Pak Oman, saya punya beberapa pertanyaan.

Jika untuk menafsirkan demikian sulit persyaratannya, mengapa Al-
Quran dikatakan diturunkan untuk semua manusia? Sementara yang 
sanggup menafsirkan hanya segelintir manusia yang dianggap memiliki 
kualifikasi sebagai penafsir. 

Lalu, manusia-manusia lainnya yang dianggap tidak memiliki 
kualifikasi sebagai penafsir, apakah harus mengikuti tafsir dari 
segelintir manusia yang dianggap berhak menafsir itu?

Dan satu hal lagi, Al-Quran memberi informasi dalam Q.S. [56] : 77-79:
"Sesungguhnya Al-Quran ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada 
kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali 
Al-Muthahharuun (orang-orang yang disucikan)". 

Apakah yang disebut "Al-Muthahharrun" ini adalah manusia-manusia yang 
dianggap berhak menafsirkan itu?

Terima kasih.

salam,

muhkito

--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "oman 
abdurahman" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> Hermeneutika saya kira adalah kegiatan level prabu atau bengawan.
> 
> Banyak syarat yang harus dipenuhi untuk mencapai level penafsir/
hermeneutis.
> Jika di dunia akademis, seorang specialis atau level doktor 
barangkali yang
> tafsirannya bisa diandalkan. Dalam bidang agama, tuntutannya lebih 
tinggi.
> Paling tidak syarat-syarat untuk menjadi ulama yang tafsirannya 
dapat
> menjadi rujukan paling tidak harus adil, akhlaknya baik, menguasai 
ilmu2 Al
> Qur'an dan Al hadist serta ilmu-ilmu penunjang lainnya baik ilmu2 
keagamaan
> maupun ilmu-ilmu yang sering disebut sebagai ilmu dari barat. Lebih 
dari
> itu, berkaitan dengan Al Qur'an, ada level yang lebih tinggi lagi, 
berhubung
> untuk Al Qur'an ada yang disebut dengan ta'wil dan ada yang disebut 
dengan
> tafsir. Dalam salah satu mdzhab, seorang yang sudah mencapai level 
penafsir
> belum tentu mencapai level (boleh) mena'wil. Syarat sebagai 
pena'wil lebih
> tinggi lagi.
> 
> Secara keilmuan/akademis, sebelum membahas tafsir, seorang ahli 
tafsir
> mestilah menguraikan dulu sebuah wacana berdasarkan ilmu bahasa: 
etimologi
> dan leksikal (berdasarkan kamus). Dalam hal ini, makna bahasa yang 
terdapat
> di tengah masyarakat pun (sosiologi bahasa? maaf saya kurang tahu 
istilah
> persisnya yang jelas maksudnya adalah makna yang dipahami 
masyarakat dari
> masa ke masa juga) harus dibahas.
> 
> Lebih jauh dari itu, seorang penafsir mestilah adil. Ia harus 
membedakan
> atau menjelaskan tafsiran itu yang mana yang atas dasar keyakinan, 
yang mana
> yang lebih mendekati kebenaran menurutnya, dan yang mana yang 
merupakan
> fakta. Dalam prakteknya, amatlah sedikit yang mampu sampai ke 
tingkatan
> seperti itu. Jika keyakinan masih kental dengan nuansa subyektif, 
kebenaran
> masih dapat diperdebatkan, namun fakta adakalanya menyakitkan dan 
sering
> "ditafsirkan" menjadi kebenaran atau keyakinan.  Bernard Russel 
pernah
> berkata, kl - saya bahasakan kembali -: "Antara keyakinan, 
kebenaran, dan
> fakta lah yang terkadang sering menyakitkan namun - bagaimana pun 
itu -
> harus diterima".
> 
> Salam,
> manAR
> 
> 
> 
> On 12/16/06, d. candraningrum <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
> >
> >   Mbak Ida yang baik dan temen2 WM semua,
> >
> > semoga sehat selalu. Maaf, saya belum tahu kalau Mbak Ida tanya 
saya
> > soal hermeneutika di sini (milis WM). hanya sesekali saja saya
> > mampir di WM.
> >
> > Terima kasih banyak Mbak atas apresiasinya (tulisan di Jurnal
> > Perempuan). Mengenai Hermeneutika (a la Yunani-Barat), ada bahasa
> > lain yang serupa, yaitu "ilmu tafsir" (a la Muslim). tapi, Pak
> > Syamsuddin ini tidak mau mengakui kalau "ilmu tafsir" itu adalah
> > juga pisau "hermeneutika". Keduanya memiliki esensi yang sama, 
meski
> > beda kata.
> >
> > cara bedah-nya ada beberapa tahap:
> >
> > A. Impersonal Other
> > 1. I talk about It
> > 2. I talk about They
> > 3. I talk with You
> > It, They dan You itu masih "impersonal", tidak menganggap orang 
lain
> > setara dengan kita. Ini biasa dilakukan pemikir yang
> > melihat/mengkritik konsep lain, dari kandang sendiri. Step ke-3 
ini,
> > masih yang paling aman dipakai, demi keselamatan identitas 
masing2.
> > Jadi tidak perlu memaksakan satu sama lain. tapi masih menganggap
> > orang lain sebagai orang lain. Dengan Step-3 ini kedua partisipan
> > saling mengakui kebenaran masing2, tapi, tidak memilih bahwa
> > partisipan lain juga mengungkapkan kebenaran.
> >
> > B. Personal Other
> > 4. We discuss, atau We talk each other
> > "We" ini memposisikan si peneliti/penerjemah sama dengan obyek
> > studi. Dengan step ke-4 ini, kita saling mengakui dan
> > menghargai "kebenaran" yang diproduksi oleh konsep lain. Step 4 
ini
> > mempercayai "universal conscience", bahwa setiap manusia, setiap
> > kosmologi yang berbeda, sebenarnyalah, memiliki KESAMAAN HIKMAH 
yang
> > tak terbantahkan.
> >
> > Sakit akut yang dimiliki "ras-etnis-umat agama-bangsa-dll" manapun
> > adalah manakala mereka berbicara ttg orang lain dengan memakai 
step
> > 1-2-3. Yang paling sehat adalah step nomor 4. Mbak Sirikit (dlm
> > tulisan Hypocrisy Poligamy & Potret Keliru Poligami) dan Pak
> > Syamsuddin (dalam tulisan Wahdatul Wujud dan Hermeneutika) ini
> > adalah tipikal pemikir di step 1-2-3. Belum memilih step ke-4.
> > Dengan step 4 ini, kita disyaratkan keluar dari kosmologi konsep
> > kita, dan meneropong yang lain, secara setara. Jika ini tulisan
> > ilmiah-akademik, step 4 ini pilihan terbagus. Jika ini mengenai
> > keyakinan, sebaiknya Step-3, tetapi, tentu saja, tidak 
mencampurnya
> > dengan perspektif ilmiah. karena akan berbenturan secara 
disipliner.
> >
> > Begitu mbak. menurut dewi. kita sambung diskusinya kalau Mbak Ida
> > lagi ndak repot.
> >
> > salam hangat dari Muenster,
> > dewi candraningrum
> >
> > --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com <wanita-
muslimah%40yahoogroups.com>,
> > "idakhouw" <idakhouw@>
> > wrote:
> > >
> > > Kalau saya sih Mas Ary, cuma binun aja sama penulis yg katanya
> > sedang
> > > studi promosi yg ke dua (di Jerman pulak). Dari tulisan2nya
> > kelihatan
> > > sih dia cukup well-informed tentang pemikiran dan perdebatan di
> > bidang
> > > post modernism dan turunannya, cuma saya suka bingung sama
> > > argumentasi2 dan kesimpulan2nya, sepertinya penulis mengalami
> > semacam
> > > split personality?
> > > Saya bayangkan promotornya bingung juga kali yha....
> > >
> > > Mungkin Mbak Dewi Candraningrum yg ahli posmo :) bisa 
menerangkan
> > > "missing link"nya penulis ini dimana.
> > >
> > > Mbak Dewi, analisis "Spivakian"nya terhadap RUUAPP (di Jurnal
> > > Perempuan) mencerahkan, saya suka bacanya.
> > >
> > > Salim,
> > > Ida
> > >
> > >
> > > --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com<wanita-
muslimah%40yahoogroups.com>,
> > "Ary Setijadi Prihatmanto"
> > > <asetijadi@> wrote:
> > > >
> > > > fakta dan opini nyampur...jadi mirip propaganda...
> > > > menurut mas prend sendiri gimana?
> > > >
> > > > ----- Original Message -----
> > > > From: "P|R|E|N|D|69" <prend69@>
> > > > To: <wanita-muslimah@yahoogroups.com<wanita-
muslimah%40yahoogroups.com>
> > >
> > > > Sent: Friday, April 14, 2006 6:15 AM
> > > > Subject: [wanita-muslimah] Hermeneutika dan Fenomena Taklid 
Baru
> > > >
