Sebenarnya yang menganggap perempuan itu tdk sejajar dengan laki2 yaa.. anda2 
juga sihh...... Ayee sendiri ga pernah punya pemikiran kalo perempuan itu di 
bawah laki2..... ;-)
   
  Sebenarnya qt harus menyadari bahwa laki2 and perempuan itu berbeda and punya 
sifat and karakter masing-masing yang ga mungkin bisa sama.... jadi dengan itu 
Islam mengatur segala sesuatunya sesuai dengan karakternya masing2.... tapi 
itupun bukan sesuatu yang mutlak.  Bisa saja perempuan bekerja or mencari 
nafkah tapi memang ada batasannya or syaratnya seperti sesuai dengan kodrat 
kewanitaannya, tidak melupakan tugas utamanya sebagai ibu dari anak2nya, isteri 
dari suaminya, etc lahh..... 
   
  sekarang kan  tidak sedikit kasus dengan ambisi berkarir/bekerja para wanita 
melupakan tugasnya sebagai isteri, lupa kalo dia punya anak yang harus di urus 
and dididik bersama suaminya. hingga ga sedikit pula rumahtangga yg ga 
harmonis, anak2nya terlantar yg di sebabkan oleh hal tersebut.  
   
  Ayee pikir Ada hal2 yang hanya seharusnya and selayaknya dikerjakan oleh 
suami and ada hal lain juga yg seharusnya and selayaknyadi kerjakan oleh para 
isteri.  Jadi memang segala sesuatunya harus qt kembalikan kepada perannya 
masing masing.  
   
  Sebenarnya yang perlu mendapat perhatian lebih dari kita sebenarnya, bukan 
bagaimana nasib para wanita, laki2, or anak2 setelah perceraian, tapi bagaimana 
membentuk keluarga yang samara....... yang penuh dengan kecintaan, kasih 
sayang, bahagia, berkualitas, etclah.... supaya meminimalisir terjadinya 
perceraian..............
   
  Salam CMIIIIIIIWee Perjuangan...
   
  Wass
  
Chae <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
          Setuju Mba Mia terutama masalah pengakuan terhadap kewajiban prempuan
untuk bisa mandiri secara ekonomi dan juga berperan sebagai pencari
nafkah karena dgn status hukum wajib akan memberikan nilai-niali
tersendiri dibandingkan dengan berstatus mubah atau sunah...

Dalam status Mubah dan sunah peran perempuan sebagai pencari nafkah
tidak mempunyai nilai yang sama dgn laki-laki padahal pada kenyataanya
baik perempuan maupun laki-laki sebagai pencari nafkah adalah sama
sebagai tulang punggung keluarga mempunyai posisi yang penting.

Mungkin start awal adalah menggugak kesadaran kaum perempuan sendiri
atas hak dan kewajibanya untuk bisa mandiri, berdiri sejajar dan
setara dgn laki-laki.

