Refleksi: Mengapa masalah perburuhan tetap tidak mendapat perhatian dengan langkah serta implementasi perlindungan hukum maupun policy pemerintah yang dibutuhkan selama waktu yang dikatakan 60 tahun telah merdeka?
RIAU POS Nestapa Buruh Perempuan 10 April 2007 Pukul 10:18 Budaya patriarki dan kedangkalan pemahaman agama telah tempatkan buruh perempuan pada dilema antara tuntutan kesetaraan dengan hegemoni lelaki yang lebih dalam keseharian kehidupan. Perlakuan tersebut tentu saja terkadang mendapat perlawanan dari buruh perempuan sendiri, aktivis perempuan atau pihak-pihak yang hirau akan persamaan hak. Pergulatan itu makin beragam masalah dalam posisi negeri ini yang berkutat pada penyehatan ekonomi dan politik, secara aturan hukum, Indonesia telah meratifikasi banyak hal dari aturan PBB soal hak azasi manusia dan kesetaraan gender, katakanlah konvensi ILO nomor 100 tentang kesetaraan upah yang dirativikasi menjadi UU No 80/1957, UU No 39/1999 pasal 38 tentang Hak Azasi Manusia dan lain-lain. Tetapi aturan hukum saja tidaklah cukup tanpa implementasi yang baik dan sosialisasi yang memungkinkan keberadaan buruh perempuan diterima dengan baik di negeri ini. Riau, provinsi dengan geliat ekonomi kentara dengan banyaknya membutuhkan tenaga kerja di berbagai sektor, termasuk tenaga kerja perempuan. Baik di jajaran pemerintahan, BUMN, perusahaan swasta dan lain-lain. Persoalannya, ketika menyigi tentang perlakuan terhadap buruh perempuan, sangat banyak pelanggaran terjadi yang tidak sesuai dengan aturan yang kita buat sedemikian bagusnya. Saya menjumpai masih banyak dunia usaha di Riau yang tak mau tahu dengan aturan itu sebagai contoh adalah hak cuti haid selama dua hari dalam sebulan dengan mendapatkan upah penuh. Saya dari wakil buruh mesti "bersitegang" dengan petinggi perusahaan, barulah hal itu diperhatikan. Terkadang saya mendapatkan kesan, begitu enteng dan menganggap remeh ketika tuntutan soal hak perempuan ini diutarakan pada pihak perusahaan. Kiprah dan Fitrah Saya taklah bermaksud sentimentil bila mengungkapkan pengalaman berikut ini. Saya lahir dari seorang ibu, perempuan yang sangat saya kagumi, bekerja untuk membiayai saya sekolah ketika Bapak saya yang pegawai rendahan meninggal karena sakit. Beruntung, saya juga mempunyai seorang istri, perempuan yang saya cinta, yang bekerja dan berwiraswasta pula serta dikarunai dua anak perempuan yang manis-manis, saya sangat paham sedari kecil kesibukan, pengorbanan, keikhlasan dan "kelebihan" perempuan, membagi waktu bekerja dan tanggung jawab fitrahnya. Saya sampai saat ini sering merasa sedih bila ada buruh perempuan, katakanlah mengadu dengan pancaran mata kuyu yang korban PHK, mengurus uang "haknya" di Jamsostek tidak bisa keluar karena perusahaan menunggak iuran Jamsosteknya selama sekian tahun, padahal jelas-jelas di slip gaji di potong saban bulan. Sangat keterlaluan memang. Atau kejadian yang membuat saya sangat terpukul, ketika seorang buruh perempuan yang bekerja di sebuah perusahaan perkayuan yang melahirkan di belantara pedalaman Riau-di atas speedboad kecil yang perlu waktu dua jam untuk pergi ke Puskesmas terdekat lewat transportasi air, dengan kondisi bayi meninggal di hadapan saya karena tidak ada pertolongan medis, padahal sudah "berbuih" mulut sebagai wakil pekerja mengajukan sebuah fasilitas pelayanan kesehatan pada perusahaan tempat si buruh bekerja. Sangat menyedihkan. Saya setuju dengan Dita Indah Sari, seorang aktivis buruh perempuan bahwa sistim kontrak memungkinkan hak-hak buruh perempuan terabaikan, salah satunya dengan persyaratan perempuan lajang sebagai calon pekerjanya. Buruh perempuan diharuskan untuk tidak menikah atau tidak hamil selama terikat kontrak. Kehirauan Kita Buruh migran wanita di luar negeri masih banyak meninggalkan persoalan yang terkadang sangat mengusik kemanusiaan kita. Penyiksaan, perkosaan dan pelecehan lain yang terkadang sungguh membuat "harga diri" kita tertohok. Hukum kita masih enak dibahas dalam teori, sangat minim dalam tindakan. Begitu bertumpuknya masalah buruh perempuan di