> > > >
> > > > (deleted)
> > > >
> > > > Tafsir nyeleneh ala Hermeneutika
> > > > Sebagian perumus teori hermeneutika, mengajukan
> > gagasan "pemisahan
> > > teks dari
> > > > pengarangnya" sebagai upaya untuk memahami teks dengan lebih
> > baik.
> > > Bahkan,
> > > > orang seperti Scleiermacher meng&shy;aju&shy;kan gagasan 
tentang
> > > kemungkinan
> > > > penafsir dapat memahami lebih baik dari pengarangnya. Jika
> > gagasan ini
> > > > diterapkan untuk al-Quran, siapakah yang mampu mema&shy;hami
> > > Al-Quran lebih
> > > > baik dari Allah SWT atau Rasul-Nya?
> > > >
> > > > Inilah yang disesalkan banyak cendekiawan Muslim terhadap 
gagasan
> > > Nasr Hamid
> > > > Abu Zaid yang menyatakan bahwa al-Quran adalah "produk budaya"
> > (muntaj
> > > > tsaqafy).
> > > >
> > > > Dengan menganggap Al-Quran semata-mata adalah produk budaya,
> > karya
> > > sastra
> > > > biasa, atau sekedar teks linguistik seperti teks-teks lainnya,
> > maka itu
> > > > berarti telah memisahkan al-Quran dari "Pengarangnya", yaitu
> > Allah SWT.
> > > >
> > > > Padahal, sebagai kalam Allah, Al-Quran adalah tanzil. 
Redaksinya
> > pun
> > > berasal
> > > > dari Allah SWT. Dia memang bahasa Arab, tetapi bukan bahasa 
Arab
> > > biasa. Dia
> > > > adalah wahyu. Karena wahyu, maka manusia yang paling
> > mema&shy;hami
> > > maknanya
> > > > adalah Rasul-Nya dan orang-orang yang sezaman dengannya (para
> > sahabat).
> > > >
> > > > Jika teks Al-Qur`an dice&shy;rabut dari penjelasan
> > Rasu&shy;lullah
> > > SAW dan
> > > > diletakkan dalam konteks paradigma "Marxis", maka maknanya 
tentu
> > bisa
> > > > berubah secara mendasar. Jika Allah meng&shy;haramkan babi, 
lalu
> > > dianalisis
> > > > secara sosial-budaya ketika itu, maka akan bisa 
disimpul&shy;kan
> > secara
> > > > hermeneutis, bahwa babi haram karena dagingnya enak dan tidak
> > ada di
> > > Arab.
> > > >
> > > > Sekedar interupsi, Hamka pernah bercerita, pada tahun 1963
> > seorang
> > > pelajar
> > > > SMP di Semarang mengirim surat kepadanya. Si pelajar bercerita
> > bahwa
> > > > gurunya, seorang pemeluk setia agama Katolik, menerangkan 
dalam
> > kelas
> > > > tentang sebab diharamkannya daging babi. Kata guru itu, Nabi
> > > Muhammad sangat
> > > > suka makan daging babi, sebab terlalu enak. Pada suatu hari
> > pelayan
> > > beliau
> > > > mencuri perse&shy;diaan daging babi yang akan beliau makan.
> > > >
> > > > Ketika datang waktu makan, beliau minta persediaan daging yang
> > > sangat enak
> > > > itu. Si pelayan mengaku salah, telah mencuri dan memakan 
daging
> > babi
> > > itu.
> > > > Mendengar itu, Nabi Muham&shy;mad sangatlah marah karena
> > dagingnya
> > > dicuri.
> > > > Saking marah&shy;nya, mulai hari itu dijatuhkanlah
> > hukuman: "Haram atas
> > > > umatku makan daging babi". Lihat, Hamka, Studi Islam, 
1985:245-
> > 246);
> > > >
> > > > Selain itu, hukum potong tangan akan dikatakan sebagai hukum
> > yang hanya
> > > > cocok untuk masyarakat baduy gurun di Arab; alasan muslimah
> > haram kawin
> > > > dengan laki-laki non-muslim karena masya&shy;rakat&shy;nya
> > didominasi
> > > > laki-laki; jilbab hanya wajib untuk daerah Arab karena 
iklimnya
> > > panas dan
> > > > berdebu; khamr haram hanya di daerah panas; homoseksual haram
> > karena
> > > ketika
> > > > itu belum ada HAM; dan sebagainya.
> > > >
> > > > Berbagai pemahaman nyeleneh seperti di atas, akan terus
> > bermunculan
> > > apabila
> > > > hermeneutika digunakan dalam menginterpretasikan Al-Qur'an.
> > hermeneutika
> > > > ilmu sesat
> > >
> >
> > 
> >
> 
> 
> [Non-text portions of this message have been removed]
>


Reply via email to