Selain sumber data tulisan tidak dicantumkan, selain bahwa berasal 
dari sebuah buku terbitan th 1964, ada satu 'cacat' yang mengganggu 
dan membuat saknsi atas kredibilitas penulisnya, yaitu dikatakan 
bahwa Madzhab Hambali itu adalah aliran Syi'ah ...

wah ... baru tahu tu kalo memang itu ada dukungan sumbernya!

salam,
satriyo

===

--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "Wikan Danar Sunindyo" 
<[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> Dari http://batarahutagalung.blogspot.com/2006/04/tuanku-rao-terror-
agama-islam-mazhab.html
> Soal penyebaran Islam di Tanah Batak yang dilakukan oleh kaum Paderi
> dengan jalan peperangan. Kalau berminat silakan baca (tapi panjang 
lho
> ...), kalau tidak silakan lewatkan saja.
> 
> Ada yang bisa kasih konfirmasi?
> 
> salam,
> ==
> wikan
> http://wikan.multiply.com
> 
>  Tuanku Rao. Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak
> 
> Perang Paderi (Ada yang berpendapat kata ini berasal dari Pidari di
> Sumatera Barat, dan ada yang berpendapat kata Paderi berasal dari 
kata
> Padre, bahasa Portugis, yang artinya pendeta, dalam hal ini adalah
> ulama) di Sumatera Barat berawal dari pertentangan antara kaum adat
> dengan kaum ulama. Sebagaimana seluruh wilayah di Asia Tenggara
> lainnya, sebelum masuknya agama Islam, agama yang dianut masyarakat 
di
> Sumatera Barat juga agama Buddha dan Hindu. Sisa-sisa budaya Hindu
> yang masih ada misalnya sistem matrilineal (garis ibu), yang mirip
> dengan yang terdapat di India hingga sekarang.
> 
> Masuknya agama Islam ke Sumatera Utara dan Timur, juga awalnya 
dibawa
> oleh pedagang-pedagang dari Gujarat dan Cina.
> 
> Setelah kembalinya beberapa tokoh Islam dari Mazhab Hambali yang 
ingin
> menerapkan alirannya di Sumatera Barat, timbul pertentangan antara
> kaum adat dan kaum ulama, yang bereskalasi kepada konflik 
bersenjata.
> Karena tidak kuat melawan kaum ulama (Paderi), kaum adat meminta
> bantuan Belanda, yang tentu disambut dengan gembira. Maka pecahlah
> Perang Paderi yang berlangsung dari tahun 1816 sampai 1833.
> 
> Selama berlangsungnya Perang Paderi, pasukan kaum Paderi bukan hanya
> berperang melawan kaum adat dan Belanda, melainkan juga menyerang
> Tanah Batak Selatan, Mandailing, tahun 1816 - 1820 dan kemudian
> mengIslamkan Tanah Batak selatan dengan kekerasan senjata, bahkan di
> beberapa tempat dengan tindakan yang sangat kejam.
> Sebelum masuknya agama Islam dan Kristen ke Tanah Batak, selain 
agama
> asli Batak yaitu Parmalim, seperti di hampir di seluruh Nusantara,
> agama yang berkembang di Sumatera Utara adalah agama Hindu dan 
Buddha.
> Sedangkan di Sumatera Barat pada abad 14 berkembang aliran Tantra
> Çaivite (Shaivite) Mahayana dari agama Buddha, dan hingga tahun 1581
> Kerajaan Pagarruyung di Minangkabau masih beragama Hindu.
> 
> Agama Islam yang masuk ke Mandailing dinamakan oleh penduduk 
setempat
> sebagai Silom Bonjol (Islam Bonjol) karena para penyerbunya datang
> dari Bonjol. Seperti juga di Jawa Timur dan Banten rakyat setempat
> yang tidak mau masuk Islam, menyingkir ke utara dan bahkan akibat
> agresi kaum Paderi dari Bonjol, tak sedikit yang melarikan diri 
sampai
> Malaya.
> 
> Penyerbuan Islam ke Mandailing berawal dari dendam keturunan marga
> Siregar terhadap dinasti Singamangaraja dan seorang anak hasil 
incest
> (hubungan seksual dalam satu keluarga) dari keluarga Singamangaraja 
X.
