Hermeneutika saya kira adalah kegiatan level prabu atau bengawan.

Banyak syarat yang harus dipenuhi untuk mencapai level penafsir/hermeneutis.
Jika di dunia akademis, seorang specialis atau level doktor barangkali yang
tafsirannya bisa diandalkan. Dalam bidang agama, tuntutannya lebih tinggi.
Paling tidak syarat-syarat untuk menjadi ulama yang tafsirannya dapat
menjadi rujukan paling tidak harus adil, akhlaknya baik, menguasai ilmu2 Al
Qur'an dan Al hadist serta ilmu-ilmu penunjang lainnya baik ilmu2 keagamaan
maupun ilmu-ilmu yang sering disebut sebagai ilmu dari barat. Lebih dari
itu, berkaitan dengan Al Qur'an, ada level yang lebih tinggi lagi, berhubung
untuk Al Qur'an ada yang disebut dengan ta'wil dan ada yang disebut dengan
tafsir. Dalam salah satu mdzhab, seorang yang sudah mencapai level penafsir
belum tentu mencapai level (boleh) mena'wil. Syarat sebagai pena'wil lebih
tinggi lagi.

Secara keilmuan/akademis, sebelum membahas tafsir, seorang ahli tafsir
mestilah menguraikan dulu sebuah wacana berdasarkan ilmu bahasa: etimologi
dan leksikal (berdasarkan kamus). Dalam hal ini, makna bahasa yang terdapat
di tengah masyarakat pun (sosiologi bahasa? maaf saya kurang tahu istilah
persisnya yang jelas maksudnya adalah makna yang dipahami masyarakat dari
masa ke masa juga) harus dibahas.

Lebih jauh dari itu, seorang penafsir mestilah adil. Ia harus membedakan
atau menjelaskan tafsiran itu yang mana yang atas dasar keyakinan, yang mana
yang lebih mendekati kebenaran menurutnya, dan yang mana yang merupakan
fakta. Dalam prakteknya, amatlah sedikit yang mampu sampai ke tingkatan
seperti itu. Jika keyakinan masih kental dengan nuansa subyektif, kebenaran
masih dapat diperdebatkan, namun fakta adakalanya menyakitkan dan sering
"ditafsirkan" menjadi kebenaran atau keyakinan.  Bernard Russel pernah
berkata, kl - saya bahasakan kembali -: "Antara keyakinan, kebenaran, dan
fakta lah yang terkadang sering menyakitkan namun - bagaimana pun itu -
harus diterima".

