Maaf nimbrung, dari agama-agama yang saya pelajari, masing-masing mempunyai unsur eksklusivitas yang antara lain berciri, bahwa yang benar adalah kelompok/agamanya sendiri, sementara yang lain adalah salah/sesat, yang salah wajib diperangi/disadarkan, adanya klaim bahwa sesuatu yang di atas kuasa manusia (tuhan, dewa, dll) berpihak kepada kelompok/agama tersebut, dan menentang pihak lain. jika masing-masing agama dikembangkan dari perasaan ekslusif semacam ini, maka timbullah pertentangan dan perpecahan satu sama lain, antar kelompok agama.
pembicaraan yang terbuka antar agama bukan diarahkan untuk mencari siapa yang benar (karena kembalinya pasti kepada sikap eksklusivitas dan kemudian pertentangan/perpecahan antar agama) tapi lebih kepada mencari titik persamaaan / common denominator yang bisa disepakati bersama. Kalau dalam Islam, paling tidak kita bisa bekerja sama dengan non-muslim dalam soal-soal muamalah. Hal ini yang menurut saya perlu dikembangkan, ketimbang kita asyik mencari siapa yang paling benar dalam beragama dan menyembah Tuhan. salam, -- wikan http://wikan.multiply.com On 2/6/07, Dana Pamilih <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > Mas Chodjim > > Betul memang tidak ada korelasi yg pasti antara agama dan kemajuan > bangsa. Artinya kemajuan bangsa itu independen dari agama yg dianut > rakyatnya. Berarti ada unsur2 non-agama yg sebenarnya lebih berperan > dalam memajukan bangsa. Unsur2 non-agama ini yg perlu kita > identifikasi apa saja. > > Selama ini yg berkutat mencari solusi melalui agama ternyata tidak ada > hasilnya atau sangat runyam dan berdarah hasilnya. Malah yg mencari > solusi tanpa agama hasilnya lebih baik. Tanpa agama tidak berarti > anti-agama. Cuma agama diletakkan diarena pribadi bukan arena publik. > > Buang-buang waktukah mencari solusi melalui agama?