Malaysia, Hongkong, Timur Tengah dan lainnya. Kita bangsa kelas "kacung" yang terlalu lamban dalam membaca tanda zaman. Cukup beralasan apa yang dikatakan La Shawn R Jefferson, Direktur Eksekutif Divisi Hak Perempuan Human Rights Watch, bahwa pekerja wanita kita yang kebanyakan pembantu rumah tangga diperlakukan seperti manusia kelas dua di Malaysia. Kedua negara harus lebih aktif melindungi hak-hak perempuan. Belum lagi dalam negeri, mulai dari perdagangan perempuan antar daerah, yang juga meluas pada antar negara. Jam kerja yang tak berketentuan pada buruh-buruh perempuan kontrak di perkebunan, borongan pekerjaan pada sektor Hutan Tanaman Industri perkayuan. Termasuk satu bagian yang sampai saat ini belum tersentuh, yaitu tentang buruh rumah tangga, dengan jumlah sangat banyak, yang sangat rentan terhadap diskriminasi. Atau di sektor-sektor yang selama ini luput dari perhatian kita, tempat hiburan, hotel, rumah makan, transportasi dan lain-lain. Kebijakan Seperti yang telah disinggung di atas, pemerintah dengan segenap kewenangannya adalah pihak yang sangat diharapkan, tidak saja lewat produk undang-undang hukum yang dilahirkan, tapi tindakan nyata seluruh jajarannya yang terkait agar perlindungan terhadap buruh perempuan dirasakan. Sinergi tataran atas antara Menteri Tenaga Kerja, Menteri Pemberdayaan Perempuan, Kapolri, KBRI, untuk lebih padu dalam hal contoh dalam penanganan buruh migran, termasuk buruh migran perempuan. Dalam cakupan yang lebih luas adalah memperbaiki pendidikan ; yang merupakan kendala nomor wahid hingga buruh perempuan masih berkutat di pekerjaan yang dianggap kelas bawah. Kalangan pengusaha seyogyanya lebih tanggap dan hirau akan nasib buruh perempuan, menjalankan aturan yang telah disepakati dan kalau perlu secara perlahan sesuai dengan kesanggupan memberikan pelayanan yang memadai terhadap terhadap kebutuhan buruh perempuan. Katakanlah kalau di areal kantor untuk lelaki ada "smoking area" atau tempat merokok, kenapa tidak diadakan tempat juga untuk para pekerja perempuan untuk menyusui bayi yang jelas-jelas telah dijamin undang-undang yakni hak untuk mendapatkan waktu menyusui di tengah-tengah jam kerja. Tempat penitipan bayi dan anak dilingkungan perusahaan/tempat kerja. Atau angkutan khusus untuk pekerja perempuan pada waktu shift malam. Terakhir, berpulang kepada perempuan sendiri; apakah buruh perempuan mempunyai kemauan untuk merubah citra dan anggapan selama ini; bahwa perempuan adalah lemah dan mengalah. Mari, atas nama keadilan dan kesetaraan kita sederap untuk merubah tradisi,budaya dan anggapan yang selama ini mendeskriditkan perempuan. Tengok dan belajarlah dari sejarah ; bahwa pertiwi ini sejak lama telah melahirkan perempuan "bermarwah" yang layak jadi ikutan; raja-raja perempuan Aceh yang dihormati, perempuan-perempuan Minangkabau terkemuka pada zaman kemerdekaan dan sampai saat ini yang lahir dari masyarakat egaliter "matrilineal", puan-puan Melayu masa Malaka dan Lingga yang berperan penting. Ini abad kebenderangan, andai para perempuan sadar dan mahfum, bila mereka kompak dan bersatu adalah sebuah kekuatan yang sungguh sulit dibendung dan amat menetukan di Republik ini, baik untuk memperjuangkan hak-haknya atau lebih jauh memainkan peran sosial dan politik Saat ini yang terpenting adalah melaksanakan aturan yang kita buat sendiri, berbagai pihak yang terlibat seperti pemerintah, pengusaha, penyalur tenaga kerja, pihak-pihak yang hirau lainnya seperti LSM, organisasi perempuan, serikat buruh/serikat pekerja, termasuk buruh perempuan sendiri harusnya menyadari bahwa tak lagi zamannya ada perlakuan beda terhadap buruh perempuan. Mari menjadi sebuah bangsa yang besar, bangsa yang menghormati dan membela kaum perempuan, karena ia bukan saja ibu bagi pelanjut generasi, tapi merupakan penghargaan kita yang setinggi-tingginya karena kita semua terlahir dari perempuan; seorang ibu yang di bawah kakinya terletak surga.*** Febri Alamsyah, Ketua DPD SP Kahutindo Provinsi Riau penggiat Jurusan Komunikasi Rab University. [Non-text portions of this message have been removed]