Nimbrung2 :

Begini pak Satriyo, apapun namanya tamsil perempuan disamakan dengan buku
itu jelas2 tak nyambung. 
Itu cuma sekedar asal ngomong. Buku yg di bungkus plastik pulak?
Memangnya setiap buku selalu di bungkus? Kalo belanja buku di pameran, di 
pelataran masjid
kala berlangsung salat jum'at maka lebih banyak ditemukan buku yg 'telanjang'.

Saya kalo membeli buku, selalu kemudian membukanya langsung di hadapan kasir.
Kadang2 dengan  dibungkus itu 'menipu' atau tidak terlihat ternyata cetakannya 
jelek, ada yg terlipat dll.
Maka jika ternyata terjadi kerusakan, buku itu bisa di tukar.
Jadi mengumpamakan perempuan berjilbab= buku yg masih dibungkus plastik kok 
nggak cucok :-)
Juga hati2, kalo beli2 buku yg dijajakan di lampu merah. Ada kamus Inggris - 
Indonesia, novel2 yg laris
manis.  Harganya murah, dan dibungkus rapat2 dengan plastik. Ketika sampai 
rumah dan buka, 
pasti banyak yg gak lengkap; halaman yg loncat2, ada ada beberapa yg hilang.
Karena buku bersampul plastik dan murah yg dijajakan itu hasil bajakan atau 
mungkin buku2 apkiran, salah cetak.
Senangkah kita membelinya? Itu namanya tertipu.

Jika tamsil sastera zaman dulu kala, itu adalah "padanan" : 
'laksana/bak/bagaikan'.
Misal : alisnya bak semut beriring [maksudnya : bentuk alisnya seperti semut yg 
beriringan]
Bibirnya bak delima merekah [ maksudnya warna bibirnya seperti delima yg sudah 
masak betul]
Mukanya seperti bulan purnama [ maksudnya bulat dan cerah; ini bawa hoki kalo 
kepercayaan China, 
tapi tidak terlalu indah bagi orang Indonesia, yg bagus adalah bulat telur]
Rambutnya seperti mayang [bunga kelapa] terurai.
Pipi [ bentuk]nya bak pauh [mangga] dilayang
Rona pipinya bak bunga mawar  [ humaira?] 
Giginya bak biji ketimun [ putih dan kecil2]
:-)
Jadi kalo peremuan ibarat buku; apanya? bentuknya kah ; wah ya menakutkan 
Buku dimana-manapun kan bentuknya persegi, apa mau kayak spongebob?
:-)

Salam
l.meilany




  ----- Original Message ----- 
  From: lasykar5 
  To: wanita-muslimah@yahoogroups.com 
  Sent: Monday, October 29, 2007 1:07 PM
  Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: Fwd: Aku Malu Menjadi Wanita


  wah kok sesama perempuan bisa ga koor ya, padahal yang saya tangkap justru
  Meralda Nindyasti bernada positif untuk mengambil tamsil bahwa perempuan itu
  bak buku.
  entah ya ko bisa ada 'rasa' negatif soal ini. padahal konotasi buku bagi
  saya sangat positif, minimal netral. lain jika diteruskan dengan kata
  sifat/penjelas misal buku+stensil, buku+porno, misalnya, baru akan ada
  kejelasan muatan negatif di sana. apa ada benda lain yang bisa digunakan
  sebagai tamsil dalam konteks yang dibicarakan oleh Meralda Nindyasti ini?
  monggo sumbang sarannya ... kan jadi enak dan tidak hanya berhenti sampai
  menolak tanpa alternatif ...
  yang justru mengherankan, apa tamsil semacam "wajahmu bak rembulan", "bak
  pinang dibelah dua", "pipinya/bibirnya bak mawar merekah", "tubuhnya indah
  bak ..." dst apakah maka jadi salah karena membandingkan manusia yang
  makhluk hidup dengan benda mati?
  coba dong bagaimana perbandingan yang pas itu antara manusia dan makhluk
  hidup lainnya, terutama untuk konteks Meralda Nindyasti ini ...
  eh, btw, bagian mana ya dari tulisan Meralda Nindyasti yang menyatakan bahwa
  bungkus buku itu plastik? dan apa ada "jaman sekarang" bungkus buku yang
  environment-friendly? ko selama ini saya tidak melihat ya ... atau bukan
  toko buku di indonesia ini?
  sptnya jarang ke toko buku ya jadi keluar saran ya aneh buat bungkus buku,
  malah menyarankan tidak usah dibungkus segala. wah buat milleu yang memang
  sudah beradab mungkin tdk perlu dibungkus. masalahnya yang saya amati budaya
  bungkus buku atau print materials lainnya agar tidak rusak ketika dipajang
  itu ya dari negeri2 beradab dan maju di barat itu ...! kan konon negeri ini
  paling nomor satu masalah membeo yang dari barat... [walau jauh lebih dulu
  "membeo" tauhid dan akhlak Rasul]...!
  ;-]
  wah jadi OOT ...
  kembali ke ... laptop!