Salam,
manAR



On 12/16/06, d. candraningrum <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
>   Mbak Ida yang baik dan temen2 WM semua,
>
> semoga sehat selalu. Maaf, saya belum tahu kalau Mbak Ida tanya saya
> soal hermeneutika di sini (milis WM). hanya sesekali saja saya
> mampir di WM.
>
> Terima kasih banyak Mbak atas apresiasinya (tulisan di Jurnal
> Perempuan). Mengenai Hermeneutika (a la Yunani-Barat), ada bahasa
> lain yang serupa, yaitu "ilmu tafsir" (a la Muslim). tapi, Pak
> Syamsuddin ini tidak mau mengakui kalau "ilmu tafsir" itu adalah
> juga pisau "hermeneutika". Keduanya memiliki esensi yang sama, meski
> beda kata.
>
> cara bedah-nya ada beberapa tahap:
>
> A. Impersonal Other
> 1. I talk about It
> 2. I talk about They
> 3. I talk with You
> It, They dan You itu masih "impersonal", tidak menganggap orang lain
> setara dengan kita. Ini biasa dilakukan pemikir yang
> melihat/mengkritik konsep lain, dari kandang sendiri. Step ke-3 ini,
> masih yang paling aman dipakai, demi keselamatan identitas masing2.
> Jadi tidak perlu memaksakan satu sama lain. tapi masih menganggap
> orang lain sebagai orang lain. Dengan Step-3 ini kedua partisipan
> saling mengakui kebenaran masing2, tapi, tidak memilih bahwa
> partisipan lain juga mengungkapkan kebenaran.
>
> B. Personal Other
> 4. We discuss, atau We talk each other
> "We" ini memposisikan si peneliti/penerjemah sama dengan obyek
> studi. Dengan step ke-4 ini, kita saling mengakui dan
> menghargai "kebenaran" yang diproduksi oleh konsep lain. Step 4 ini
> mempercayai "universal conscience", bahwa setiap manusia, setiap
> kosmologi yang berbeda, sebenarnyalah, memiliki KESAMAAN HIKMAH yang
> tak terbantahkan.
>
> Sakit akut yang dimiliki "ras-etnis-umat agama-bangsa-dll" manapun
> adalah manakala mereka berbicara ttg orang lain dengan memakai step
> 1-2-3. Yang paling sehat adalah step nomor 4. Mbak Sirikit (dlm
> tulisan Hypocrisy Poligamy & Potret Keliru Poligami) dan Pak
> Syamsuddin (dalam tulisan Wahdatul Wujud dan Hermeneutika) ini
> adalah tipikal pemikir di step 1-2-3. Belum memilih step ke-4.
> Dengan step 4 ini, kita disyaratkan keluar dari kosmologi konsep
> kita, dan meneropong yang lain, secara setara. Jika ini tulisan
> ilmiah-akademik, step 4 ini pilihan terbagus. Jika ini mengenai
> keyakinan, sebaiknya Step-3, tetapi, tentu saja, tidak mencampurnya
> dengan perspektif ilmiah. karena akan berbenturan secara disipliner.
>
> Begitu mbak. menurut dewi. kita sambung diskusinya kalau Mbak Ida
> lagi ndak repot.
>
> salam hangat dari Muenster,
> dewi candraningrum
>
> --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com <wanita-muslimah%40yahoogroups.com>,
> "idakhouw" <[EMAIL PROTECTED]>
> wrote:
> >
> > Kalau saya sih Mas Ary, cuma binun aja sama penulis yg katanya
> sedang
> > studi promosi yg ke dua (di Jerman pulak). Dari tulisan2nya
> kelihatan
> > sih dia cukup well-informed tentang pemikiran dan perdebatan di
> bidang
> > post modernism dan turunannya, cuma saya suka bingung sama
> > argumentasi2 dan kesimpulan2nya, sepertinya penulis mengalami
> semacam
> > split personality?
> > Saya bayangkan promotornya bingung juga kali yha....
> >
> > Mungkin Mbak Dewi Candraningrum yg ahli posmo :) bisa menerangkan
> > "missing link"nya penulis ini dimana.
> >
> > Mbak Dewi, analisis "Spivakian"nya terhadap RUUAPP (di Jurnal
> > Perempuan) mencerahkan, saya suka bacanya.
> >
> > Salim,
> > Ida
> >
> >
> > --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com<wanita-muslimah%40yahoogroups.com>,
> "Ary Setijadi Prihatmanto"
> > <asetijadi@> wrote:
> > >
> > > fakta dan opini nyampur...jadi mirip propaganda...
