Aisha berkata = Jika dikaitkan dengan orang yang suka ngobatin, saya pernah mengantar orang sakit, ada yang di ruang tunggunya sudah ada brosur atau tulisan di dinding itu biayanya, sementara ada juga orang yang ngobati tidak menentukan tarif dan jika selesai dia tidak menetapkan biayanya, mau ngasih boleh, tidak ngasih juga tidak apa-apa sebab menurut orang itu, dia tidak ngobati orang untuk mencari uang, dia hanya merasa bisa mengobati dan ingin menolong orang lain, hidupnya dia dari usaha lainnya, katanya bisnis furniture dan istrinya punya beberapa toko. Nah apakah pengobat ini juga bisa disebut mengobati karena panggilan hati dan tidak menjadikan kemampuan mengobati ini sebagai profesi?
=========================================== Jano - ko = Jano-ko memberi informasi, --- Shahabat yang mulia Abu Said Al-Khudri rahimahullahu berkata: Sejumlah shahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pergi dalam sebuah safar (perjalanan) yang mereka tempuh, hingga mereka singgah di sebuah kampung Arab. Mereka kemudian meminta penduduk kampung tersebut agar menjamu mereka, namun penduduk kampung itu menolak. Tak lama setelah itu, kepala suku dari kampung tersebut tersengat binatang berbisa. Penduduknya pun mengupayakan segala cara pengobatan, namun tidak sedikit pun yang memberikan manfaat untuk kesembuhan pemimpin mereka. Sebagian mereka berkata kepada yang lain: Seandainya kalian mendatangi rombongan yang tadi singgah di tempat kalian, mungkin saja ada di antara mereka punya obat (yang bisa menghilangkan sakit yang diderita pemimpin kita). Penduduk kampung itu pun mendatangi rombongan shahabat Rasulullah yang tengah beristirahat tersebut, seraya berkata: Wahai sekelompok orang, pemimpin kami disengat binatang berbisa. Kami telah mengupayakan berbagai cara untuk menyembuhkan sakitnya, namun tidak satu pun yang bermanfaat. Apakah salah seorang dari kalian ada yang memiliki obat? Salah seorang shahabat berkata: Iya, demi Allah, aku bisa meruqyah. Akan tetapi, demi Allah, tadi kami minta dijamu namun kalian enggan untuk menjamu kami. Maka aku tidak akan melakukan ruqyah untuk kalian hingga kalian bersedia memberikan imbalan kepada kami. Mereka pun bersepakat untuk memberikan sekawanan kambing2 sebagai upah dari ruqyah yang akan dilakukan. Shahabat itu pun pergi untuk meruqyah pemimpin kampung tersebut. Mulailah ia meniup disertai sedikit meludah dan membaca3: Alhamdulillah rabbil alamin (Surah Al-Fatihah). Sampai akhirnya pemimpin tersebut seakan-akan terlepas dari ikatan yang mengekangnya. Ia pun pergi berjalan, tidak ada lagi rasa sakit (yang membuatnya membolak-balikkan tubuhnya di tempat tidur). Penduduk kampung itu lalu memberikan imbalan sebagaimana telah disepakati sebelumnya. Sebagian shahabat berkata: Bagilah kambing itu. Namun shahabat yang meruqyah berkata: Jangan kita lakukan hal itu, sampai kita menghadap Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu kita ceritakan kejadiannya, dan kita tunggu apa yang beliau perintahkan. Mereka pun menghadap Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu mengisahkan apa yang telah terjadi. Beliau bertanya kepada shahabat yang melakukan ruqyah: Dari mana engkau tahu bahwa Al-Fatihah itu bisa dibaca untuk meruqyah? Kalian benar, bagilah kambing itu dan berikanlah bagian untukku bersama kalian. Hadits di atas diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu dalam kitab Shahih-nya no. 5749, kitab Ath-Thibb, bab An-Nafats fir Ruqyah. Diriwayatkan pula oleh Al-Imam Muslim rahimahullahu dalam Shahih-nya no. 5697 kitab As-Salam, bab