Mba Ning, Mungkin mba Ning tidak tidak mengharamkan kontak mata, tapi saya sering melihat laki-laki yang umumnya berjenggot atau ustadz di beberapa pengajian yang sangat hot ketika menjelaskan pornografi itu berperilaku seperti itu, saat saya bicara padahal pakai jilbab, kepalanya nunduk atau matanya lari-lari ke arah lain. Padahal yang dibicarakan dengan ustadz itu misalnya tentang perpustakaan mesjid atau tentang kebersihan toilet mesjid. Atau dengan teman sekerja misalnya sedang membicarakan materi untuk satu pelatihan. Jadi topiknya bukan sesuatu yang ngeres, saya herannya saat muslim itu dituntut serius untuk masalah yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan urusan seks, kenapa harus nunduk atau matanya lari-lari kemana-mana? Apakah muslim seperti ini tidak bisa fokus ke satu masalah?
Kemudian saya perhatikan muslim yang tidak berjenggot, non muslim yang orang Indonesia atau non-Indonesia, ketika bicara kerjaan ya fokus aja ke urusan kerjaan, mereka berkomunikasi dengan kontak mata. Jadi mungkin ini bukan masalah muslim-non muslim tapi masalah apakah dia dibesarkan di tengah keluarga yang memandang wanita itu sekedar obyek seksual atau wanita itu setara di dunia ini untuk menyelesaikan berbagai masalah. Melihat aurat? Kan masih ada perdebatan juga diantara fakih (ahli fikih?) tentang aurat ini, ada yang ekstrim sampai suara wanita itu aurat, ada yang berpendapat hanya mata yang boleh terlihat, tapi ada juga yang membolehkan wajah dan tangan, dll. Padahal kita hidup di tengah masyarakat majemuk, bukan di pesantren. Bayangkan jika kita berada di satu negara yang mayoritas non muslim, apa kita harus teriak-teriak menuntut negara itu untuk memberlakukan kontrol terhadap laki-laki maupun wanita untuk tidak memperlihatkan auratnya? Yang dibutuhkan kan kontrol diri kita untuk mengendalikan mata kita. Yang aneh kan di Indonesia, teriak-teriak untuk RUUAPP dengan keinginan untuk menutup tubuh wanita sementara laki-lakinya (dan tentunya banyak juga yang muslim, karena negara ini mayoritas muslim) rajin beli VCD porno atau bacaan porno dengan gambar porno yang dijual bebas tidak terbatas di emperan toko dengan harga murah. Jadi ada keinginan untuk mengontrol pihak lain tapi yang membuat orang ngeres itu dibiarkan. Jadi mba Ning, masalah kontrol diri vs mengontrol orang lain itu tidak bisa dibenturkan dengan "hukum memandang aurat perempuan adalah HARAM bagi yang mudah tergoda, dan HALAL(MUBAH) bagi yang tidak mudah tergoda", tapi kendalikan diri untuk tidak mudah tergoda dan aturan jelas untuk masalah aurat ini misalnya tayangan di tv, aturan berbusana di kantor, dll. Halal haram sekedar di tingkat wacana sih tidak akan berdampak selama tidak ada penegakan hukum (misalnya produsen dan distributor VCD dan bacaan porno), zina haram, mabuk haram, dll kan tetap saja ada yang melakukan. salam Aisha ----------- From: Tri Budi Lestyaningsih Dik Aisha, Kalau dik Aisha mengira saya menganggap memelihara pandangan artinya sama dengan tidak boleh berkontak mata, dik Aisha salah. Dalam pemahaman saya, memang pada saat berinteraksi atau berdialog kita harus berkontak mata. Artinya ya harus memandang. Interaksi tidak akan effective bila kontak mata tidak terjadi. Pemahaman saya terhadap AnNur 30-31 itu (menjaga pandangan), bukan berarti tidak boleh terjadi contact mata. Tetapi tidak melihat aurat orang lain. Bila masing-masing wanita dan pria itu tertutup aurat-nya dengan sempurna, insya Allah interaksi akan lebih lancar. Karena tidak perlu menghindar-hindarkan mata dari melihat yang bukan haknya. Jadi TIDAK BENAR bahwa yang namanya memelihara pandangan itu trus jalannya nunduuuk terus, atau kalau lagi ngomong dengan orang lawan jenis nunduuuk terus. Maksudnya memelihara pandangan itu ya, mengontrol diri, agar TIDAK MELIHAT YANG BUKAN HAK-nya. Lha sulit kan pengontrolan diri (agar tidak melihat yang bukan haknya tersebut), kalau banyak yang - mau tidak mau - pasti akan terlihat, wong berseliweran di depan matanya. Ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan apakah dia akan "tergoda syahwatnya" atau tidak. Karena kalau menggunakan indikator tergoda atau tidak, jadi relative untuk setiap orang. Ada orang yang bisa tergoda hanya dengan mendengar suara perempuan, ada yang sama sekali tidak tergoda biar pun ada orang pamer aurat keseluruhannya di depan matanya. Kalau menggunakan indikator ini, maka bisa jadi : hukum memandang aurat perempuan adalah HARAM bagi yang mudah tergoda, dan HALAL(MUBAH) bagi yang tidak mudah tergoda. Apa begitu yang dik Aisha pahami? Wass, -Ning --------- From: Aisha Mba Ning, Saya dibesarkan di tengah keluarga yang biasa ngobrol dengan saling memandang, termasuk antar lawan jenis, misalnya anak perempuan dengan ayahnya, anak perempuan dengan saudara laki-laki atau sepupu laki-laki atau om atau pakde, dll. Jadi di luar rumah juga dalam aktivitas saya sejak sekolah sampai kerja, saya terbiasa memandang lawan jenis. Ternyata ada laki-laki yang menunduk atau memandang ke arah lain, rasanya tidak nyaman lho mba, karena saya tidak berpakaian yang ketat atau buka sana-sini sehingga membuat lawan jenis terangsang. Lama-lama saya mengerti bahwa mereka, laki-laki atau wanita yang menunduk atau mengarahkan matanya ke obyek lain itu ketika berhadapan dengan lawan jenis karena menerapkan An Nur 30-31 dengan tafsiran bahwa menjaga pandangan itu tidak boleh memandang. Tidak apa-apa kalau memang mereka tidak kuat menahan nafsunya kalau memandang, jadi saya sekarang memahami bahwa memang mereka masih lemah dalam kontrol dirinya atau mungkin sejak kecil tidak terbiasa untuk melihat lawan jenis itu sebagai sama-sama manusia yang bisa bekerja sama melakukan sesuatu yang baik dalam fungsi kekhalifahannya di muka bumi dan tidak hanya memandang manusia lainnya terutama lawan jenis sebagai makhluk yang kaitannya selalu dengan syahwat. Nah, kembali ke tafsiran ayat itu, sama-sama muslim/ muslimah tapi bisa beda-beda kan sikap dan perilakunya. Bagi saya sih, menjaga pandangan itu adalah seperti yang mba Chaerunissa jelaskan, kita bisa memandang lawan jenis tapi tetap bisa mengontrol diri, mengendalikan diri sehingga tidak terjadi hal-hal yang buruk. Bukankah itu esensi agama, ketika kita dihadapkan dengan segala godaan dunia yang menjerumuskan kita ke perbuatan buruk, kendalikan, kontrol diri kita. Nabi Yusuf memangnya tidak memandang Zulaika? Memandang dan malah dikejar-kejar, secara fisik dekat sekali, tapi kontrol dirinya yang OK sehingga dia tidak tergoda (walaupun terangsang kata mba Chae) untuk melakukan hubungan seks dengan Zulaika. Contoh kecil lainnya untuk kontrol diri, saat puasa kita punya makanan minum milik sendiri (halal) di rumah sendirian, pulang dari satu tempat yang puanaaas banget, haus dan lapar, tergoda atau terangsang untuk makan minum - minimal minum aja, tapi tidak kita lakukan karena kita taat Allah dalam perintah puasa supaya kita jadi orang yang punya kontrol diri yang bagus dalam hal makan minum. Kita puasa, misalnya punya pasangan yang halal, lalu terangsang - kita tidak melakukan hubungan seks walaupun dengan istri/ suami sendiri karena selama waktu puasa, kita tidak boleh melakukannya. Dan tidak cukup kontrol diri dari makanan, minuman atau pasangan yang halal saja, dengan puasa kita juga harus mengontrol diri untuk makan minum dan melakukan hubungan seks dengan yang tidak halal, termasuk disini mengontrol diri untuk tidak mencuri, tidak korupsi, tidak nipu, dll untuk memenuhi makan minum, hubungan seks atau kekayaan untuk kita nikmati. Begitu hebatnya anjuran puasa untuk bisa mengontrol diri ya mba Ning, kalau memang orang benar-benar melakukannya, tidak ada alasan untuk tidak bisa mengontrol diri ketika melihat wanita yang tidak halal untuk dirinya. Jika memang begitu lemahnya kontrol diri, silahkan menunduk atau memandang ke arah lain, jika sudah kuat pandanglah lawan bicara dengan otak bersih tidak ngeres mikir yang aneh-aneh. Jika masalahnya di tayangan tv, di kantor, dll - itu sih bisa disikapi dengan aturan-aturan kesepakatan bersama. Misalnya di satu kantor ada aturan, rok di bawah lutut dan blouse dengan blazer yang dadanya tidak terbuka. Itu sudah cukup sopan karena tidak semuanya muslimah, dan yang muslimahnya sih rata-rata pakai rok panjang/ celana panjang dengan jilbab. Jadi kesadaran menutup diri itu tidak dipaksakan, hanya ada aturan minimal saja. Saya rasa orang juga tahu diri tanpa harus dikontrol wanita harus berjilbab semua (mengontrol orang lain), wanita datang ke pengajian atau ke mesjid kan tidak mungkin pakai tank top atau pakai rok mini. Wanita mau bekerja di kantor berapa persen yang pakai baju terbuka atau mini? Biasanya yang masih muda, setengah tua atau tua atau yang muda juga tapi bertubuh gemuk, apa mau pakai mini dan terbuka sana-sini? Jadi kontrol diri sendiri atau kontrol orang lain?:) salam Aisha [Non-text portions of this message have been removed]