> 
> Ketika bermukim di daerah Muara, di Danau Toba, Marga Siregar sering
> melakukan tindakan yang tidak disenangi oleh marga-marga lain,
> sehingga konflik bersenjatapun tidak dapat dihindari. Raja Oloan 
Sorba
> Dibanua, kakek moyang dari Dinasti Singamangaraja, memimpin 
penyerbuan
> terhadap pemukiman Marga Siregar di Muara. Setelah melihat kekuatan
> penyerbu yang jauh lebih besar, untuk menyelamatkan anak buah dan
> keluarganya, peminpin marga Siregar, Raja Porhas Siregar meminta 
Raja
> Oloan Sorba Dibanua untuk melakukan perang tanding -satu lawan satu-
> sesuai tradisi Batak. Menurut tradisi perang tanding Batak, rakyat
> yang pemimpinnya mati dalam pertarungan satu lawan satu tersebut,
> harus diperlakukan dengan hormat dan tidak dirampas harta bendanya
> serta dikawal menuju tempat yang mereka inginkan.
> 
> Dalam perang tanding itu, Raja Porhas Siregar kalah dan tewas di
> tangan Raja Oloan Sorba Dibanua. Anak buah Raja Porhas ternyata 
tidak
> diperlakukan seperti tradisi perang tanding, melainkan diburu oleh
> anak buah Raja Oloan sehingga mereka terpaksa melarikan diri ke
> tebing-tebing yang tinggi di belakang Muara, meningggalkan keluarga
> dan harta benda. Mereka kemudian bermukim di dataran tinggi Humbang.
> Pemimpin Marga Siregar yang baru, Togar Natigor Siregar mengucapkan
> sumpah, yang diikuti oleh seluruh Marga Siregar yang mengikat untuk
> semua keturunan mereka, yaitu: Kembali ke Muara untuk membunuh Raja
> Oloan Sorba Dibanua dan seluruh keturunannya.
> 
> Dendam ini baru terbalas setelah 26 generasi, tepatnya tahun 1819,
> ketika Jatengger Siregar –yang datang bersama pasukan Paderi, di 
bawah
> pimpinan Pongkinangolngolan (Tuanku Rao)- memenggal kepala
> Singamangaraja X, keturunan Raja Oloan Sorba Dibanua, dalam 
penyerbuan
> ke Bakkara, ibu kota Dinasti Singamangaraja.
> 
> Ibu dari Pongkinangolngolan adalah Gana Sinambela, putri dari
> Singamangaraja IX sedangkan ayahnya adalah Pangeran Gindoporang
> Sinambela adik dari Singamangaraja IX. Gindoporang dan 
Singamangaraja
> IX adalah putra-putra Singamangaraja VIII. Dengan demikian,
> Pongkinangolngolan adalah anak hasil hubungan gelap antara Putri 
Gana
> Sinambela dengan Pamannya, Pangeran Gindoporang Sinambela.
> 
> Gana Sinambela sendiri adalah kakak dari Singamangaraja X. Walaupun
> terlahir sebagai anak di luar nikah, Singamangaraja X sangat 
mengasihi
> dan memanjakan keponakannya. Untuk memberikan nama marga, tidak
> mungkin diberikan marga Sinambela, karena ibunya bermarga Sinambela.
> Namun nama marga sangat penting bagi orang Batak, sehingga
> Singamangaraja X mencari jalan keluar untuk masalah ini.
> Singamangaraja X mempunyai adik perempuan lain, Putri Sere 
Sinambela,
> yang menikah dengan Jongga Simorangkir, seorang hulubalang. Dalam
> suatu upacara adat, secara pro forma Pongkinangolngolan "dijual"
> kepada Jongga Simorangkir, dan Pongkinangolngolan kini bermarga
> Simorangkir.
> Namun kelahiran di luar nikah ini diketahui oleh 3 orang Datu (tokoh
> spiritual) yang dipimpin oleh Datu Amantagor Manurung. Mereka
> meramalkan, bahwa Pongkinangolngolan suatu hari akan membunuh
> pamannya, Singamangaraja X. Oleh karena itu, Pongkinangolngolan 
harus
> dibunuh.
> 
> Sesuai hukum adat, Singamangaraja X terpaksa menjatuhkan hukuman 
mati
> atas keponakan yang disayanginya. Namun dia memutuskan, bahwa
> Pongkinangolngolan tidak dipancung kepalanya, melainkan akan
> ditenggelamkan di Danau Toba. Dia diikat pada sebatang kayu dan
> badannya dibebani dengan batu-batu supaya tenggelam.