Jawazu Akhdzil Ujrah alar Ruqyah. --- Wassalam Aisha <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Terima kasih pak Chodjim, saya baru tahu arti da'i dan mubaligh itu beda, dulu saya anggap 2 istilah ini sama saja yaitu pendakwah. Jadi mubaligh itu menyampaikan ajaran agama, misalnya berbicara tentang haji, akhlak terhadap tetangga, zakat, dll. Lalu da'i itu penyeru agama, maksudnya bagaimana? Tentang pendakwah sebagai panggilan hati dan sebagai profesi, membedakannya bagaimana? Apa bisa dengan cara begini, jika kita mengundang seorang pendakwah lalu dia bicara tentang jumlah honor dan fasilitas yang dia akan dapatkan, misal hotel dan tiket pesawat, apakah kita bisa mengatakan bahwa pendakwah itu menganggap kegiatannya sebagai profesi? Jika dikaitkan dengan orang yang suka ngobatin, saya pernah mengantar orang sakit, ada yang di ruang tunggunya sudah ada brosur atau tulisan di dinding itu biayanya, sementara ada juga orang yang ngobati tidak menentukan tarif dan jika selesai dia tidak menetapkan biayanya, mau ngasih boleh, tidak ngasih juga tidak apa-apa sebab menurut orang itu, dia tidak ngobati orang untuk mencari uang, dia hanya merasa bisa mengobati dan ingin menolong orang lain, hidupnya dia dari usaha lainnya, katanya bisnis furniture dan istrinya punya beberapa toko. Nah apakah pengobat ini juga bisa disebut mengobati karena panggilan hati dan tidak menjadikan kemampuan mengobati ini sebagai profesi? salam Aisha --------- Achmad Chodjim wrote: Mbak Aisha, Pada tahun lalu, saya mendapat undangan untuk mengisi ceramah pada acara peringatan hari ke-3 wafatnya Bapak Soedharmono (mantan Wk. Presiden). Setelah selesai ceramah dan acara sudah selesai, sebagai penceramah saya diminta ngobrol-ngobrol dan tidak pulang dulu. Yaa, lengkaplah semua putra dan putri seperti Bu Yanti, Pak Tantyo, dan Bu Yeni. Ceritanya, Pak Tantyo menyinggung masalah amplop kepada ustad penceramah. Mungkin beliau merasa tidak enak, maka topiknya hendak dipindah. Tapi, saya memintanya untuk melanjutkan. Singkat cerita, beliau bertanya kepada saya, "Pak Ustadz, mengapa para ustadz penceramah itu masih mengharapkan amplop dan tidak berdakwah secara lillaahi ta'ala saja. Mengapa kalau suatu kali tidak diamplop, kalau diundang tidak mau datang lagi?" Ya, saya terangkan secara ringkas. Da'i (penyeru agama) atau mubaligh (orang yang menyampaikan ajaran agama) itu ada 2 macam. Yang pertama, dakwah sebagai panggilan hati. Dalam hal ini dia berdakwah sesuai dengan panggilan hati tanpa menunggu diminta orang lain untuk berdakwah. Yang ini pasti tidak menunggu diamplop. Yang kedua, dakwah sebagai profesi. Dalam hal ini sama dengan profesi pengajar atau guru. Ia memang menunggu atau bahkan aktif agar dipanggil untuk mengisi acara. Artinya, sebagai profesi tentu diperhitungkan segala biaya yang pernah dikeluarkan seperti biaya selama belajar, biaya transportasi, biaya untuk berpenampilan. Nah, yang profesi ini pasti menuntut "fee", baik besarnya fee itu diserahkan kepada pengguna maupun ada yang menetapkan fee untuk dakwah/pengajaran itu dengan nilai puluhan hingga jutaan rupiah per undangan. Nah, tipe yang kedua ini mengikuti hukum pasar! Wassalam, chodjim ---------- From: Aisha To: wanita-muslimah@yahoogroups.com ; keluarga-sejahtera@yahoogroups.com Sent: Wednesday, March 21, 2007 4:53 PM Subject: [wanita-muslimah] Upah dalam Islam [Non-text portions of this message have been removed] Send instant messages to your online friends http://uk.messenger.yahoo.com [Non-text portions of this message have been removed]