Pak Guru berkata :

Kalau kita bersyahadat sungguh-sungguh, insya Allah kita akan diberi kemampuan 
untuk mendengarkan sabda beliau, dan selanjutnya akan turun "cahaya Allah" ke 
dalam diri kita. Bukankah di QS 24:40 disebutkan bahwa "barangsiapa yang tidak 
diberi cahaya oleh Allah, niscaya tiada cahaya baginya."

----------

Jano-ko :

Cahaya Allah SWT sangat indah sekali, tapi begini pak guru, sebelum kita bicara 
tentang cahaya dengan teman diskusi kita sebaiknya kita bicara atau berpedoman 
dengan Al Qur'an dan Hadis and Sunah Rasul, soalnya level temen diskusi kita 
belum tentu lho sama dengan Pak Guru.
Bagaimana mungkin kita bicara tentang "cahaya" tersebut sedang insan yang 
diskusi dengan kita mempunyai niat dan melaksanakan niatnya untuk mengurangi, 
merubah Al Qur'an ? , apakah mungkin Allah SWT memberi cahaya kepada 
insan-insan yang menolak cahaya-Nya ?

Itu dulu pendapat dari saya.

Wassalam





Achmad Chodjim <[EMAIL PROTECTED]> wrote:                                  
Salam,
 
 Ini cacatan sudah setengah bulan lalu. Mbak Layaly mempertanyakan pemahaman 
tentang "perintah taat kepada Rasul". 
 
 Pada beberapa ayat, kata "athi'ullaah" di rangkai dengan kalimat perintah "wa 
athi'urrasuul" seperti pada QS 3:32, 4:59, 5:92, 24:54, 47:33, dan 64:12.
 
 Ketika Nabi Muhammad saw hadir secara fisikal di tengah-tengah umatnya, 
perintah tersebut jelas ditangkap secara konkret. Kesadaran tentang kehadiran 
Allah dan RasulNya itu dialami secara realistis.
 
 Bagaimana perintah tsb diterapkan setelah Kanjeng Nabi Muhammad tidak lagi 
hadir secara fisikal atau seperti sekarang ini Kanjeng Nabi Muhammad itu hadir 
secara gaib di tengah-tengah kita?
 
 Nah, di sini baru timbul permasalahan! Umumnya Umat Islam mengerdilkan Allah 
dan Rasul-Nya menjadi Kitab Alquran dan Hadits.
 
 Bayangkan akibat dari pengerdilan itu. Apa yang terjadi? Pembodohan umat. 
Penindasan oleh sebagian umat Islam terhadap sebagian lainnya.
 
 Allah tak bisa dikerdilkan menjadi Kitab Alquran. Allah adalah Yang Mahahidup, 
dan abadi secara mandiri. Allah tidak tergantung kepada siapa pun. Jadi, ayat 
kembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya" tidak bisa disamakan dengan kembali 
kepada "Alquran dan Hadis/Sunah Rasul". Kita memang harus kembali secara 
konkret kepada Allah dan Rasul-Nya. Kita harus secara nyata menaati Allah dan 
menaati Rasul-Nya. Janganlah Alquran dipakai sebagai pengganti Allah, yang sama 
artinya kita berpaling dari Allah. Janganlah Hadis dipakai sebagai pengganti 
Rasul, yang sama artinya kita menganggap Rasul telah mati!
 
 Oleh karena Allah yang hidup tetap hadir, selalu bersama kita di mana saja 
kita berada (QS 57:4), makanya kita diperintah untuk selalu memohon kepada-Nya 
agar ditunjuki jalan yang lurus (ihdinaa al-shiraath al-mustaqiim). Apa ayat 
ini sekadar hapalan di kala shalat?  
 
 Jika demikian, apa makna Kitab Alquran dan Kitab Hadis buat kita? Kitab 
Alquran adalah "kitab petunjuk" tentang cara-cara kita mendapatkan petunjuk 
dari Allah. Oleh karena itu, ayat-ayat Alquran tak bisa dilepaskan dari 
kesadaran manusianya yang ingin mendapatkan petunjuk itu (QS 29:49). Jadi, 
petunjuk itu datangnya tetap dari Allah, bukan dari Alquran. Meski bibir sudah 
menjadi "dower" membacanya, tidak menjamin dapat petunjuk, dan bahkan mungkin 
malah menjauhi Alquran.
 
 Lha, kitab Hadis atau cacatan tentang Sunah Rasul itu apa? Hadis adalah 
peranti bagi umat Islam untuk mengenali keteladanan-keteladan yang pernah 
dilakukan oleh Kanjeng Nabi Muhammad saw! 
 
 Jadi, Alquran bukan untuk menjadi pengganti Allah, karena Allah selalu hidup 
dan tak pernah mati. Dan, Hadis bukan untuk menjadi pengganti Rasul karena 
Rasul tidaklah mati (QS 3: 169). Kehidupan Rasul itu yang kita saksikan dalam 
"kalimat syahadat" yang kita ucapkan (entah dalam salat atau dalam "event" apa 
pun). 
 
 Kalau kita bersyahadat sungguh-sungguh, insya Allah kita akan diberi kemampuan 
untuk mendengarkan sabda beliau, dan selanjutnya akan turun "cahaya Allah" ke 
dalam diri kita. Bukankah di QS 24:40 disebutkan bahwa "barangsiapa yang tidak 
diberi cahaya oleh Allah, niscaya tiada cahaya baginya."
 
 Maka, sungguh luar biasa kalau ada orang yang berani mengatakan bahwa "dirinya 
dapat memberikan pencerahan kepada orang lain". Orang tersebut rupanya lupa 
terhadap firman Allah di QS 28:56, bahwa kita tak akan bisa memberikan 
petunjuk/pencerahan (atau apa pun sebutannya) terhadap orang lain itu, meski 
itu orang yang paling kita kasihi sekalipun.
 
 Semoga kita semua senantiasa di bawah petunjuk Allah, sehingga Alquran pun 
menjadi hidup dan memberikan "kehidupan" bagi kita. Amin.
 
 Wassalam,
 chodjim 
 
 ----- Original Message ----- 
   From: azka 
   To: wanita-muslimah@yahoogroups.com 
   Sent: Wednesday, January 17, 2007 6:45 PM
   Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: Yusuf Qardhawi Puji Islam di Indonesia - 
Racism
 
 Lho Mas Dana, bagaimana kita memahami kata2 Athi'urrasul (Taatlah kepada 
Rasul) yang didalam al qur'an diulang-ulang sekitar 14 kali?
   Bukankah perintah taat kepada rasul berarti pula perintah mengikuti dan 
percaya dengan hadits2nya?.
   Atau bagaimana?
 
 Layaly
 
 ----- Original Message ----- 
   From: Dana Pamilih 
   To: wanita-muslimah@yahoogroups.com 
   Sent: Wednesday, January 17, 2007 12:47 PM
   Subject: [wanita-muslimah] Re: Yusuf Qardhawi Puji Islam di Indonesia - 
Racism
 
 Mengapa tidak Al-Qur'an saja, setahu saya dalam Al-Qur'an tidak
   disebut kita harus percaya hadits. 
 
 [Non-text portions of this message have been removed]
 
 [Non-text portions of this message have been removed]
 
 
     
                       

 Send instant messages to your online friends http://uk.messenger.yahoo.com 

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke