JAMBI EXPRESS

      Friday, 22 December 2006 
     
      Makna Toleransi & Kebebasan Beragama 

      Oleh  Drs. Khusyaini
      AJARAN Islam memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada setiap umat 
manusia untuk memilih atau menolak suatu agama tertentu, berdasarkan 
keyakinannya. Seseorang dipersilakan menjadi seorang Muslim yang bersyukur, 
tunduk dan patuh akan ketentuan Allah SWT atau menjadi seorang yang kufur, 
menolak dan menentang ajaran-Nya. Hal ini sebagaimana secara tegas dinyatakan 
dalam QS Al-Insaan:3 : "Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus, 
ada yang bersyukur, ada pula yang kafir.

      Bahkan ketika Rasulullah SAW memiliki keinginan kuat agar setiap orang 
beriman kepada Allah SWT, menjadi Muslim yang baik, dan bila perlu dengan 
pemaksaan dan tekanan, maka Allah SWT langsung mengingatkannya, dengan 
firman-Nya dalam QS Yunus:99-100 : "Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah 
beriman semua orang yang ada di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) 
memaksa supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya? Dan tidak ada 
seorang pun akan beriman kecuali dengan izin Allah dan Allah menimpakan 
kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya.

      Juga firman-Nya dalam QS Al Baqarah:256 : "Tidak ada paksaan untuk 
(memasuki) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan 
yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman 
kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang teguh kepada buhul tali yang 
amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Mahamendengar lagi Mahamengetahui."

      Ketika Rasulullah SAW dan para sahabatnya menguasai kembali kota Makkah 
(Futuh Makkah) setelah berhijrah ke kota Madinah selama kurang lebih sembilan 
tahun, dan pada saat itu kaum musyrikin Makkah sudah tidak memiliki kekuatan 
apa pun untuk melawannya (padahal dahulunya ketika mereka berkuasa, sangat 
kejam terhadap Rasulullah dan para sahabatnya), beliau tetap memberikan 
kebebasan seluas-luasnya kepada mereka untuk tetap menjadi kafir atau menjadi 
Muslim. Beliau bersabda: "Kalian bebas merdeka di muka bumi ini, tidak ada 
kedengkian dan hasud di antara kita." 

      Tetapi apa yang terjadi? Ternyata dengan kebesaran jiwa beliau tersebut 
yang merupakan refleksi dan manifestasi dari ketinggian ajaran Islam, mereka 
semuanya secara sadar dan sukarela mengucapkan dua kalimat syahadat dan 
menerima Islam sebagai agamanya. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam QS 
An-Nsahr:1-3 : "Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu 
lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah 
dengan memuji Tuhan-Mu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah 
Mahapenerima taubat".

      Tanggung jawab dari kebebasan beragama

      Kebebasan dan kemerdekaan yang seluas-luasnya ini agar pilihan-pilihan 
agama dan keyakinan tersebut menghasilkan suatu tanggung jawab yang kuat. 
Setiap orang didorong untuk melaksanakan ajaran agamanya dengan murni dan 
konsekuen, tanpa mencampuradukkan satu agama dengan agama yang lain atau satu 
keyakinan dengan keyakinan yang lain.

      Ketika seseorang mengucapkan dua kalimat syahadat dan menjadi Muslim, 
maka ia memiliki kewajiban untuk merealisasikan keislamannya dalam kehidupan 
kesehariannya, baik ketika berhubungan secara vertikal dengan Allah SWT maupun 
secara horizontal dengan sesama manusia, bahkan juga dengan alam semesta. 
Ketika sekelompok kaum Muslimin di zaman Abu Bakar secara sadar dan sengaja 
tidak mau mengeluarkan zakat, Abu Bakar sebagai khalifah pertama ketika itu, 
langsung berkata : "Demi Allah, saya akan memerangi orang yang memisahkan 
kewajiban salat dengan kewajiban zakat..."

      Ketegasan ini sangat diperlukan agar orang-orang tidak mempermainkan 
pelaksanaan ajaran agama berdasarkan hawa nafsunya sendiri, tanpa bimbingan 
wahyu Allah. Sebab hakikat keislaman dan keimanan seseorang bukan semata-mata 
ditentukan oleh pengakuannya saja, akan tetapi oleh keikhlasannya dalam 
menerima dan mengamalkan ajaran-Nya. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam QS 
An-Nuur:51-52 : "Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil 
kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka 
ialah ucapan 'Kami mendengar dan kami patuh (sami'naa wa atha'naa). Dan mereka 
itulah orang-orang yang mendapatkan kebahagaan. Dan barangsiapa yang taat 
kepada Allah dan rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka 
mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan."

      Sami'naa wa atha'naa bukanlah berarti menutup pintu ijtihad atau 
kreativitas karena Islam adalah agama yang mendorong umatnya untuk selalu 
berpikir menggunakan akal seoptimal mungkin, tetapi dalam kaitan peningkatan 
keimanan dan penguasaan ilmu serta teknologi untuk kesejahteraan umat manusia, 
sebagai realisasi dari fungsi kekhalifahannya. Sejarah telah mencatat dengan 
tinta emas, betapa banyak mujtahid dan pemikir Islam yang menghasilkan 
karya-karya inovatif dan kreatif yang sangat monumental dalam peradaban umat 
manusia, yang masih dirasakan relevan sampai saat ini, padahal usianya sudah 
berabad-abad yang lalu.

      Yang dilarang sesungguhnya adalah wilayah-wilayah yang bersifat pasti dan 
tetap yang setiap Muslim tidak boleh berbeda satu dengan yang lainnya. Sebagai 
contoh, kewajiban shalat lima waktu dengan jumlah 17 rakaat, kewajiban ibadah 
haji pada waktu dan bulan tertentu bagi yang mampu, Muhammad SAW sebagai nabi 
dan rasul terakhir, kebenaran Alquran yang bersifat mutlak dan absolut, adalah 
hal yang pasti dan tetap. Setiap muslim wajib memiliki keyakinan yang sama.  

      *Wakil Syuriah NU Muaro Jambi 
     
      Makna Toleransi & Kebebasan Beragama        
      Friday, 22 December 2006  
      Oleh  Drs. Khusyaini
      AJARAN Islam memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada setiap umat 
manusia untuk memilih atau menolak suatu agama tertentu, berdasarkan 
keyakinannya. Seseorang dipersilakan menjadi seorang Muslim yang bersyukur, 
tunduk dan patuh akan ketentuan Allah SWT atau menjadi seorang yang kufur, 
menolak dan menentang ajaran-Nya. Hal ini sebagaimana secara tegas dinyatakan 
dalam QS Al-Insaan:3 : "Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus, 
ada yang bersyukur, ada pula yang kafir.

      Bahkan ketika Rasulullah SAW memiliki keinginan kuat agar setiap orang 
beriman kepada Allah SWT, menjadi Muslim yang baik, dan bila perlu dengan 
pemaksaan dan tekanan, maka Allah SWT langsung mengingatkannya, dengan 
firman-Nya dalam QS Yunus:99-100 : "Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah 
beriman semua orang yang ada di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) 
memaksa supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya? Dan tidak ada 
seorang pun akan beriman kecuali dengan izin Allah dan Allah menimpakan 
kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya.

      Juga firman-Nya dalam QS Al Baqarah:256 : "Tidak ada paksaan untuk 
(memasuki) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan 
yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman 
kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang teguh kepada buhul tali yang 
amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Mahamendengar lagi Mahamengetahui."

      Ketika Rasulullah SAW dan para sahabatnya menguasai kembali kota Makkah 
(Futuh Makkah) setelah berhijrah ke kota Madinah selama kurang lebih sembilan 
tahun, dan pada saat itu kaum musyrikin Makkah sudah tidak memiliki kekuatan 
apa pun untuk melawannya (padahal dahulunya ketika mereka berkuasa, sangat 
kejam terhadap Rasulullah dan para sahabatnya), beliau tetap memberikan 
kebebasan seluas-luasnya kepada mereka untuk tetap menjadi kafir atau menjadi 
Muslim. Beliau bersabda: "Kalian bebas merdeka di muka bumi ini, tidak ada 
kedengkian dan hasud di antara kita." 

      Tetapi apa yang terjadi? Ternyata dengan kebesaran jiwa beliau tersebut 
yang merupakan refleksi dan manifestasi dari ketinggian ajaran Islam, mereka 
semuanya secara sadar dan sukarela mengucapkan dua kalimat syahadat dan 
menerima Islam sebagai agamanya. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam QS 
An-Nsahr:1-3 : "Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu 
lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah 
dengan memuji Tuhan-Mu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah 
Mahapenerima taubat".

      Tanggung jawab dari kebebasan beragama

      Kebebasan dan kemerdekaan yang seluas-luasnya ini agar pilihan-pilihan 
agama dan keyakinan tersebut menghasilkan suatu tanggung jawab yang kuat. 
Setiap orang didorong untuk melaksanakan ajaran agamanya dengan murni dan 
konsekuen, tanpa mencampuradukkan satu agama dengan agama yang lain atau satu 
keyakinan dengan keyakinan yang lain.

      Ketika seseorang mengucapkan dua kalimat syahadat dan menjadi Muslim, 
maka ia memiliki kewajiban untuk merealisasikan keislamannya dalam kehidupan 
kesehariannya, baik ketika berhubungan secara vertikal dengan Allah SWT maupun 
secara horizontal dengan sesama manusia, bahkan juga dengan alam semesta. 
Ketika sekelompok kaum Muslimin di zaman Abu Bakar secara sadar dan sengaja 
tidak mau mengeluarkan zakat, Abu Bakar sebagai khalifah pertama ketika itu, 
langsung berkata : "Demi Allah, saya akan memerangi orang yang memisahkan 
kewajiban salat dengan kewajiban zakat..."

      Ketegasan ini sangat diperlukan agar orang-orang tidak mempermainkan 
pelaksanaan ajaran agama berdasarkan hawa nafsunya sendiri, tanpa bimbingan 
wahyu Allah. Sebab hakikat keislaman dan keimanan seseorang bukan semata-mata 
ditentukan oleh pengakuannya saja, akan tetapi oleh keikhlasannya dalam 
menerima dan mengamalkan ajaran-Nya. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam QS 
An-Nuur:51-52 : "Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil 
kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka 
ialah ucapan 'Kami mendengar dan kami patuh (sami'naa wa atha'naa). Dan mereka 
itulah orang-orang yang mendapatkan kebahagaan. Dan barangsiapa yang taat 
kepada Allah dan rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka 
mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan."

      Sami'naa wa atha'naa bukanlah berarti menutup pintu ijtihad atau 
kreativitas karena Islam adalah agama yang mendorong umatnya untuk selalu 
berpikir menggunakan akal seoptimal mungkin, tetapi dalam kaitan peningkatan 
keimanan dan penguasaan ilmu serta teknologi untuk kesejahteraan umat manusia, 
sebagai realisasi dari fungsi kekhalifahannya. Sejarah telah mencatat dengan 
tinta emas, betapa banyak mujtahid dan pemikir Islam yang menghasilkan 
karya-karya inovatif dan kreatif yang sangat monumental dalam peradaban umat 
manusia, yang masih dirasakan relevan sampai saat ini, padahal usianya sudah 
berabad-abad yang lalu.

      Yang dilarang sesungguhnya adalah wilayah-wilayah yang bersifat pasti dan 
tetap yang setiap Muslim tidak boleh berbeda satu dengan yang lainnya. Sebagai 
contoh, kewajiban shalat lima waktu dengan jumlah 17 rakaat, kewajiban ibadah 
haji pada waktu dan bulan tertentu bagi yang mampu, Muhammad SAW sebagai nabi 
dan rasul terakhir, kebenaran Alquran yang bersifat mutlak dan absolut, adalah 
hal yang pasti dan tetap. Setiap muslim wajib memiliki keyakinan yang sama.  

      *Wakil Syuriah NU Muaro Jambi 
     


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke