Sebulan lalu saya menghadiri acara pernikahan teman milis di Jateng.
Mereka orang Islam, pake tatacara islam, terpisah gak ada acara adat.
Pengantin perempuan memakai kerudung yg di hias menarik sebagai pakaian 
pengantin.
Begitu juga pagar ayu perempuan semua memakai kain kebaya dan berkerudung.

Duduk tamu dipisahkan oleh sebuah jalanan setapak. Maklum pestanya di rumah 
dikawasan 
perkampungan padat. Beberapa rumah tetangga jadi ketempatan.
Laki2 sebelah kiri perempuan sebelah kanan. Begitu juga hidangan meski sama 
jenisnya di pisahkan.
Sampai beberapa saat masih teratur. Laki2 di kiri, perempuan di kanan.

Saya mungkin untuk bukan orang sekitar sana, datang paling pertama duduk di 
kelompok perempuan.
Saya manyun, bengong gak ada yg kenal. Mereka saling ribut sendiri, ngomong yg 
saya musti mikir dulu 
artinya apa [ maklum bahasa jawa saya sangat memprihatinkan]. Paling2 cuma 
tersenyum, mengangguk-angguk.
Tidak nyaman rasanya karena merasa terasing.
Kemudian berdatangan teman2 milis lainnya yg kebanyakan pria, maka saya 
putuskan bergabung dengan mereka.
kemudian akhirnya kami membentuk klompok sendiri; laki2 dan perempuan duduk 
bersama membentuk lingkaran.

Dan akhirnya aturan itu bubar jalan, karena banyak pasangan2 teman2 mempelai yg 
datang dari luar kota.
Ya akhirnya mereka duduk bersisihan. Masak datang berdua, duduknya terpisah, yg 
satu entah dimana?
Lagian apa sepanjang pesta mereka cuma duduk, makan dan diam karena kurang 
mengenal satu sama lain?

Salam
l.meilany


  ----- Original Message ----- 
  From: Dwi W. Soegardi 
  To: wanita-muslimah@yahoogroups.com 
  Sent: Tuesday, June 26, 2007 8:59 PM
  Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: Dipisahkan saat pesta nikah


  On 6/26/07, Donnie <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
  > Halah mas Dwi, masak harus join padhang mbulan dulu buat baca, bisa
  > nggak kalau sekedar dipostingkan kesini.
  >
  > Makasih

  lho piye mas,

  kan sudah saya lampirkan lengkap di bawah signature =DWS :-)

  silakan dibaca ulang .... (ya sudah saya lampirkan lagi)

  makasih juga.

  http://groups.yahoo.com/group/padhang-mbulan/message/33021

  Mengenai resepsi berhijab yang "aneh",
  pernah saya dengar ustadz yang "berdalil" hal itu mengacu pada
  walimahnya Rasulullah saw dengan Zainab bint Jahsy.
  Rasulullah duduk berdua dengan Zainab r.a. di pelaminan,
  sementara Rasulullah menerima ucapan selamat, Zainab
  duduk membelakangi lensa eh hadirin. Tolong deh yang punya
  referensi dicek.

  Di kali lain, ada ustadz ceramah di Masjid Al Azhar cerita
  pengalamannya menerima undangan resepsi dengan
  keterangan kira-kira Walimah ala Islami, mungkin ada
  tambahannya diberi hijab, pembatas dlsb. Langsung sang
  ustadz mencak-mencak marah, "Walimah itu acara Islam,
  masih pula ditambahi 'islami'. Mulai kapan cara yang lain "tidak
  islami?"

  Di lokalan sini, beberapa kali kami dapat undangan walimahan.
  Sesuai dengan adat Arab, kaum pria di satu tempat dan kaum
  perempuan di tempat lain. Benar-benar terpisah, nggak perlu
  pembatas artifisial lagi, nggak ada daerah abu-abu. Tentu saja
  kalo keluar ruangan, di parkiran campur baur tidak ada
  larangan. Saya sih tidak ada kesan apa-apa, wong cuma antar
  laki-laki kumpul, paling ngobrol dan makan. Nah yang seru ini di
  bagian perempuan. Istri saya, waktu pertama kali menghadiri,
  nyaris tidak kenal sama teman-temannya. Lha tidak satupun
  temannya yang kerudungan lagi di dalam. Datang turun dari
  mobil masih 'seragam' lengkap, terus masuk kamar ganti,
  keluar dengan baju pesta. Tidak lagi abaya, malah "U can C"
  mayoritas. Kosmetik dan dandanan menor. Kalau perlu rambut
  blonde bak Madonna. Musiknya "hot" lagi, irama padang pasir,
  mengaluni tarian eksotis. Istri saya cuma "minggir" saja gabung
  dengan ibu-ibu senior. Ibu-ibu ini nggak cuma ngrumpi dan
  ngemil, tapi observasi gadis-gadis yang berdansa-dansi dan
  nantinya menyalurkan informasi penting untuk para perjaka :-)

  Satu hal yang rada ketinggalan dibanding di Indonesia, adalah
  tidak adanya panitia seksi panggil-memanggil. Terpaksa deh
  tunggu-tungguan. Dan rata-rata hadirin mengikuti acara bebas
  sampai akhir waktu.

  Di salah satu walimah di Pasar Minggu, pernah dulu saya
  memakai jasa seksi panggil-memanggil ini sampai 4-5 kali.
  Maklum bawa bayi, janjiannya saya makan dulu, selesai makan
  saya panggil istri, bayi diambil alih, habis itu istri selesai makan
  kembali bayi dioper. Begitu juga waktu mau salat. Habis
  pembatasnya tinggi banget, nggak bisa sekedar
  melambai-lambai

  Teringat dulu tahun 70-an di Jawat Timur, belum umum resepsi
  di gedung, biasanya walimah diadakan di rumah. Otomatis
  tanpa dikomando panitia, ibu-ibu masuk ruangan dalam, dan
  bapak-bapak di bawah tenda. Kalau ada perlu, nggak perlu
  lewat mikropon, cukup minta tolong hadirin lain untuk
  memanggilkan. Maklum semua hadirin saling kenal akrab,
  bukan sekedar lantaran koneksi bisnis. Juga tidak pernah dilihat
  ada yang diusir-usir 'satpam' kalau ada laki-laki dekat-dekat
  ruang wanita.

  salam hangat,

  DWS


   

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke