apa yg saya tangkap dari email yg di fw mas satriyo ini ?

1. agung pribadi alias agung cinta, anak sejarah UI ini sedang 
mengirimkan sebuah artikel.

2. artikel yg dikirim adalah tulisan wisnu pramudya, kepala cabang 
suara hidayatullah pos jakarta.  secara ideologi memang dekat dgnorang 
DDII.  agak beda dikit dengan hidayatullah yg di Sby [induknya].  ini 
memang masalah internal yg sejak lama timbul sejak satu dasawarsa 
terakhir.  apa mau di kata, gerbong uangnya sekarang di situ.  
generasimuda.  gelombang suanga tiangkang yg belakangan melampau 
gelombang yang lebih duluan.

3. untuk yg belum kenal agung cinta ini, dia bukan orang yg fundies 
semata mata.  tapi bisa mikir lumayan luas.  antara lain bisa dilihat 
dari artikel yang berjudul : "Wajar Mereka menjadi Marxis".

Jadi dia mampu mengapresiasi, bahwa orang Si Merah di Semarang, karena 
tuntutan jaman dan latar belakang sosialnya, memang wajar jadi 
pengikut marxis.  apresiasi macam ini tentu sangat sulit kita dapatkan 
dalam dataran pemikiran teman teman yg tergabung di INSIST misalnya.  
[untuk tidak bilang mereka adalah fundies biner yg hanya bisa melihat 
persoalan secara hitam putih belaka].

4. supaya lebih puas, tulisan dan artikel agung pribadi ttg Si merah 
dan apresiasinya thd kondisi merka yg islam namun marxis saya posting 
di bawah ini.

--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "satriyo" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

Bagi yang ingin tahu INSISTS, berikut kiriman dari milis tetangga. 
Semoga bermanfaat.

--- In [EMAIL PROTECTED], "agung pribadi" <agungpribadi2001@> 
wrote:
 
www.hidayatullah.com 

Selamat datang, INSISTS!  
oleh Wisnu Pramudya *)



====

Wajar Mereka menjadi Marxis
Oleh Agung Pribadi*

Deliar Noer berkata, "Nasionalisme Indonesia dimulai sebenarnya dengan
nasionalisme Islam". Katanya lagi, "Sesuatu gerakan yang penting di
Indonesia mulanya adalah gerakan orang-orang Islam. Mereka yang
bergerak di bawah panji-panji yang bukan Islam kebanyakannya terdiri
dari mereka yantg telah meninggalkan tempat buaian mereka semula,
tempat mereka mula-mula sekali mengecap asam garam pergerakan". (Noer:
1980, 9).

Hal ini dapat kita buktikan. Beberapa tokoh pergerakan nasional
terkemuka dari berbagai aliran berasal dari gerakan Islam. Untuk
aliran nasionalisme radikal Ki Hajar Dewantara (Suwardi Suryaningrat)
tadinya berasal dari Sarekat Islam (SI). Soekarno pernah menjadi guru
Muhammadiyah. Mayoritas tokoh-tokoh PKI zaman pergerakan nasional
berasal dari SI. Tan Malaka, yang kalau menurut Kahin adalah seorang
Komunis Nasionalis seperti Ho Chi Minh di Vietnam (Anderson: 1988, 8)
dan pendiri partai Murba- berasal dari SI Jakarta dan Semarang serta
dibesarkan dalam suasana bersemangatnya gerakan modernis Islam Kaoem
Moeda di Sumatra Barat. (Poeze: 1988).

Ada 3 aliran utama dalam pergerakan nasional yaitu Nasionalisme,
Islam, dan Marxisme. Ada yang berusaha menyatukan misalnya Tan Malaka,
Soekarno, KHM Misbach dan Sneevliet. Ada yang menarik garis tegas
misalnya A.Hassan, Tjokroaminoto pasca 1921, M. Natsir, Abdul Muis,
dan K.H. Agus Salim.

Dalam bab penutup buku Di Bawah Lentera Merah Soe Hok Gie bingung
mengkategorisasikan KH Misbach yang dengan fasih berargumen menurut
ayat Al Qur-an dan Al Hadits sekaligus teori-teori Marxisme. Ia
bingung menentukan apakah KH Misbach itu bicara Marxisme dengan baju
Islam atau bicara Islam dengan baju Marxisme. Tetapi KH Misbach adalah
aktivis SI Solo. Untuk SI Semarang yang menjadi cikal bakal Partai
Komunis Indonesia Soe Hok Gie berani mengambil kesimpulan, SI Semarang
adalah gerakan orang-orang abangan dan priyayi yang sedang
semangat-semangatnya melakukan pergerakan nasional akibat 4 hal.

Pertama, kelaparan akibat tanah-tanah pertanian rakyat dirampas untuk
perkebunan tebu inti rakyat yang hasilnya tidak cukup untuk makan.
Kedua, wabah pes yang menyebabkan angka kematian penduduk Semarang
hingga 76%. Ketiga, didirikannya Volksraad yang merupakan `Demokrasi
seolah-olah' atau `komedi' dalam bahasanya Semaun ketua SI Semarang
serta didirikannya Indie Weerbaar (Pertahanan Hindia) yang dianggap
membuat orang-orang pribumi sebagai perisai hidup anti peluru bagi
orang-orang Belanda. Keempat, delik pers Sneevliet (bahasa Belandanya
persdelict Sneevliet). Pengadilan terhadap Hendricus Josephus
Fransiscus Marie (H.J.F.M.) Sneevliet yang membuat orang-orang
Semarang khususnya dan orang Jawa umumnya kagum. Karena ada orang
Belanda dengan teori-teori Marxisme-nya membela mati-matian
orang-orang pribumi dan rela melepaskan pekerjaannya yang bergaji
sangat besar.

Adapun Islam dipakai karena dengan Islam –melalui Sarekat Islam-
massa rakyat yang sangat banyak bisa direkrut. Massa tidak mengerti
teori-teori Marxisme. Jangankan massa, para aktivis SI Semarang saja
tidak terlalu memahami teori-teori Marxisme. Tidak pernah ada
pembahasan teoritis dan mendalam tentang Marxisme dalam surat kabar
mereka Sinar Djawa/Sinar Hindia. Merekapun tidak terlalu mengerti
Islam. Islam hanya dipakai untuk menggugah emosi massa juga karena
simbol Islam=Pribumi pada masa itu.

Penulis pikir wajar saja para aktivis SI Semarang memilih Marxisme
sebagai alat analisis sosial dan ideologi perjuangan. Karena pada masa
itu jawabannya memang itu. Wajah Islam yang ada saat itu menurut RA
Kartini membuat orang-orang tidak mengerti Islam karena Al Qur-an
tidak boleh diterjemahkan. (Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang,
(Jakarta: Balai Pustaka, 1978), hal. 45). Menurut Gus Dur penghambat
kemajuan dan pro status quo, menurut Deliar Noer tidak memperhatikan
masalah sosial, politik, dan ekonomi.

Pada saat itu tidak ada tulisan-tulisan tentang Islam di Indonesia
yang bersifat teoritis dan mengadaptasi kemajuan zaman. Buku Islam dan
Sosialisme-nya Tjokroaminoto baru ditulis pada tahun 1924 dan isi buku
itu tidak terlalu dalam dan bersifat apologetik. Kalau menurut Deliar
Noer sebenarnya buku itu bukan karangan Tjokroaminoto melainkan hasil
saduran dari karangan seorang ulama Timur Tengah. Tulisan-tulisan K.H.
Agus Salim baru beredar pasca 1921. Yang paling keras menentang
Marxisme adalah Abdul Muis. Tetapi kalau kita membaca satu studi di
jurusan sejarah UI maka kita melihat bahwa Abdul Muis itu memang
`penjilat' Belanda. Novel Abdul Muis "Salah Asoehan" adalah upaya
membentuk opini publik bahwa wanita ideal adalah wanita `rumahan'
sebagai antitesis keadaan masa itu di mana para wanita
berbondong-bondong ke luar rumah untuk aktif dalam pergerakan nasional
untuk menjadi anggota SI-Wanita, Aisyiyah (Divisi Wanita
Muhammadiyah), dan lain sebagainya. Abdul Muis pro Belanda yang
kerepotan dengan wanita-wanita yang aktif dalam pergerakan nasional.
Penggambaran sangat baik suasana waktu itu, khususnya di Sumatra
Barat, ada dalam novel Hamka, Di Bawah Lindungan Ka'bah.
Perdebatan-perdebatan teoritis tentang Islam yang produktif baru ada
pasca 1930 setelah Soekarno aktif di dunia jurnalistik pergerakan
nasional. Debat terbuka terjadi antara Soekarno versus KH Agus Salim.
Polemik terjadi antara Soekarno versus A.Hasan dan Soekarno versus
M.Natsir.

Dengan kata lain, dengan keadaan Islam yang seperti itu wajar saja
para aktivis SI Semarang memilih Marxisme sebagai ideologi perjuangan
dan alat analisis sosial, walaupun mereka membawa nama Islam yaitu
Sarekat Islam.

Kalau ada yang berpendapat mengapa mereka tidak tetap memakai Islam
sebagai ideologi perjuangan dan alat analisis sosial seperti yang
dipakai oleh gerakan tarekat Sanusiyah di Libya, maka jawabannya
adalah pertama, Islam Indonesia sangat menekankan aspek spiritual dan
nyaris melupakan duniawi. Juga Islam Indonesia sangat sinkretis dan
tidak murni lagi seperti kata Clifford Geertz, Harry J. Benda, Snouck
Hurgronje, B.J.O. Schrieke, dan Kuntowijoyo. Kedua, pernah ada gerakan
tarekat yang mirip gerakan tarekat Sanusiyah di Libya yaitu gerakan
tarekat Qadariyah yang mengorganisir pemberontakan petani di Cilegon,
Banten. Tetapi pemberontakan itu gagal total. Gerakan tarekat
Sanusiyah di Libyapun gagal total. Jadi pada masa itu Islam di seluruh
dunia tidak bisa dijadikan alat analisis sosial dan ideologi
perjuangan, justru yang bisa adalah Marxisme-Leninisme (yang kemudian
disebut komunisme) dengan keberhasilan Revolusi Bolsyewik-nya. Namun
demikian Soe Hok Gie tidak sepakat dengan pendapat para sejarawan ahli
Indonesia yang mengatakan pergerakan nasional bergerak ke kiri karena
keberhasilan Revolusi Bolsyewik, Oktober 1917. Soe Hok Gie mempunyai
alasan kuat yaitu: "Tetapi jika kita menilik pers Indonesia, juga pada
surat kabar Sinar Djawa/Sinar Hindia (di bawah asuhan Semaun, Alimin,
dan lain-lain), revolusi Rusia tidak mendapat tempat yang besar.
Nama-nama Lenin, Trotsky, dan Stalin, hampir tak pernah disebut.
Perdamaian Brest-Litowsky hanya sekali menjadi bahan sebuah artikel
Kadarisman. Bahkan dalam mengenang tahun 1917 berlalu, revolusi
Oktober itu tidak disebut-sebut. Tetapi pengarang lainnya disebut.
Hanya melalui Sneevlieet-lah, revolusi Rusia itu pernah menarik
perhatian publik di Indonesia dan baru setelah tahun 1920, ketika kaum
Marxis Indonesia mulai mengadakan hubungan internasional, hal-hal di
seputar revolusi Rusia menarik perhatian Indonesia.

Menurut pendapat saya, pengaruh kejadian-kejadian di luar negeri baru
mendapat perhatian di negeri ini setelah tahun-tahun 1926. Sebelumnya,
berita-berita luar negeri amat pendek-pendek dan hanya merupakan
kutipan kawat. Masalah pengaruh luar negeri sampai sekarang masih
sangat dilebih-lebihkan dan hanya penelitian lebih lanjut yang akan
memberikan jawaban sebenarnya". (Soe Hok Gie: 1990)


Jadi Soe Hok Gie lebih berpendapat faktor keadaan
sosial-ekonomi-politik di Semaranglah yang menyebabkan SI bergerak ke
kiri (4 faktor yang sudah disebutkan di atas), ditambah beralihnya
kepemimpinan SI Semarang dari anak-anak kaum borjuis ke anak-anak kaum
proletar (petani dan buruh). Kekaguman yang amat sangat kepada
Sneevlieet membuat banyak sekali anggota SI Semarang yang merangkap
sebagai anggota ISDV (Indische Sociaal Democratische Vereniging). Di
ISDV inilah mereka mempelajari Marxisme dan kemudian
Marxisme-Leninisme. Tetapi ketika pada tingkat aksi mereka memakai
nama Sarekat Islam.

Dalam kongres CSI (Centraal Sarekat Islam/Sarekat Islam Pusat),
kelompok Semarang ini selalu ngotot dengan pendapatnya untuk membawa
SI ke kiri. Walaupun mendapat tentangan keras dari Abdul Muis mereka
tetap ngotot. Karena dengan cara berfikir dialektikanya Hegel yang
diadaptasi Marx, para aktivis SI Semarang ini mengharap terjadinya
sintesis dari peserta kongres. Dan dengan campur tangan ketua CSI
Tjokroaminoto yang mengutamakan persatuan SI dicapailah sintesis itu.
Hasil sintesis itu yang fenomenal adalah hasil sintesis dalam kongres
III CSI. Pertentangan antara Muis dengan kelompok Semarang dapat
ditengahi oleh Tjokro yang amat dihormati kedua belah pihak yang
bersengketa itu. Salah satu yang diperjuangkan oleh SI Semarang adalah
tekad untuk memerangi kapitalisme dengan mengorganisir kaum buruh di
kota-kota. Karena dari sinilah tumbuh akar perjuangan mati-matian kaum
sosialis revolusioner dimulai sampai pada pemberontakan PKI tahun 1926.
Sarekat Islam Pusat (CSI) menjadi sangat sosialistik ketika dalam
sidang pengurus pasca kongres III CSI Abdul Muis tidak hadir. Sehingga
kelompok Semarang meraja lela dan mendominasi kongres. Sehingga
keputusan-keputusan kongres membuat Sarekat Islam menjadi sangat
sosialistik. SI Semarang (atau dikenal dengan nama SI Merah) selain
mempengaruhi SI Pusat menjadi sangat sosialistik juga kemudian
bermetamorfosis menjadi Perserikatan Komunis Hindia kemudian berubah
lagi menjadi Partai Komunis Indonesia. 

Wallahu A'lam bish Shawab.

Kirim email ke