> > > menurut mas prend sendiri gimana?
> > >
> > > ----- Original Message -----
> > > From: "P|R|E|N|D|69" <prend69@>
> > > To: <wanita-muslimah@yahoogroups.com<wanita-muslimah%40yahoogroups.com>
> >
> > > Sent: Friday, April 14, 2006 6:15 AM
> > > Subject: [wanita-muslimah] Hermeneutika dan Fenomena Taklid Baru
> > >
> > >
> > > (deleted)
> > >
> > > Tafsir nyeleneh ala Hermeneutika
> > > Sebagian perumus teori hermeneutika, mengajukan
> gagasan "pemisahan
> > teks dari
> > > pengarangnya" sebagai upaya untuk memahami teks dengan lebih
> baik.
> > Bahkan,
> > > orang seperti Scleiermacher meng&shy;aju&shy;kan gagasan tentang
> > kemungkinan
> > > penafsir dapat memahami lebih baik dari pengarangnya. Jika
> gagasan ini
> > > diterapkan untuk al-Quran, siapakah yang mampu mema&shy;hami
> > Al-Quran lebih
> > > baik dari Allah SWT atau Rasul-Nya?
> > >
> > > Inilah yang disesalkan banyak cendekiawan Muslim terhadap gagasan
> > Nasr Hamid
> > > Abu Zaid yang menyatakan bahwa al-Quran adalah "produk budaya"
> (muntaj
> > > tsaqafy).
> > >
> > > Dengan menganggap Al-Quran semata-mata adalah produk budaya,
> karya
> > sastra
> > > biasa, atau sekedar teks linguistik seperti teks-teks lainnya,
> maka itu
> > > berarti telah memisahkan al-Quran dari "Pengarangnya", yaitu
> Allah SWT.
> > >
> > > Padahal, sebagai kalam Allah, Al-Quran adalah tanzil. Redaksinya
> pun
> > berasal
> > > dari Allah SWT. Dia memang bahasa Arab, tetapi bukan bahasa Arab
> > biasa. Dia
> > > adalah wahyu. Karena wahyu, maka manusia yang paling
> mema&shy;hami
> > maknanya
> > > adalah Rasul-Nya dan orang-orang yang sezaman dengannya (para
> sahabat).
> > >
> > > Jika teks Al-Qur`an dice&shy;rabut dari penjelasan
> Rasu&shy;lullah
> > SAW dan
> > > diletakkan dalam konteks paradigma "Marxis", maka maknanya tentu
> bisa
> > > berubah secara mendasar. Jika Allah meng&shy;haramkan babi, lalu
> > dianalisis
> > > secara sosial-budaya ketika itu, maka akan bisa disimpul&shy;kan
> secara
> > > hermeneutis, bahwa babi haram karena dagingnya enak dan tidak
> ada di
> > Arab.
> > >
> > > Sekedar interupsi, Hamka pernah bercerita, pada tahun 1963
> seorang
> > pelajar
> > > SMP di Semarang mengirim surat kepadanya. Si pelajar bercerita
> bahwa
> > > gurunya, seorang pemeluk setia agama Katolik, menerangkan dalam
> kelas
> > > tentang sebab diharamkannya daging babi. Kata guru itu, Nabi
> > Muhammad sangat
> > > suka makan daging babi, sebab terlalu enak. Pada suatu hari
> pelayan
> > beliau
> > > mencuri perse&shy;diaan daging babi yang akan beliau makan.
> > >
> > > Ketika datang waktu makan, beliau minta persediaan daging yang
> > sangat enak
> > > itu. Si pelayan mengaku salah, telah mencuri dan memakan daging
> babi
> > itu.
> > > Mendengar itu, Nabi Muham&shy;mad sangatlah marah karena
> dagingnya
> > dicuri.
> > > Saking marah&shy;nya, mulai hari itu dijatuhkanlah
> hukuman: "Haram atas
> > > umatku makan daging babi". Lihat, Hamka, Studi Islam, 1985:245-
> 246);
> > >
> > > Selain itu, hukum potong tangan akan dikatakan sebagai hukum
> yang hanya
> > > cocok untuk masyarakat baduy gurun di Arab; alasan muslimah
> haram kawin
> > > dengan laki-laki non-muslim karena masya&shy;rakat&shy;nya
> didominasi
> > > laki-laki; jilbab hanya wajib untuk daerah Arab karena iklimnya
> > panas dan
> > > berdebu; khamr haram hanya di daerah panas; homoseksual haram
> karena
> > ketika
> > > itu belum ada HAM; dan sebagainya.
> > >
> > > Berbagai pemahaman nyeleneh seperti di atas, akan terus
> bermunculan
> > apabila
> > > hermeneutika digunakan dalam menginterpretasikan Al-Qur'an.
> hermeneutika
> > > ilmu sesat
> >
>
> 
>


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke