assalamu'alaykum mba Aisha dan member WM semuanya... nimbrung boleh yaa, ehm, jaman sekarang kok masih bicara buku dibungkus plastik. Bukannya yg lagi in kan global warming-lah, environment friendly. Plastik jelas2 barang yg udah harus dimuseumkan atau paling nggak diminimaliskan penggunaannya. Hla buku2 yg ada di toko buku untuk dijual tuh seharusnya engga usah pake sampul/bungkus. Kalau takut pengunjung toko buku hanya baca buku engga membeli kan si pemilik toko bisa ngasih tahu, boleh baca sinopsisnya tapi engga boleh dibuka gitu loh. kalau emang ada orang yg meyamakan wanita dengan buku; wanita berjilbab adalah seperti buku yg dibungkus, wanita yg gak berjilbab adalah seperti buku yg engga dibungkus, ya kebangetan itu:)). Wanita kan makhluk hidup yg punya daya untuk melindungi diri, engga seperti buku. Walaupun engga pakai jilbab bukan berarti wanita mudah diperdaya laki2, tergantung pribadinya ajalah. enak ajah mbandingin wanita dg buku!!! salam, kayung
--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "Aisha" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > Kok bisa wanita yang makhluk hidup disamakan dengan buku yang bukan makhluk hidup? Apalagi ini jika dikaitkan dengan "bungkus", bungkus buku itu plastik dan bungkus wanita itu jilbab? > > Pada umumnya di toko-toko buku besar, secara umum sekarang buku sudah memakai plastik bening untuk pembungkusnya, tetapi untuk menarik pembeli dari setiap jenis buku ada buku yang SENGAJA dibuka pembungkusnya supaya calon pembeli bisa membuka dan mengamati isi buku itu dan tidak sekedar membaca judul buku dan tulisan di sampul belakangnya saja. Dengan lebih mengetahui isi buku itu, maka jika memang buku itu bagus, diharapkan calon pembeli jadi pembeli buku itu. Sebaliknya, jika semua buku dibungkus, ada kemungkinan buku itu tidak terlalu laku karena calon pembeli tidak begitu tertarik hanya dengan melihat sampulnya saja, bisa dimengerti karena pada umumnya gaji orang Indonesia itu hanya untuk kebutuhan primer dan harga buku termasuk mahal disamping masih banyak orang yang tidak berhobi membaca, jadi beli tidaknya buku bagi seseorang secara umum tidak berkaitan dengan pembeli buku sejati atau tidak sejati. Orang memang disediakan buku yang dibuka bungkusnya untuk melihat isi buku (ada buku yang dikorbankan menjadi kusam atau rusak), dan ketika orang itu akan membeli, disediakan buku yang masih terbungkus plastik. > > Jadi saya tetap masih tidak mengerti, kenapa wanita disamakan dengan buku? Apalagi menyamakan laki-laki yang akan menikahi seorang wanita itu ibarat orang yang mau membeli buku, memangnya wanita itu dibeli...:) > > salam > Aisha > ------------- > From : Satriyo > --- In [EMAIL PROTECTED], rediyans <rediyan.setiawan@> wrote: > 26 Okt 07 05:02 WIB > > Oleh Meralda Nindyasti > > " Wanita itu ibarat buku yang dijual di toko buku. " Kata Ukhti Liana, mentor rohaniku ketika SMA. > > Ia melanjutkan ceritanya "Begini asosiasinya.. di suatu toko buku, banyak pengunjung yang datang untuk melihat-lihat buku. Tiap pengunjung memiliki kesukaan yang berbeda-beda. Karena itulah para pengunjung tersebar merata di seluruh sudut ruangan toko buku. Ia akan tertarik untuk membeli buku apabila ia rasa buku itu bagus, sekalipun ia hanya membaca sinopsis ataupun referensi buku tersebut. Bagi pengunjung yang berjiwa pembeli sejati, maka buku tersebut akan ia beli. Tentu ia memilih buku yang bersampul, karena masih baru dan terjaga. Transaksi di kasirpun segera terjadi. " > > "iya, terus kak..?" kataku dan teman-teman, dibuat penasaran olehnya. > > "Nah, bagi pengunjung yang tidak berjiwa pembeli sejati, maka buku yang ia rasa menarik, bukannya ia beli, justru ia mencari buku dengan judul sama tapi yang tidak bersampul. Kenapa? Kerena untuk ia dibaca saat itu juga. Akibatnya, buku itu ada yang terlipat, kusam, ternoda oleh coretan, sobek, baik sedikit ataupun banyak. Bisa jadi buku yang tidak > tersampul itu dibaca tidak oleh seorang saja. Tapi mungkin berkali- kali, dengan pengunjung yang berbeda tetapi berjiwa sama, yaitu bukan pembeli sejati alias pengunjung iseng yang tidak bertanggung jawab. Lama kelamaan, kasianlah buku itu, makin kusam hingga banyak yang enggan untuk membelinya" Cerita ukhti Liana. > > "Wanita itu ibarat buku. Jika ia tersampul dengan jilbab, maka itu adalah ikhtiar untuk menjaga akhlaknya. Lebih-lebih kalau jilbab itu tak hanya untuk tampilannya saja, tapi juga menjilbabkan hati.. Subhanallah..! > > Pengunjung yang membeli adalah ibarat suami, laki-laki yang telah Allah siapkan untuk mendampinginya menggenapkan ?dienNya. Dengan gagah berani dan tanggung jawab yang tinggi, ia bersedia membeli buku itu dengan transaksi di kasir yang diibaratkan pernikahan. Bedanya, Pengunjung yang iseng, yang tidak berniat membeli, ibarat laki-laki yang kalau zaman sekarang bisa dikatakan suka pacaran. Menguak-nguak kepribadian dan kehidupan sang wanita hingga terkadang membuatnya tersakiti, merintih dengan tangisan, hingga yang paling fatal adalah ternodai dengan free-sex. Padahal tidak semua toko buku berani menjual buku-bukunya dengan fasilitas buku tersampul. Maka, tentulah toko buku itu adalah toko buku pilihan. Ia ibarat lingkungan, yang jika lingkungan itu baik maka baik pula apa-apa yang ada didalamnya. " kata ukhti Liana. > ................. > ................ > > > [Non-text portions of this message have been removed] >