 
memimpin dunia menuju suatu konfrontasi yang akan membawa kehancuran besar. 
Dialog antar budaya sejauh ini hanya menghasilkan usaha-usaha bilateral untuk 
menghentikan imigran ilegal dari Afrika dan Timur Tengah ke Eropa, di samping 
pertukaran informasi intelijen mengenai para agen dan rencana terorisme.

Sejauh ini kedua sistem nilai telah terbukti tidak sesuai satu sama lain. Umat 
Muslim harus berbuat lebih banyak untuk menciptakan citra yang meyakinkan 
tentang sistem nilai universal mereka sebelum memutuskan apakah hal tersebut 
perlu dikomunikasikan melalui gagasan tidak masuk akal seperti menguasai dewan 
konglomerat media, melalui satelit penyiaran atau melalui saluran TV pita lebar 
(broadband) di Internet.

###

* Ayman El-Amir adalah mantan koresponden Al-Ahram di Washington, DC. Ia juga 
bertindak sebagai direktur Radio dan Televisi Perserikatan Bangsa-bangsa di New 
York. Artikel ini disebarluaskan oleh Common Ground News Service (CGNews) dan 
dapat dibaca di www.commongroundnews.org.

Sumber: Al-Ahram Weekly, 28 September – 4 Oktober, 2006, 
www.ahram.org.eg/weekly 
Hak cipta untuk publikasi telah diperoleh.                      5)  Membungkam 
Dialog
Daniel Barenboim         Jerusalem – Pembatalan pergelaran karya Mozart, 
Idomeneo, di Berlin memunculkan pertanyaan paling penting tentang persepsi kita 
tentang dunia Muslim, sebuah isu yang belum diatasi secara memuaskan.

Produksi tersebut, yang belum sempat saya lihat dan karenanya tidak dapat saya 
komentari, untuk sementara waktu dikeluarkan dari daftar lagu Deutsche Oper's 
musim ini karena berbagai elemen di dalamnya yang dapat menyinggung atau 
menghina orang yang bahkan pada kenyataannya belum tentu dapat menyaksikannya.

Adalah tanggung jawab pemerintah untuk melindungi warga negaranya dari ancaman 
kekerasan dan terorisme, tetapi apakah sebuah gedung teater juga bertugas untuk 
melindungi para penontonnya dari pernyataan artistik yang mungkin ditafsirkan 
sebagai penghinaan?

Hubungan antara pernyataan artistik dan hubungan yang ditimbulkannya tidak 
seperti hubungan antara substansi dan persepsi. Kita lebih sering mengganti isi 
untuk menyesuaikannya dengan persepsi. Tentu saja, tak ada satu pun cara untuk 
menentukan hubungan yang dibangkitkan oleh seni karena hal tersebut merupakan 
hak prerogatif setiap orang.

Dalam musik, perbedaan antara isi dan persepsi ditentukan oleh kertas cetakan. 
Dalam teater atau opera, jika tidak ada kertas musik bagi arahan panggung, hal 
tersebut menjadi tanggung jawab pribadi sang sutradara.

Alasan mendasar dari peran teater dalam masyarakat adalah kemampuannya untuk 
tetap melakukan dialog berkesinambungan dengan kenyataan, terlepas dari 
dampaknya atas kenyataan. Bentuk dialog ini bukan merupakan sebuah lambang 
keberanian, atau kepengecutan, tetapi harus muncul dari dalam diri seseorang 
atau sebuah institusi, sebuah kebutuhan untuk mengekspresikan diri.

Membatasi kebebasan berekspresi seseorang sebagai tanggapan atas rasa takut 
sama tidak efektifnya dengan memaksakan pandangan seseorang melalui kekerasan 
militer.

Seni tidak mengenal moral, tidak juga mendidik atau menghina; reaksi kita 
terhadap seni yang membuatnya menjadi apapun yang ada dalam pikiran kita. 
Masyarakat kita semakin lama semakin banyak melihat kontroversi sebagai sebuah 
sifat yang negatif, tetapi perbedaan pendapat dan perbedaan antara isi dan 
persepsi dari suatu karya seni merupakan intisari dari kreativitas.

Jika isi dapat dimanipulasi, demikian juga persepsi, bahkan dengan hasil dua 
kali lipat. Dengan menyensor diri kita sendiri secara artistik karena rasa 
takut menghina kelompok tertentu, kita tidak hanya membatasi pemikiran manusia 
secara umum, tetapi juga telah menghina kecerdasan sebagian besar umat Muslim 
dan melucuti mereka dari kesempatan untuk menunjukkan kematangan berpikir 
mereka.

Penyensoran itu merupakan lawan utama dari dialog dan sebuah konsekuensi dari 
ketidakmampuan untuk membedakan antara berbagai pandangan berbeda yang ada di 
dunia Muslim yang luas.

Seni tidak ada urusannya dengan sebuah masyarakat yang menolak apa yang saya 
sebut standar-standar intelijen yang dapat diterima umum dan mengambil jalan 
pintas dengan pembenaran politik, yang pada kenyataannya memiliki intisari 
berbeda dengan fundamentalisme dalam beragam perwujudannya.

Baik pembenaran politik maupun fundamentalisme memberikan jawaban yang 
bertujuan bukan untuk lebih memahami keadaan, tetapi untuk menghindari 
pertanyaan-pertanyaan lebih lanjut. Bertindak atas dasar rasa takut tidak 
membawa ketenangan bagi para fundamentalis, yang memang sama sekali tidak punya 
keinginan untuk ditenangkan, dan tidak mendorong umat Muslim yang ingin 
berkembang dan berdialog.