> 
> Di tepi Danau Toba, Singamangaraja X pura-pura melakukan pemeriksaan
> terakhir, namun dengan menggunakan keris pusaka Gajah Dompak ia
> melonggarkan tali yang mengikat Pongkinangolngolan, sambil 
menyelipkan
> satu kantong kulit berisi mata uang perak ke balik pakaian
> Pongkinangolngola. Perbuatan ini tidak diketahui oleh para Datu,
> karena selain tertutup tubuhnya, juga tertutup tubuh Putri Gana
> Sinambela yang memeluk dan menangisi putra kesayangannya.
> 
> Tubuh Pongkonangolngolan yang terikat kayu dibawa dengan rakit ke
> tengah Danau dan kemudian di buang ke air. Setelah berhasil 
melepaskan
> batu-batu dari tubuhnya, dengan berpegangan pada kayu
> Pongkinangolngolan berhasil mencapai sungai Asahan, di mana kemudian
> di dekat Narumonda, ia ditolong oleh seorang nelayan, Lintong
> Marpaung.
> Setelah bertahun-tahun berada di daerah Angkola dan Sipirok,
> Pongkinangolngolan memutuskan untuk pergi ke Minangkabau, karena
> selalu kuatir suatu hari akan dikenali sebagai orang yang telah
> dijatuhi hukuman mati oleh Raja Batak.
> 
> Di Minangkabau ia mula-mula bekerja pada Datuk Bandaharo Ganggo
> sebagai perawat kuda. Pada waktu itu, tiga orang tokoh Islam Mazhab
> Hambali, yaitu Haji Miskin, Haji Piobang dan Haji Sumanik baru 
kembali
> dari Mekkah dan sedang melakukan penyebaran Mazhab Hambali di
> Minangkabau, yang menganut aliran Syi'ah. Haji Piobang dan Haji
> Sumanik pernah menjadi pewira di pasukan kavaleri Janitsar Turki.
> Gerakan mereka mendapat dukungan dari Tuanku Nan Renceh, yang
> mempersiapkan tentara untuk melaksanakan gerakan Mazhab Hambali,
> termasuk rencana untuk mengislamkan Mandailing.
> 
> Tuanku Nan Renceh yang adalah seorang teman Datuk Bandaharo Ganggo,
> mendengar mengenai nasib dan silsilah dari Pongkinangolngolan. Ia
> memperhitungkan, bahwa Pongkinangolngolan yang adalah keponakan
> Singamangaraja X dan sebagai cucu di dalam garis laki-laki dari
> Singamangaraja VIII, tentu sangat baik untuk digunakan dalam rencana
> merebut dan mengIslamkan Tanah Batak. Oleh karena itu, ia meminta
> kawannya, Datuk Bandaharo agar menyerahkan Pongkinangolngolan
> kepadanya untuk dididik olehnya.
> Pada 9 Rabiu'ulawal 1219 H (tahun 1804 M), dengan syarat-syarat
> Khitanan dan Syahadat, Pongkinangolngolan diislamkan dan diberi nama
> Umar Katab oleh Tuanku Nan Renceh. Nama tersebut diambil dari nama
> seorang Panglima Tentara Islam, Umar Chattab. Namun terselip juga 
asal
> usul Umar Katab, karena bila dibaca dari belakang, maka akan 
terbaca:
> Batak!
> 
> Penyebaran Mazhab Hambali dimulai tahun 1804 dengan pemusnahan
> keluarga Kerajaan Pagarruyung di Suroaso, yang menolak aliran baru
> tersebut. Hampir seluruh keluarga Raja Pagarruyung dipenggal 
kepalanya
> oleh pasukan yang dipimpin oleh Tuanku Lelo, yang nama asalnya 
adalah
> Idris Nasution. Hanya beberapa orang saja yang dapat menyelamatkan
> diri, di antaranya adalah Yang Dipertuan Arifin Muning Alamsyah yang
> melarikan diri ke Kuantan dan kemudian meminta bantuan Belanda. Juga
> putrinya, Puan Gadis dapat menyelamatkan diri, dan pada tahun 1871
> menceriterakan kisahnya kepada Willem Iskandar.
