http://www.rahima.or.id/SR/21-07/Refleksi.htm

Mari Menggali Lebih dalam Titah Ilahi...
Oleh Leli Nurohmah


Berupaya menjadi pendengar yang baik saat mendengar tuturan derita
perempuan yang diduakan dalam perkawinannya bukan satu dua kali bagi
saya. Sebut saja Ibu Sri yang semenjak tahu suaminya telah
menduakannya dengan perempuan yang sangat dia kenal selama dua bulan
lamanya ia menolak untuk melakukan sholat lima waktu, bahkan membaca
al-Qur'an.

Contoh lain dialami oleh Ibu Ati. Sejak mengetahui suaminya menikah
lagi pribadi Ibu Ati yang semula ceria tiba-tiba menjadi pemurung,
penyendiri bahkan mengalami stres yang luar biasa. Masih banyak lagi
cerita yang terekam dalam ingatan saya. Cerita-cerita itu mengalir
bersama air mata, menguak derita yang menyesakkan dada para perempuan
yang terluka. Yang deritanya mungkin saja tidak mendapat cukup empati
oleh masyarakat. Karena perempuan yang menolak poligami akan dianggap
sebagai perempuan yang tak layak mendapatkan surga, atau pembangkang
ajaran agama. Seolah derita yang mereka alami terkubur bersama waktu
yang tak berpihak pada mereka dan juga anak-anak mereka.

Dan ironisnya, seringkali kita menutup mata dengan apa yang diderita
perempuan dan anak-anak yang menjalani atau terjebak dalam sistem ini.
Sebuah sistem perkawinan yang telah mendewakan hasrat seksualitas
laki-laki dan mengebiri sebuah sisi kehidupan lain, yaitu kepercayaan,
kesetiaan, pengorbanan sang istri yang dikhianati. Sayangnya hal ini
seringkali di bumbui dengan ayat-ayat suci dan jaminan surga di
akhirat nanti, untuk akhirnya menundukkan kekecewaan sang istri.

Saya kira sudah saatnya kita kembali mengkaji pembacaan kita terhadap
ayat-ayat Illahi dan juga pesan Nabi dengan kaca mata yang lebih
jernih. Kaca mata keberpihakan kepada kaum yang dilemahkan yang
dipercaya sebagai ciri agama ini.

Dan pesan ini terungkap jelas dalam sikap Rasul ketika beliau menolak
permintaan menantunya Ali RA saat hendak menduakan putri tercintanya.
Beliau tahu hal itu akan sangat melukai kemanusiaan putri yang
dikasihinya.

Sesungguhnya dalam kaidah perkawinan Islam, ada tuntutan akan
mu'asyarah bi al-ma'ruf (memperlakukan satu sama lain dengan baik).
Perkawinan bermaksud untuk membuahkan kebaikan bagi semua pihak, baik
istri maupun suami. Nampaknya hal ini akan sangat jauh arang dari api
dalam sebuah perkawinan poligami. Di dalamnya sangat memungkinkan
adanya ketidakseimbangan dalam sisi kebaikan dan keuntungan. Lazimnya
laki-laki lebih banyak diuntungkan dengan memiliki banyak istri
sementara istri harus berjuang keras sendiri memenuhi kehidupan
ekonomi dan membiayai kebutuhan sendiri. Selain itu, kebutuhan dan hak
untuk mendapatkan cinta dan kasih sayang (mawadah wa rahmah) dalam
keluarga khususnya untuk anak-anak sangat memungkinkan terjadinya
ketidak seimbangan.

Bahkan tak jarang fenomena ini menimbulkan apa yang oleh Faruk (2000)
disebutnya sebagai "women womeni lupus" sebuah fenomena untuk
menunjukkan permusuhan di antara para istri dalam perkawinan poligami.
Ia mengatakan pertarungan yang terjadi sesungguhnya adalah pertarungan
untuk mendapatkan perhatian dari suaminya.

Nampaklah fenomena berkawin lebih dari satu istri ini tidak hanya
telah merobek-merobek perempuan dari sisi sosial, ekonomi, mental,
spiritual juga seksual. Padahal hati manusia diciptakan sama,
sama-sama terluka bila dikhianati oleh orang yang dicintai.

Sebagai bagian dari masyarakat muslim yang selalu dituntut untuk
membaca dan menyikapi realitas sosial secara arif, mari menggali dan
mendalami hakikat dari pesan Islami. Jangan kedepankan hawa nafsu
hanya untuk memenuhi hasrat birahi tapi untuk menjadikan Islam ini
benar-benar sebagai rahmatan lil alamin. Bagi siapa gerangan? Tentu
untuk semua makhluk cipataan ilahi, laki-laki dan perempuan. Bukankah
itu yang dinamakan arti berserah diri atau berislam yang kaffah?.
Wallahu a'lam bishowab. ]

Kirim email ke