ISU KDRT: 
                      Antara Fakta dan Propaganda 

                          Oleh: H. Anggarawaty
                   (Aktivis Hizbut Tahrir Indonesia)

http://www.mail-archive.com/aroen99society@yahoogroups.com/msg01139.html

Ada ungkapan yang mengatakan,"Bila di luar rumah banyak penjahat yang
senantiasa mengancam kenyamanan dan keamananan kita, di rumah malah jauh
lebih tidak aman." Alasannya, kejahatan di luar rumah lebih mudah untuk
dideteksi, sedangkan kejahatan di dalam rumah-berupa tindak
kekerasan-saat ini sulit dideteksi penegak hukum. Masalahnya, selain
terlindung oleh pernikahan sebagai lembaga pengikat, Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (KDRT) juga masih tertutup dan selalu dianggap sebagai
masalah domestik.


Ungkapan di atas sering didengungkan oleh para aktivis feminis yang
menganggap bahwa perempuan merupakan korban pertama pelanggaran
HAM-sebagai korban KDRT-sekalipun di tempat yang dianggap paling aman,
yakni dalam keluarga. 


Badan Kesehatan Dunia (WHO) bekerjasama dengan Sekolah Kesehatan dan
Kedokteran Tropis London, dan PATH-suatu organisasi kesehatan
dunia-telah melakukan studi tentang kesehatan perempuan dan kekerasan
rumah tangga terhadap perempuan yang dirilis pada tanggal 30 November
2005. Peneliti mewawancarai 24.000 perempuan di 15 lokasi di sepuluh
negara yang dianggap mewakili, yaitu Banglades, Brazil, Etiopia, Jepang,
Namibia, Peru, Samoa, Serbia dan Montenegro, Republik Tanzania dan
Thailand. (www.who.int/en). Mereka menemukan seperempat sampai separuh
dari para wanita tersebut telah menjadi korban kekerasan secara fisik
oleh pasangan mereka. Perempuan yang menjadi korban kekerasan
kemungkinan besar berpeluang dua kali lipat untuk mempunyai masalah
kesehatan fisik dan mental yang lemah dibandingkan dengan perempuan yang
bukan korban kekerasan, sekalipun kekerasan tersebut banyak terjadi
tahun yang lalu. Satu dari sebelas korban kekerasan oleh pasangannya
mengatakan bahwa mereka telah mencoba bunuh diri.


Disebutkan pula, berdasarkan studi di banyak negara, 4-12% wanita hamil
dilaporkan dipukul selama kehamilan, Lebih dari separuh wanita hamil ini
telah ditendang perutnya. Para wanita yang melaporkan kekerasan fisik
dan seksual yang dialaminya lebih sedikit daripada yang tidak melapor.
Di Indonesia, menurut catatan Mitra Perempuan, hanya 15,2% perempuan
yang mengalami KDRT menempuh jalur hukum, sedangkan mayoritas (45,2%)
memutuskan pindah rumah dan 10,9% memilih diam.
Sampai saat ini isu KDRT merupakan isu yang seolah tidak pernah berhenti
untuk dipropagandakan. Apalagi ada anggapan mengenai belum efektifnya
pemberlakuan UU KDRT No. 23 tahun 2004 yang telah ditetapkan setahun
yang lalu. Padahal UU KDRT dianggap dapat menyelesaikan atau
mengeliminasi kasus kekerasan yang kerap terjadi dalam rumah tangga.
Namun, pada faktanya, angka kasus KDRT masih saja tinggi. Asisten Deputi
Urusan Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan Kantor Kementerian Negara
Pemberdayaan Perempuan, dr. Heru Kasidir, MSc. mengatakan, kasus KDRT di
Indonesia cukup tinggi kendati belum ada data kongkret tentang hal itu.
Namun, Juni 2006 survei pendataan angka tindak kekerasan itu akan
dilakukan dan bakal dimasukkan dalam data sosial-ekonomi, dan pada
September 2006 baru ada hasilnya. (Republika, 19/12/2005).


Data statistik lengkap mengenai kasus KDRT di seluruh Indonesia memang
belum tersedia. Namun, terdapat sejumlah informasi dari LSM dan
organisasi perempuan, khususnya Women's Crisis Centre yang khusus
menerima pengaduan dan membantu korban kasus KDRT, yang mengungkap fakta
tersebut. Mitra Perempuan Women's Crisis Centre di Jakarta mengaku,
selama periode 1997-2002 telah menerima pengaduan 879 kasus kekerasan
terhadap perempuan dalam rumah tangga yang terjadi di Jakarta, Bogor,
Tangerang, Bekasi, dan sekitarnya. Pelaku kekerasan terbanyak dilakukan
suami korban, yakni sebesar 69-74 persen. Rifka Annisa Women's Crisis
Centre di Yogyakarta, selama 1994-2000, menerima pengaduan 994 kasus
kekerasan terhadap istri oleh suami yang terjadi di Yogyakarta dan Jawa
Tengah. Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan bahkan pernah mengatakan,
11,4 persen dari 217 juta penduduk Indonesia, atau sekitar 24 juta
perempuan, terutama di pedesaan, mengaku pernah mengalami kekerasan, dan
terbesar adalah domestic violence (kekerasan dalam rumah tangga).
(http://www.bkkbn.go.id/article).