Sebaliknya pembatalan itu bukannya meletakan umat Muslim sebagai mitra untuk 
mencari suatu penyelesaian, malah mengasingkan seluruh umat Muslim dan 
memposisikan mereka menjadi bagian dari masalah .

Dengan melucuti masyarakat kita dari dialog mendasar ini kita akan terus 
mengasingkan orang-orang yang usahanya dalam membangun perdamaian tidak boleh 
dibuang begitu saja demi masa depan tanpa kekerasan.

Mungkin dunia Muslim membutuhkan seorang Spinoza modern yang dapat menyampaikan 
sifat dasar Islam dengan cara yang sama seperti Spinoza yang mengekspresikan 
sifat dasar cara pemikiran Yudeo-Kristen, sekaligus berada di luarnya, bahkan 
menolaknya.

Keputusan untuk tidak menampilkan Idomeneo pada akhirnya menjadi sebuah 
keputusan yang tidak membedakan mana kelompok yang tercerahkan dan mana yang 
ekstremis, tak membedakan antara kaum intelektual dan kaum dogmatik, antara 
orang yang memiliki ketertarikan budaya dan orang dari manapun atau agama 
apapun yang berpandangan sempit.

Seperti yang saya katakan di atas, saya belum melihat pertunjukan ini. Saya 
hanya bisa berharap bahwa Hans Neuenfels, direktur Deutsche Oper, akan 
menganggap pameran potongan kepala Yesus, Muhammad, dan Buddha merupakan 
kebutuhan absolut dunia dalam yang didiktekan oleh musik Mozart.

Mungkin ia seharusnya membiarkan kepala-kepala ini berbicara sehingga mereka 
dapat membuat pengakuan tentang kebijakan agung dan kekuatan pemikiran yang 
mereka wakili bersama-sama.

###

* Daniel Barenboim adalah seorang pianis dan konduktor. Artikel ini 
disebarluaskan oleh Common Ground News Service (CGNews) dan dapat dibaca di 
www.commongroundnews.org.

Sumber: Internasional Herald Tribune, 2 Oktober, 2006, www.iht.com 
Hak cipta untuk publikasi telah diperoleh.              Pandangan Kaum Muda    
CGNews-MK juga secara berkala mempublikasikan tulisan-tulisan para mahasiswa 
jurnalis yang memperkuat pemahaman antar budaya dan mendorong perspektif dan 
dialog konstruktif di lingkungan mereka sendiri. Mahasiswa jurnalis dan para 
penulis di bawah usia 27 tahun dianjurkan untuk menulis kepada Chris Binkley 
([EMAIL PROTECTED]) untuk informasi lebih lanjut tentang pengiriman tulisan.    
     Tentang CGNews-MK    
Kantor Berita Common Ground - Mitra Kemanusiaan (CGNews-MK) mempublikasikan 
berita, opini, feature dan analisis oleh para ahli baik lokal maupun 
internasional mengenai berbagai masalah yang berkaitan dengan hubungan 
Muslim-Barat. CGNews-MK mengumpulkan artikel-artikel yang berimbang dan 
berorientasi-solusi dari media massa di seluruh dunia. Dengan dukungan dari 
Pemerintah Norwegia dan United States Institute of Peace, layanan ini merupakan 
inisiatif nir-laba dari Search for Common Ground, sebuah Lembaga Swadaya 
Masyarakat (LSM) internasional yang bergerak di bidang transformasi konflik.    
Layanan ini merupakan salah satu hasil dari serangkaian pertemuan kerja yang 
diadakan dengan kemitraan bersama Pangeran HRH El Hassan bin Talal di Jordania, 
pada bulan Juni 2003.    
Kantor Berita Common Ground juga membuat dan menyebarluaskan artikel-artikel 
berorientasi-penyelesaian masalah yang ditulis oleh para ahli baik lokal maupun 
internasional demi memajukan perspektif yang membangun dan mendorong dialog 
mengenai masalah-masalah Timur Tengah dewasa ini. Layanan ini, Kantor Berita 
Common Ground - Timur Tengah (CGNews-TT), juga tersedia dalam bahasa Arab, 
bahasa Inggris dan bahasa Hebrew. Untuk berlangganan, klik di sini.    
Pandangan yang disampaikan dalam artikel-artikel ini merupakan pandangan para 
pengarangnya, dan bukan pandangan CGNews-MK atau afiliasinya.    
Kantor Berita Common Ground
1601 Connecticut Avenue, NW Suite #200
Washington, DC 20009 USA
Ph: +1(202) 265-4300
Fax: +1(202) 232-6718

Rue Belliard 205 Bte 13 B-1040
Brussels, Belgia
Ph: +32(02) 736-7262
Fax: +32(02) 732-3033

Email : [EMAIL PROTECTED]
Website : www.commongroundnews.org

Editor
Emad Khalil (Amman)
Juliette Schmidt (Beirut)
Chris Binkley (Dakar)
Emmanuelle Hazan (Geneva)
Nuruddin Asyhadie (Jakarta)
Leena El-Ali (Washington)
Andrew Kessinger (Washington)

Penerjemah
Olivia Qusaibaty (Washington)
Rio Rinaldo (Jakarta)
Zeina Safa (Beirut)


CGNews adalah kantor berita nir-laba.
Anda saat ini terdaftar sebagai [EMAIL PROTECTED]
Untuk keluar dari layanan ini, klik disini.


                
---------------------------------
Do you Yahoo!?
 Get on board. You're invited to try the new Yahoo! Mail.

[Non-text portions of this message have been removed]



=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 

Kirim email ke