> 
> Umar Katab alias Pongkinangolngolan Sinambela kembali dari Mekkah 
dan
> Syria tahun 1815, di mana ia sempat mengikuti pendidikan kemiliteran
> pada pasukan kavaleri janitsar Turki. Oleh Tuanku Nan Renceh ia
> diangkat menjadi perwira tentara Paderi dan diberi gelar Tuanku Rao.
> Ternyata Tuanku Nan Renceh menjalankan politik divide et impera
> seperti Belanda, yaitu menggunakan orang Batak untuk menyerang Tanah
> Batak.
> 
> Penyerbuan ke Tanah Batak dimulai pada 1 Ramadhan 1231 H (tahun 1816
> M), dengan penyerbuan terhadap benteng Muarasipongi yang 
dipertahankan
> oleh Marga Lubis. 5.000 orang dari pasukan berkuda ditambah 6.000
> infanteri meluluhlantakkan benteng Muarasipongi, dan seluruh
> penduduknya dibantai tanpa menyisakan seorangpun. Kekejaman ini
> sengaja dilakukan dan disebarluaskan untuk menebarkan teror dan rasa
> takut agar memudahkan penaklukkan. Setelah itu, satu persatu wilayah
> Mandailing ditaklukkan oleh pasukan Paderi, yang dipimpin oleh 
Tuanku
> Rao dan Tuanku Lelo, yang adalah putra-putra Batak sendiri. Selain
> kedua nama ini, ada sejumlah orang Batak yang telah masuk Islam, 
ikut
> pasukan Paderi menyerang Tanak Batak, yaitu Tuanku Tambusai 
(Harahap),
> Tuanku Sorik Marapin (Nasution), Tuanku Mandailing (Lubis), Tuanku
> Asahan (Mansur Marpaung), Tuanku Kotapinang (Alamsyah Dasopang),
> Tuanku Daulat (Harahap), Tuanku Patuan Soripada (Siregar), Tuanku
> Saman (Hutagalung), Tuanku Ali Sakti (Jatengger Siregar), Tuanku
> Junjungan (Tahir Daulay) dan Tuanku Marajo (Harahap).
> Penyerbuan terhadap Singamangaraja X di Benteng Bakkara, 
dilaksanakan
> tahun 1819. Orang-orang Siregar Salak dari Sipirok dipimpin oleh
> Jatengger Siregar ikut dalam pasukan penyerang, guna memenuhi sumpah
> Togar Natigor Siregar dan membalas dendam kepada keturunan Raja 
Oloan
> Sorba Dibanua, yaitu Singamangaraja X. Jatengger Siregar menantang
> Singamangaraja untuk melakukan perang tanding. Walaupun sudah 
berusia
> lanjut, namun Singamangaraja tak gentar dan menerima tantangan
> Jatengger Siregar yang masih muda. Duel dilakukan dengan menggunakan
> pedang di atas kuda.
> 
> Duel yang tak seimbang berlangsung tak lama. Singamangaraja kalah 
dan
> kepalanya dipenggal oleh pedang Jatengger Siregar. Terpenuhi sudah
> dendam yang tersimpan selama 26 generasi. Kepala Singamangaraja X
> ditusukkan ke ujung satu tombak dan ditancapkan ke tanah. Orang-
orang
> marga Siregar masih belum puas dan menantang putra-putra
> Singamangaraja X untuk perang tanding. Sebelas putra-putra
> Singamangaraja memenuhi tantangan ini, dan hasilnya adalah 7 – 4 
untuk
> kemenangan putra-putra Singamangaraja. Namun setelah itu, penyerbuan
> terhadap Benteng Bakkara terus dilanjutkan, dan sebagaimana di
> tempat-tempat lain, tak tersisa seorangpun dari penduduk Bakkara,
> termasuk semua perempuan yang juga tewas dalam pertempuran.
> Penyerbuan pasukan Paderi terhenti tahun 1820, karena berjangkitnya
> penyakit kolera dan epidemi penyakit pes. Dari 150.000 orang tentara
> Paderi yang memasuki Tanah Batak tahun 1818, hanya tersisa sekitar
> 30.000 orang dua tahun kemudian. Sebagian terbesar bukan tewas di
> medan petempuran, melainkan mati karena berbagai penyakit.
> Untuk menyelamatkan sisa pasukannya, tahun 1820 Tuanku Rao bermaksud
> menarik mundur seluruh pasukannya dari Tanah Batak Utara, sehingga
> rencana pengIslaman seluruh Tanah Batak tak dapat diteruskan. Namun
> Tuanku Imam Bonjol memerintahkan agar Tuanku Rao bersama pasukannya
> tetap di Tanah Batak, untuk menghadang masuknya tentara Belanda.
> Ketika keadaan bertambah parah, akhirnya Tuanku Rao melakukan
> pembangkangan terhadap perintah Tuanku Imam Bonjol, dan 
memerintahkan
> sisa pasukannya keluar dari Tanah Batak Utara dan kembali ke 
Selatan.
> 
> Enam dari panglima pasukan Paderi asal Batak, yaitu Tuanku 
Mandailing,
> Tuanku Asahan, Tuanku Kotapinang, Tuanku Daulat, Tuanku Ali Sakti 
dan
> Tuanku Junjungan, tahun 1820 memberontak terhadap penindasan asing
> dari Bonjol/Minangkabau dan menanggalkan gelar Tuanku yang dipandang
> sebagai gelar Minangkabau. Bahkan Jatengger Siregar hanya menyandang
> gelar tersebut selama tiga hari. Mereka sangat marah atas perilaku
> pasukan Paderi yang merampok dan menguras Tanah Batak yang telah
> ditaklukkan. Namun hanya karena ingin balas dendam kepada
> Singamangaraja, Jatengger Siregar menahan diri sampai terlaksananya
> sumpah Togar Natigor Siregar dan ia behasil membunuh Singamangaraja 
X.
> 
> Mansur Marpaung (Tuanku Asahan) dan Alamsyah Dasopang (Tuanku
> Kotapinang) dengan tegas menyatakan tidak mau tunduk lagi kepada
> Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Nan Renceh, dan kemudian mendirikan
> kesultanan/kerajaan sendiri. Marpaung mendirikan Kesultanan Asahan 
dan
> mengangkat dirinya menjadi sultan, sedangkan Dasopang mendirikan
> Kerajaan Kotapinang, dan ia menjadi raja.
> 
> Tuanku Rao tewas dalam pertempuran di Air bangis pada 5 September
> 1821, sedangkan Tuanku Lelo (Idris Nasution) tewas dipenggal 
kepalanya
> dan kemudian tubuhnya dicincang oleh Halimah Rangkuti, salah satu
> tawanan yang dijadikan selirnya.
> 
> Catatan:
> Tulisan ini merupakan cuplikan dari buku yang ditulis oleh 
Mangaradja
> Onggang Parlindungan Siregar, "Pongkinangolngolan Sinambela gelar
> Tuanku Rao, Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak",
> Penerbit Tanjung Pengharapan, Jakarta, 1964.
> 
> Tuanku Lelo/Idris Nasution adalah kakek buyut dari Mangaraja Onggang
> Parlindungan ( hlm. 358). Dari ayahnya, Sutan Martua Raja Siregar,
> seorang guru sejarah, M.O. Parlindungan memperoleh warisan sejumlah
> catatan tangan yang merupakan hasil penelitian dari Willem Iskandar,
> Guru Batak, Sutan Martua Raja dan Residen Poortman. Sebenarnya ia
> hanya bermaksud menulis buku untuk putra-putranya. Buku tersebut
> memuat banyak rahasia keluarga, termasuk kebiadaban yang dilakukan
> oleh Tuanku Lelo tersebut. Mayjen TNI (purn.) T.Bonar Simatupang
> menilai, bahwa tulisan tersebut banyak mengandung sejarah Batak, 
yang
> perlu diketahui oleh generasi muda Batak. Parlindungan Siregar 
setuju
> untuk menerbitkan karyanya untuk publik. Parlindungan Siregar 
meminta
> T.B. Simatupang, Ali Budiarjo, SH dan dr. Wiliater Hutagalung 
memberi
> masukan-masukan dan koreksi terhadap naskah buku tersebut.
> 
> On 6/4/07, Dan <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
> >
> > Maksudnya supaya umat Islam dan umat agama lain juga introspeksi 
dan
> >  mau mengakui dg jujur bahwa penyebaran agama masing2 tidak luput 
dari
> >  mengorbankan jiwa manusia demi agama.
> >
> >  Mengapa ini perlu diakui dg jujur? Supaya tidak lagi mengorbankan
> >  nyawa manusia utk perang ideologi/agama.
>


Kirim email ke