On 4/25/07, Tri Budi Lestyaningsih (Ning) <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > Mbak Lestari, > Mau tanya nih. Kalau yang memasukkan jilbab ke dalam qanun itu siapa, > mbak ? Apa sebelumnya sudah ada musyawarah dengan wakil masyarakat ? > Saya curious aja sih, gimana peraturan ini tadinya dibuat. > > Juga, kalau pemahaman mbak tidak pakai kerudung itu juga terkategori > menutup aurat, apa berarti kalau sholat juga boleh tidak pakai kerudung > (tidak perlu tertutup dengan menyisakan telapak tangan dan muka). > Soalnya, syarat sah shalat kan salah satunya menutup aurat. Kalau tanpa > kerudung sudah dianggap menutup aurat, berarti sholat ngga perlu pake > kerudung dong. Apa betul begitu yang mbak pahami? > > Wassalaam, > -Ning
Mbak Ning, meski saya tidak tahu persisnya tapi sedikit banyak pengetahuan global yg saya ketahui ini valid. Para Ulama Sepuh Aceh yang tergabung dalam MPU (Majlis Permusyawarahan Ulama) - Atau sejenis MUI khusus Aceh yang merumuskan Qanun, memaksakannya kepada DPRD (sambil nakut-nakutin). Nah banyak anggota DPRD karena sayang kursi dan Ulama rata2 punya banyak pengikut, ingin membuat mereka "happy". Pihak perempuan sendiri tidak pernah diajak "berembug" dalam soal ini; para ulama ndelul ini begitu yakin bahwa mereka-lah pihak terbaik untuk mengatur perempuan. Tapi tampaknya mulai banyak ulama perempuan yg mencoba melakukan 'arbritasi" untuk menyuguhkan tafsir alternatif, beberapa ulama perempuan lokal saya tahu namanya tapi tidak bisa dikatakan "kenal". Beberapa nama yg cukup dikenal yg mendukung ulama perempuan Aceh : Lily Munir, Musdah Mulia. Tapi perjuangan untuk ini akan makan waktu sangat lama, karena berbaur antara aroma politik, kedudukan, uang dan "prestise". Para Ulama dogol itu akan tetap merasa mereka sejajar dengan Tuhan dan bisa ngatur semau gue. -- LINUX REGISTERED USER #421968 if you can't explained simply, you don't understand it enough (albert einstein).