Obat bagi kepentingan pribadi.. di atas kepentingan keluarga.. dengan jual ayat/agama.. :-p Juga ajang mentasbihkan diri sendiri lebih baik dari orang lain.. bahwa yang lain namun tidak berilmu dan berharta dilarang mengikuti.. Buktinya: nikah" diam".. dan pake cara nodong untuk keikhlasan sang istri yang sempet klenger dulu..
CMIIW.. Wassalam, Irwan.K On 1/2/07, abu faris <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > Pologami obat bagi orang yang mempunyai syahwat besar > daripada zinah sedangkan racun apabila menelantarkan > istri dan anak2 nya > > --- "L.Meilany" <[EMAIL PROTECTED] <wpamungk%40centrin.net.id>> > wrote: > > > Benar, Pak Ambon. > > Mengulas tulisan yg sifatnya fakta atau opini itu > > juga susah. > > Yg jelas, persepsi laki2 dan perempuan tentang > > masalah 'adil' mungkin beda > > Jadi nggak akan pernah bisa nyambung. > > Keadilan bagi perempuan bukan cuma menyangkut fisik > > semata- yg kelihatan > > tapi juga menyangkut batin. Lahiriah dan batiniah. > > > > Jadi, nggak bisa gitu memandang poligami hanya dari > > sudut pria saja. > > Poligami dimasa sekarang bukan melulu masalah > > teologis, tapi juga menyangkut kehidupan > > bermasyarakat, sosekbud. > > Laki2 memandang poligami hanya dari sisi agamanya > > saja, sedangkan perempuan secara holistik- > > keseluruhan. > > > > Selama masih beda, maka praktek poligami akan terus > > diomongin terutamanya oleh perempuan. > > Karena laki2 lebih menekankan pada masalah fisik > > semata, pokoknya asal 'adil' urusan > > materi semuanya dianggap beres. > > Sedangkan perempuan, anak2, kerabat itu lebih perasa > > :-) > > > > Salam > > l.meilany > > ----- Original Message ----- > > > > From: Ambon > > To: Undisclosed-Recipient:; > > Sent: Thursday, December 28, 2006 5:51 PM > > Subject: [wanita-muslimah] Poligami: Obat Atau > > Racun? > > > > > > > > > http://www.indomedia.com/bpost/122006/28/opini/opini1.htm > > > > Poligami: Obat Atau Racun? > > > > Pelaku poligami yang kaya raya mungkin bisa > > berhasil berbagi materi secara 'adil'. Tetapi, > > berhasil atau gagalnya ia berbagi keadilan di > > wilayah perasaan tak akan ada yang tahu. > > > > Sainul Hermawan > > Dosen FKIP Unlam > > > > Telatkah bicara soal poligami ketika berita > > tentang poligami Aa Gym mulai mereda? Jawabnya tentu > > tidak, karena persoalan poligami bukan hanya gosip > > murahan tetapi ia juga salah satu tema penting dalam > > penelitian Sosiologi dan Antropologi. Karenanya, > > persoalan poligami perlu terus didiskusikan dalam > > kerangka ilmiah atau dalam kerangka apa saja, > > termasuk untuk tujuan gosip murahan. > > > > Akumulasi dari seluruh rangkaian pembicaraan > > tentangnya akan memberikan informasi bagi publik > > untuk menyikapi poligami secara bijak. Dalam > > pengertian, bukan hanya menilai poligami dari satu > > sudut pandang tetapi juga dari berbagai pengalaman > > orang yang pernah mengalaminya. > > > > Ketika seorang muslim bicara soal legalitas > > poligami, ia akan merujuk QS ayat 3: " ... maka > > menikahlah dengan wanita-wanita (lain) yang kamu > > cintai; dua, tiga, atau empat orang wanita, namun > > bila kamu khawatir tidak dapat berbuat adil maka > > nikahilah satu orang wanita saja ...." Tetapi kita > > harus ingat, kalimat ini penggalan dari kalimat > > panjang yang memerlukan penafsiran yang luas pula. > > Tetapi, pecinta poligami pemula sering memplesetkan > > ayat ini hanya untuk sebagai bemper pengaman. > > > > Ayat tersebut bukan sekadar membolehkan, tetapi > > juga melarang. Jadi, jangan ditafsirkan ayat ini > > sepenuhnya mengizinkan. Poligami itu sah-sah saja > > asal pelakunya adil, kalau tidak bisa adil jangan. > > Sebenarnya, imbauan semacam ini sering kita jumpai > > pada kotak obat. Ibarat obat, poligami bukan obat > > yang cocok bagi siapa saja. Setiap obat pasti selalu > > disertai dengan catatan kontra indikasi. > > > > Misalnya, obat A dapat untuk mengobati penyakit B > > asalkan pemakai tidak punya gejala penyakit C, D, E > > dan sebagainya. Demikian juga poligami, ia bisa jadi > > obat jika perempuan yang akan diobatinya tidak > > mengidap 'penyakit' tertentu. Tetapi dalam soal ini, > > sebenarnya siapa yang sakit? Laki-laki atau > > perempuan? > > > > Saya punya seorang kawan (laki-laki) yang