--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "Mia" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> Mba Chae, dulu di Arab perempuan bukan warga biasa, tapi seperti 
> harta lain yang dimiliki. Makanya sunnah nabi itu revolusioner 
> dalam kondisi keadilan gender pada waktu itu.
> 
> Pada jaman sekarang perempuan dikondisikan mengurus rumah tangga itu 
> adalah konsep sekular kelas atas menengah yang kadaluwarsa. Pada 
> kenyataannya perempuan kelas kebanyakan mencari nafkah kok. Tapi 
> ada mismatch antara persepsi kita yang mengidolakan konsep nilai 
> kelas menengah atas dengan masyarakat kebanyakan. Akibatnya 
> perempuan kelas bawah pencari nafkah nggak pernah mendapatkan 
> pengakuan sewajarnya seperti masyarakat laki2. Dalam bahasa kyai 
> perempuan bekerja dibilangnya mubah, nggak wajib, dll. Dalam bahasa 
> ekonomi statusnya bukan kepala rumah tangga, nggak terhitung secara 
> ekonomi. Dalam bahasa gaul iseng-iseng berhadiah.
> 
> Lalu apa yang harus diperbuat oleh kita semua, feminis dan para 
> ustaz/ustazah?
> - berdayakan ibu2 rumah tangga, misalnya punya bank account sendiri, 
> paling sedikit joint account, punya kepemilikan, berperan sebagai 
> perencana dan pengelola keuangan rumah tangga, dsb.
> - sosialisasikan bahwa mencari nafkah, independen secara finansial 
> itu pada dasarnya wajib ain nggak peduli statusnya.
> - mendidik anak-anak perempuan maupun laki2 untuk mencapai 
> kemandirian.
> 
> Menarik untuk membandingkan, bahwa Pak Azizi misalnya geregetan 
> banget dengan perempuan supaya tegar, mandiri, nggak takut 
> sendirian, bekerja, jadi pemimpin, dsb - tapi mba Ning sebaliknya 
> mempersepsikan peran rigid ibu rumah tangga sebagai nilai utama.
> 
> salam
> Mia
> 
> --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "Chae" 
> <chairunisa_mahadewi@> wrote:
> >
> > Mba Ning,
> > 
> > Kalau tidak salah Pak Ari ini sudah menikah, makanya saya panggil
> > Pak...kalau panggil Mas itu untuk yang belum menikah..biar mesra;)
> > beda dengan yang perempuan...sudah menikah atau belum ...saya 
> panggil
> > Mba...
> > 
> > Pertama-tama hadis tsb lahir dalam konteks ruang dan waktu yang
> > berbeda dari sekarang...dulu perempuan arab memang dikondisikan 
> berada
> > di wilayah domestik dan mencari Ibu rumah tangga. Beda dengan 
> kondisi
> > kita Mba Ning...ibarat penyebutan buah kurma di ganti dengan buah
> > duren bakalan bikin bengong orang arab pada waktu itu;)
> > 
> > Hadist Nabi seharus tidak dijadikan patokan untuk standard baku 
> atau
> > sesuatu yang bernilai harga mati, seperti kasus perbudakan jika 
> kita
> > mematok hadist sebagai patokan untuk standard baku dan sebuah harga
> > mati maka jelas nilai perbudakan yang di anut Islam akan sangat
> > bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan secara universal yang
> > berlaku saat ini. Padahal di zamanya apa yang diberlakukan Nabi
> > terhadap perbudakan adalah sesuatu yang revolusioner. Tentu saja
> > pengaplikasikan hadis secara literal dan tidak melihat konteks 
> secara
> > keseluruhan akan merubah nilai yang di kandungnya.
> > 
> > Berbeda jika hadis dijadikan sebagai landasan transformasi yang
> > dimulai dari masa Nabi dan kemudian berlanjut secara terus menerus
> > mengakomodasi perubahan zaman dan keadaan. Hadis yang Mba Ning
> > kemukakan berkaitan dengan pengangkatan nilai perempuan dan peranan
> > perempuan. Pada saat itu peranan perempuan sangat tidak hargai atau
> > tidak ada nilainya sama sekali, mengakibatkan perempuan menjadi
> > makhluk subordinat/makhluk kedua setelah laki-laki. Dengan hadis 
> tsb
> > Nabi menitik beratakan bahwa perempuan pun mempunyai potensi untuk
> > memimpin dan menjadi pemimpin.
> > 
> > Jadi kalau saya pribadi Mba Ning, memanghami hadis tersebut bukan
> > sebagai suatu legimitasi terhadap pembagian peran yang absolut 
> antara
> > laki-laki dan perempuan dalam sebuah rumah tangga.
> > 
> > Dalam kenyataanya, Siti Khadijah adalah seorang pencari nafkah yang
> > mensupport kebutuhan rumah tangga sementara Nabi berkonsentrasi
> > terhadap dakwah yang dilakukanya. Begitu juga dengan Siti Hajar, 
> yang
> > harus berjuang sendiri untuk menghidupi keluarganya.Dua putri Nabi
> > Syuaib yang bekerja sebagai pengembala kambing, Ratu Saba sebagai
> > pemimpin Negara, Perempuan2 yang bekerja sebagai penyedia jasa
> > persusuan, dan pemintalan hampir semua disebutkan di dalam Qur'an
> > sebagai penegasan bahwa perempuan pun mempunyai Hak dan kewajiban
> > untuk menjadi pencari nafkah.
> > 
> > Ada satu hadits Nabi dalam Bukhari No 1470, di mana disebutkan 
> bahwa
> > Bekerja lebih baik daripada sekedar menjadi seorang yang hanya bisa
> > meminta. 
> > 
> > Dalam hal ini kita memahami bahwa kemandirian seseorang baik laki-
> laki
> > dan perempuan akan menciptakan satu hubungan/relasi yang seimbang 
> dan
> > setara. Keseimbangan dan kesetaraan akan menciptakan keadilan.
> > 
> > Ketika perempuan di bekukan dalam posisi dan peranannya sebagai 
> pihak
> > yang tidak perlu bekerja/mencari nafkah maka posisi perempuan 
> selalau
> > berada posisi yang lemah, selalu berada di bahwa laki-laki dan 
> hampir
> > tidak memiliki daya tawar baik secara sosial, politik dan ekonomi.
> > 
> > Ajaran Islam sendiri didasari oleh Ketauhidan, dan dalam ketauhidan
> > pemutlakan dan penghambaan hanya kepada Allah SWT saja secara 
> absolut
> > sehingga tidak ada penghambaan dari satu manusia kepada manusia 
> lain
> > baik dipandang dari status sosial atau jenis kelamin. Adanya
> > Ketauhidan melahirkan kesetaraan di antara manusia tanpa memandang
> > suku dan jenis kelamin.
> > 
> > Mitra yang sejajar antara manusia, baik laki-laki dan perempuan 
> dalam
> > hak dan kewajiban ditegaskan dalam Al-Qur'an sendiri yaitu pada
> > Qs.9:71. Bagaimana bisa perempuan dan laki-laki menajdi mitra yang
> > sejajar jika perempuan diposisikan sebagai pihak yang tidak 
> memiliki
> > kemandirian secara ekonomi???
> > 
> > Mitos bahwa kewajiban mencari nafkah hanya dibebankan kepada laki-
> laki
> > dan tidak menjadi kewajiban bagi perempuan tentunya bertentangan
> > dengan semangat Qur'an sendiri yang menekan Keimanan dan Kerja 
> keras,
> > sebagaimana dalam Qs. A Kahfi:110.
> >
>



         

 __________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around 
http://mail.yahoo.com 

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke