BISMILLA-HIRRAHMA-NIRRAHIYM WAHYU DAN AKAL - IMAN DAN ILMU [Kolom Tetap Harian Fajar] 757. Melindungi Perempuan? Revisi KUHP, bukan UU Perkawinan
Dalam Tajuk Harian FAJAR edisi 6 Desember 2006 termaktub: "Sebuah peristiwa yang dari sisi hukum, moral dan agama yang dianut Aa Gym bukanlah sebuah penyimpangan. Berbanding terbalik dengan kasus adegan sang legislator dan artis Maria Eva." Pada tanggal 5 Des 2006 secara mendadak, Menteri Pemberdayaan Perempuan Meutia Farida Hatta, dipanggil ke istana. Ia diminta menyiapkan revisi undang-undang dan peraturan pemerintah soal perkawinan. Meutia Hatta datang ke kantor presiden di komplek Istana Kepresidenan bersama Dirjen Bimas Islam Departemen Agama, Nas(a)ruddin Umar, yang sebelum menjadi Dirjen pernah menulis tentang adanya Nabi Perempuan [http://www.suaramerdeka.com/harian/0103/23/kha5.htm]. Menurut Seskab Sudi Silalahi yang mendampingi SBY, pertemuan itu membahas UU maupun PP tentang perkawinan yang dinilai belum memberikan perlindungan bagi kaum perempuan. Sudi Silalahi tidak menyangkal bahwa salah satu sebab SBY membahas masalah tersebut adalah protes masyarakat terkait poligami yang dilakukan Aa Gym. "HP (handphone) Bapak Presiden dan Ibu Negara sampai tidak muat menerima SMS soal itu," kata Sudi. Menurut Sudi, SBY sangat memperhatikan pentingnya perlindungan hukum bagi kaum perempuan. "Ini sebagai respons bahwa beberapa hari ini, Presiden dan Ibu Negara menerima banyak masukan dan saran dari kaum perempuan yang cukup perlu mendapat perhatian," kata Sudi. Kaum perempuan sekuler yang usil memprotes Aa Gym itu yang bagi isteri Aa Gym bukan masalah, itu adalah isyarat yang terang benderang, bahwa itu bermuatan politis, ternyata pula mendapat respons serius oleh SBY. Muatan politis itu didukung pula oleh kenyataan bahwa perzinaan yang haram yang diperbuat Yahya Zaini + pasangannya Maria Eva didiamkan saja oleh kaum perempuan sekuler yang memprotes itu. Tegasnya memang kaum sekuler itu heboh terhadap kasus poligami yang halal tidak pusing mengenai kasus zina yang haram. Mereka tidak mempunyai standar moral yang jelas. Apa benar untuk melindungi perempuan harus merevisi UU Perkawinan dengan melarang poligami? Justru yang harus direvisi dalam konteks perlindungan gadis-gadis adalah KUHP. Untuk membicarakan hal ini kita mulai dahulu dengan pemahaman privasi! Apa itu privasi? Dalam bingkai apa dan di bumi mana? Pengertian privasi atau keleluasaan pribadi menjadi rancu, karena umumnya orang tidak menyadari bahwa kakinya berpijak di Indonesia, tetapi kepalanya di Eropah. Ini tidak wajar. Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Kalau kaki berpijak di Indonesia maka kepalapun harus ada di Indonesia, menjunjung langit Indonesia. Kalau kepala ada di Eropah, maka privasi itu adalah bagian dari humanisme yang sangat liberal, yang menjiwai semboyan Revolusi Perancis: liberte', egalite' et fraternite' (kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan). Asal tahu saja Hak Asasi Manusia menurut Barat berlandaskan pandangan hidup humanisme agnostik tersebut. Demikian liberalnya, berdasarkan atas filsafat humanisme agnostik ini, sehingga demi privasi itu kekuasaan negara cq kehakiman berakhir di ambang pintu masuk kamar tidur. Di dalam kamar tidur, siapapun tidak berhak menggangu privasi orang-orang ataupun pasangan yang ada di dalamnya, kecuali jika salah seorang ataupun keduanya dari pasangan itu isteri atau suami seseorang. Yang laki-laki melanggar privasi suami perempuan teman