selalu > > bercerita keinginan kuatnya untuk berpoligami. > > Dengan ungkapan yang sangat ekspresif dia berucap: > > "Pokoknya aku harus poligami. Aku sudah memasuki > > masa puber kedua. Aku tak bisa kerja kalau hasratku > > tak tersalur." Tetapi sampai detik ini, ia belum > > berani melakukannya karena istrinya tak mengizinkan. > > Bagi istrinya, lebih baik 'diracun' daripada dimadu. > > Ia menghadapi dilema. Tak poligami tak bisa kerja, > > sementara kalau memaksakan diri poligami ia akan > > melakukan sesuatu yang dibenci Tuhan: perceraian. > > Akhirnya ia selingkuh. Ia bisa kerja. Tetapi ia > > menjalani kemunafikan setiap hari. Munafik juga > > dibenci Tuhan. Akhirnya kejenuhan datang juga, > > perempuan yang diselingkuhinya ternyata lebih > > menjijikkan daripada istri yang telah memberinya > > keturunan. > > > > Menghadapi poligami, perempuan dan laki-laki bisa > > sama-sama 'sakit'. Laki-laki sakit karena hasrat > > seksual primitifnya, tak menemukan saluran lain yang > > bisa membelokkan ke arah selain poligami. Perempuan > > juga 'sakit', karena ia makhluk yang dilahirkan > > dengan naluri lebih perasa daripada laki-laki. > > > > Di sinilah kompleksnya berbuat keadilan dalam > > ranah perasaan yang sangat abstrak. Pelaku poligami > > yang kaya raya mungkin bisa berhasil berbagi materi > > secara 'adil'. Tetapi, berhasil atau gagalnya ia > > berbagi keadilan di wilayah perasaan tak akan ada > > yang tahu. Kecuali hanya Tuhan dan perempuan yang > > mengalaminya. Kita hanya bisa menerka lewat > > senyumnya, perempuan yang dimadu itu bahagia. > > Tetapi, senyum itu bisa sedangkal lautan yang > > dalamnya bisa diduga. Tetapi apa yang dirasakan hati > > perempuan yang menjalani poligami, siapa yang tahu? > > > > Karena itu, pembela poligami tak perlu terlalu > > bernafsu untuk menyalahkan mereka yang antipoligami, > > apalagi dengan menggeneralisasi dan memplesetkan > > surah suci hanya untuk kepentingan nafsu primitif > > laki-laki yang ada sejak Islam belum ada. Kasus > > poligami yang sering saya ketahui, ternyata tidak > > didorong oleh keinginan utama untuk menjalankan > > perintah agama. Agama selalu jadi tameng legitimasi > > untuk melapangkan jalan, menenangkan kegamangan > > pikiran dan perasaan pelakunya. Kalau begitu, > > poligami religius atau sekuler menjadi tipis > > batasnya. Meskipun kita punya teladan dalam soal > > ini, baik yang universal ataupun lokal, setiap > > peniruan selalu tak mulus karena sejarah dan nasib > > manusia tak pernah benar-benar sama. > > > > Demikian pula penentang poligami, tak perlu > > terlalu jauh memvonis mereka yang berpoligami atau > > seorang lelaki yang menikahi lebih dari satu > > perempuan adalah 'penjahat kemanusian' yang > > merendahkan martabat perempuan. Ingat, kenyataan > > perempuan itu tak homogen. Dunia perempuan itu > > sebuah belantara luas yang mustahil disimpulkan > > hanya oleh sebuah tulisan yang penuh keterbatasan > > dan nafsu. Dunia perempuan itu penuh warna. > > > > Jadi, kalau pelaku poligami baik laki-laki maupun > > perempuan, berpoligami dengan meneladani hidup Rasul > > itu sangat baik dan terpuji. Tetapi, jarak > > peneladanan itu sangat abstrak karena kita dan Rasul > > terpisah jarak ruang dan waktu yang begitu lebar dan > > jauh. Mungkin lebih baik kita melakukan peniruan > > pada teladan yang lebih dekat, meskipun dengan > > semangat yang tak beda dengan peneladanan pertama. > > Misalnya dengan becermin pada model poligami Guru > > Ijai. Ketika Guru Ijai berpoligami, tak ada > > kasak-kusuk dan fitnah di sekitarnya. Popularitasnya > > tak memudar. Poligaminya tampak damai dan > > menentramkan. Mereka tak perlu roadshow untuk > > menjelaskan tentang istri tua dan istri mudanya > > serta keluarganya baik-baik saja. > > > > Jadi, kalau masih amatiran, sebaiknya jangan > > berpoligami daripada nantinya ikut-ikutan memelintir > > ayat Tuhan untuk kepentingan nafsu belaka. > > Memelintir ayat Tuhan, akhir-akhir ini jadi trend > > dengan tujuan 'meningkatkan pendapatan asli diri > > sendiri'. Poligami amatiran jelas bukan obat, tapi > > racun sejati, bukan hanya bagi wanita, tapi juga > > bagi agama. > > > > e-mail: [EMAIL PROTECTED] <sainulh%40yahoo.com> > [Non-text portions of this message have been removed]