Kesulitan penanganan permasalahan KDRT sebenarnya wajar terjadi, karena
terdapat ketidakjelasan dalam pendefinisian KDRT itu sendiri. Dalam UU
No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(KDRT) disebutkan, bahwa definisi Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah
setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga; termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara
melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. 


Akan tetapi, Dra. VG Tinuk Istiarti M.Kes dari Pusat Studi Wanita/Gender
Universitas Diponegoro menyebutkan, suatu kejadian dapat digolongkan
KDRT jika ada pihak yang merasa dirugikan. Ia mencontohkan perlakuan
sadisme yang terjadi dalam hubungan intim suami-istri. ''Meskipun hal
tersebut tergolong KDRT, jika kedua belah pihak melakukannya dengan
sadar dan tanpa keterpaksaan, ya tidak dapat dilaporkan ke
polisi.'' (http://www.suaramerdeka.com/cybernews/harian/0512/10/dar11.htm).


Bahkan kekerasan terhadap laki-laki (salah satu contohnya perang/konflik
bersenjata lainnya) yang memungkinkan berdampak terhadap perempuan dapat
dikategorikan sebagai kekerasan terhadap perempuan.
(http://www.kompas.com/kompas-cetak/0011/29/iptek/memb25.htm).


Dengan ketidakjelasan definisi seperti ini, maka wajarlah jika
penyelesaian hukum menjadi tidak jelas dan tidak tuntas. 

Motif dan Aktor


Korban KDRT tidak selalu perempuan. Akan tetapi, pembicaraan mengenai
KDRT sering mengarah pada anggapan umum bahwa korban hampir selalu
perempuan, dan pelaku hampir selalu laki-laki. Padahal bisa saja hal itu
terjadi sebaliknya, dalam arti, kekerasan dapat dilakukan baik oleh
laki-laki maupun perempuan dan korbannya bisa laki-laki ataupun
perempuan. Menurut Azis Hoesein, kekerasan terhadap perempuan bukanlah
masalah yang terjadi di Indonesia saja, tetapi juga menjadi masalah
perempuan di seluruh dunia. Untuk itu, masalah kekerasan terhadap
perempuan merupakan salah satu dari 12 critical area of concern hasil
pertemuan Konferensi Perempuan Sedunia ke-4 di Beijing tahun 1995. 


Memang, latar belakang munculnya propaganda Isu KDRT sebenarnya tidak
lepas dari motif kesetaraan jender yang selama ini dipropagandakan oleh
kaum feminis, terutama dari negara-negara Barat yang menerapkan sistem
kapitalis-sekular. Sebelum diberlakukannya UU No. 23/2004 tentang KDRT,
Indonesia telah meratifkasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Perempuan atau Convention on the Elimination of
All Forms of Descrimination against Women (CEDAW) sejak 21 tahun lalu,
yakni melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984. Dalam memperjuangkan
kesetaraan dan keadilan bagi perempuan, Konvensi CEDAW tidak berdiri
sendiri, tetapi merupakan salah satu dari rangkaian konvensi yang saling
berkaitan satu dengan yang lainnya. Konvensi yang dilakukan sesudahnya
akan mempertajam arah dan tujuan yang telah ditetapkan pada konvensi
sebelumnya.


Penasihat jender Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Sjamsiah Achmad
mengatakan, Konvensi CEDAW yang dideklarasikan tahun 1979 didukung oleh
kegiatan lain, seperti memiliki Kerangka Aksi (Platform for Action)
Beijing 1995 dan Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development
Goals/MDG). Menurut Sjamsiah, MDG lahir dari Deklarasi Milenium,
konsensus global oleh 189 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa pada
tahun 2000. Deklarasi Milenium menggarisbawahi kepentingan absolut untuk
pemajuan HAM bagi semua orang. Untuk mencapai hal ini, pemajuan
perempuan menuju kesetaraan jender diakui sebagai kebutuhan dasar.
Deklarasi Milenium secara khusus juga bertekad memberantas semua bentuk
kekerasan terhadap perempuan dan melaksanakan Konvensi CEDAW. Peran
sentral kesetaraan jender juga menjadi fokus utama Deklarasi Milenium.
(Kompas, 30/7/2005). 


Tampak jelas bahwa isu KDRT tidaklah sekadar permasalahan yang terjadi
di tengah masyarakat. Lebih dari itu, ia merupakan propaganda yang
dihembuskan oleh kaum feminis sebagai aktornya. Sementara itu, motif
kesetaraan jender adalah esensi dari isu KDRT itu sendiri. Padahal
tuntutan kesetaraan jender sebenarnya merupakan tuntutan para wanita
Barat yang menerapkan sistem kapitalis-sekular.

Isu KDRT Menyerang Hukum Islam


Budaya patriarki dan agama sering menjadi target serangan isu KDRT.
Sebab, budaya patriarki dan agama sering dianggap sebagai penyebab
terjadinya KDRT, sekaligus sebagai penyebab tidak banyak terungkapnya
kasus KDRT. Akibatnya, kasus KDRT seperti fenomena gunung es yang hanya
menampakan puncaknya saja. "Hampir semua institusi sosial memakai
nilai-nilai patriarki," tegas Julia Suryakusuma, "termasuk di dalamnya
lembaga negara, hukum, pendidikan, agama, norma-norma, media massa,
keluarga, dan tentunya militer. (www.kompas.com).


Lebih khusus lagi, isu KDRT telah menyerang hukum-hukum Islam, terutama
yang berkaitan dengan aturan relasi antara laki-laki dan
perempuan-misalnya aturan mengenai kepemimpinan laki-laki (suami) atas
perempuan (istri); poligami; keharusan istri mengabulkan permintaan
suami di tempat tidur; hak suami dalam mendidik istri dalam kasus
nusyûz, yang membolehkan laki-laki memukul istri sebagai ta'dîb
(mendidik); dan sebagainya.


Kaum feminis telah menganggap aturan tentang kepemimpinan
laki-laki/suami atas perempuan/istri sebagai arogansi kekuasaan
laki-laki atas perempuan. Poligami dan keharusan istri memenuhi
permintaan suami di tempat tidur dianggap sebagai kekerasan seksual yang
terjadi atas perempuan, bahkan dikatakan sebagai pemerkosaan dalam
perkawinan (marital rape). Adapun kasus perlakukan suami terhadp istri
yang melakukan nusyûz (pembangkangan terhadap suami) dianggap oleh kaum
feminis sebagai kekerasan seksual sekaligus kekerasan fisik. Oleh karena
itu, menurut kaum feminis, ayat-ayat tentang kepemimpinan (QS
an-Nisa' [4]: 34), hadis Nabi saw. riwayat al-Bukhari tentang
kepemimpinan Kisra, ayat tentang poligami (QS an-Nisa' [4]: 3), hadis
Rasul tentang keharusan istri mengabulkan permintaan suami di tempat
tidur dan laknat malaikat atasnya, juga ayat tentang nusyûz (QS
an-Nisa' [4]: 34) adalah bias jender dan karenanya perlu direkonstruksi.


Tidak hanya itu, isu KDRT yang dihembuskan kaum feminis juga telah
menjungkirbalikkan relasi suami-istri dalam rumah tangga. Kaum feminis
berpendapat bahwa kepala keluarga/rumah tangga ditentukan oleh seberapa
dominan salah satu pihak secara ekonomi. Kaum feminis memandang, dengan
terbukanya peluang kerja bagi perempuan, maka perempuan mungkin untuk
mencari nafkah. Oleh karena itu, pihak yang memiliki penghasilan lebih
besar, dialah yang menjadi kepala keluarga. 


Kaum feminis juga menganggap domestikasi perempuan sebagai salah satu
bentuk kekerasan dalam rumah tangga. Sebab, domestikasi perempuan
sebagai ibu pendidik generasi dan pengatur rumah tidak menghasilkan
uang. Akibatnya, secara ekonomi perempuan akan senantiasa bergantung
pada laki-laki, dan tidak memiliki posisi tawar jika diperlakukan
seenaknya oleh laki-laki. Secara terpaksa perempuan akan menerima
perlakuan seperti itu, karena khawatir kehilangan sumber ekonominya. Hal
ini dipandang oleh kaum kapitalis sebagai salah satu penyebab
tersubordinasinya perempuan. Oleh karena itu, kaum feminis mendorong
perempuan untuk beraktivitas di sektor publik yang cenderung bernilai
ekonomi. Dengan begitu, dengan kemampuan akses terhadap sumber ekonomi,
perempuan akan mampu untuk memperjuangkan kesetaraan jender. 


Walhasil, isu KDRT tidak semata-mata merupakan permasalahan yang terjadi
di tengah masyarakat, tetapi telah menjadi alat kaum feminis untuk
melegitimasi gagasan kesetaraan jender dan menyerang hukum-hukum Islam.
Kaum feminis telah memandang sempit permasalahan kekerasan dalam rumah
tangga hanya terfokus pada korban perempuan dan pelaku laki-laki.
Padahal kekerasan bisa menimpa siapa saja dan pelakunya tidak hanya
laki-laki. Wallâhu a'lam bi ash-shawâb.





Kirim email ke