sekamarnya dan yang perempuan melanggar privasi isteri laki-laki teman sekamarnya itu. Pemahaman privasi yang demikian itu (kepala di Eropah, kaki di Indonesia) terikut masuk ke Indonesia melalui Wetboek van Straftrecht voor Nederlandsch Indie. Setelah kita merdeka, menurut pasal VI UU 1946 no.1, diubah menjadi Wetboek van Strafrecht, atau (K)itab (U)ndang-Undang (H)ukum (P)idana. Pemahaman privasi itu kita jumpai dalam KUHP pasal 284: ayat (1) menyatakan bahwa diancam pidana seorang pria kawin yang melakukan zina, seorang wanita kawin yang melakukan zina; ayat (2) menyatakan bahwa tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/isteri yang tercemar. Secara tersurat yang dilarang oleh undang-undang adalah bermukah, yaitu perzinaan yang dilakukan oleh laki-laki dan atau perempuan yang sudah kawin, bahasa Makassarnya, assangkili', bahasa Belandanya "overspel" (keliwat main), dan itupun cuma delik aduan. Sesungguhnya pasal 284 tersebut substansinya bukanlah larangan bermukah, melainkan pada hakekatnya yang tersirat adalah pelanggaran privasi bagi suami dari isteri yang bermukah atau pelanggaran privasi bagi isteri dari suami yang bermukah. Oleh sebab itu polisi tidak dapat menangkap orang yang berzina jika suami perempuan berzina itu atau isteri laki-laki yang berzina itu tidak berkeberatan. Polisi tak dapat berbuat apa-apa walaupun menyarakat sekelilingnya melapor ke polisi tentang perzinaan itu. Maka gadis yang hamil karena berzina dengan seorang jejaka, tidaklah dapat ia mengadukan musibah kehamilannya itu ke polisi, berhubung gadis itu tidak punya suami ataupun jejaka itu tidak punya isteri yang akan berkebaratan. Dengan demikian jejaka yang menghamilkan itu tidak dapat diseret oleh polisi untuk disodorkan ke jaksa, untuk selanjutnya didudukkan di kursi terdakwa dalam ruang pengadilan. KUHP tidak melindungi perempuan. Justru inilah yang harus diubah, bukan UU Perkawinan. Yayasan Jurnal Perempuan dan konco-konconya yang sekuler itu salah tembak, karena matanya juling (cross-eyed), sehingga poligami dilihatnya sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan. Pasal 284 tersebut harus diganti dengan undang-undang yang lebih efektif sesuai dengan Syari'at Islam, untuk mencegah perzinaan (pelacuran, hubungan seks secara liar). Betapa tidak! Sanksinya hanya maksimum 9 bulan, yang dapat dituntut hanya yang bermukah, hanya delik aduan, dan pengaduan dapat ditarik kembali. Undang-undang pengganti pasal 284 KUHP tersebut, harus melarang perzinaan, baik yang masih belum kawin, ataupun lebih-lebih lagi yang sudah kawin, bukan delik aduan, siapa saja yang mengadukan kepada yang berwajib harus dilakukan penuntutan, pengaduan tidak boleh ditarik kembali. Dengan demikian maka hal memalukan Lembaga Legislatif karena perbuatan anggotanya Yahya Zaini yang bertzina dengan Maria Eva (pengurus AMPI?), andaikata KUHP sejak dahulu direvisi, keduanya akan berhadapan dengan hukum. Firman Allah: -- WLA TQRBWA ALZNY ANH KAN FAhSyt WSAa SBYLA (S. BNY ASRAaYL, 17:32), dibaca: -- wala- taqrabuz zina- innahu- ka-n fa-hisyatan wasa-a sabi-lan, artinya: -- Janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu sangat keji dan jalan yang amat jahat. Mendekati saja sudah dilarang, betapa pula melakukannya. Ini semua tidak dilihat oleh Yayasan Jurnal Perempuan dan konco-konconya yang sekuler yang matanya juling itu. WalLlahu a'lamu bisshawab. *** Makassar, 10 Desember 2006 [H.Muh.Nur Abdurrahman] [Non-text portions of this message have been removed]