  //satriyo

  On 10/28/07, kayung <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
  >
  > .
  >
  > assalamu'alaykum mba Aisha dan member WM semuanya...
  > nimbrung boleh yaa,
  > ehm, jaman sekarang kok masih bicara buku dibungkus plastik. Bukannya
  > yg lagi in kan global warming-lah, environment friendly. Plastik
  > jelas2 barang yg udah harus dimuseumkan atau paling nggak
  > diminimaliskan penggunaannya. Hla buku2 yg ada di toko buku untuk
  > dijual tuh seharusnya engga usah pake sampul/bungkus. Kalau takut
  > pengunjung toko buku hanya baca buku engga membeli kan si pemilik
  > toko bisa ngasih tahu, boleh baca sinopsisnya tapi engga boleh dibuka
  > gitu loh. kalau emang ada orang yg meyamakan wanita dengan buku;
  > wanita berjilbab adalah seperti buku yg dibungkus, wanita yg gak
  > berjilbab adalah seperti buku yg engga dibungkus, ya kebangetan
  > itu:)). Wanita kan makhluk hidup yg punya daya untuk melindungi diri,
  > engga seperti buku. Walaupun engga pakai jilbab bukan berarti wanita
  > mudah diperdaya laki2, tergantung pribadinya ajalah. enak ajah
  > mbandingin wanita dg buku!!!
  > salam,
  > kayung
  >
  >
  > --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com <wanita-muslimah%40yahoogroups.com>,
  > "Aisha"
  > <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
  > >
  > > Kok bisa wanita yang makhluk hidup disamakan dengan buku yang bukan
  > makhluk hidup? Apalagi ini jika dikaitkan dengan "bungkus", bungkus
  > buku itu plastik dan bungkus wanita itu jilbab?
  > >
  > > Pada umumnya di toko-toko buku besar, secara umum sekarang buku
  > sudah memakai plastik bening untuk pembungkusnya, tetapi untuk
  > menarik pembeli dari setiap jenis buku ada buku yang SENGAJA dibuka
  > pembungkusnya supaya calon pembeli bisa membuka dan mengamati isi
  > buku itu dan tidak sekedar membaca judul buku dan tulisan di sampul
  > belakangnya saja. Dengan lebih mengetahui isi buku itu, maka jika
  > memang buku itu bagus, diharapkan calon pembeli jadi pembeli buku
  > itu. Sebaliknya, jika semua buku dibungkus, ada kemungkinan buku itu
  > tidak terlalu laku karena calon pembeli tidak begitu tertarik hanya
  > dengan melihat sampulnya saja, bisa dimengerti karena pada umumnya
  > gaji orang Indonesia itu hanya untuk kebutuhan primer dan harga buku
  > termasuk mahal disamping masih banyak orang yang tidak berhobi
  > membaca, jadi beli tidaknya buku bagi seseorang secara umum tidak
  > berkaitan dengan pembeli buku sejati atau tidak sejati. Orang memang
  > disediakan buku yang dibuka bungkusnya untuk melihat isi buku (ada
  > buku yang dikorbankan menjadi kusam atau rusak), dan ketika orang itu
  > akan membeli, disediakan buku yang masih terbungkus plastik.
  > >
  > > Jadi saya tetap masih tidak mengerti, kenapa wanita disamakan
  > dengan buku? Apalagi menyamakan laki-laki yang akan menikahi seorang
  > wanita itu ibarat orang yang mau membeli buku, memangnya wanita itu
  > dibeli...:)
  > >
  > > salam
  > > Aisha
  > > -------------
  > > From : Satriyo
  > > --- In [EMAIL PROTECTED], rediyans <rediyan.setiawan@> wrote:
  > > 26 Okt 07 05:02 WIB
  > >
  > > Oleh Meralda Nindyasti
  > >
  > > " Wanita itu ibarat buku yang dijual di toko buku. " Kata Ukhti
  > Liana, mentor rohaniku ketika SMA.
  > >
  > > Ia melanjutkan ceritanya "Begini asosiasinya.. di suatu toko buku,
  > banyak pengunjung yang datang untuk melihat-lihat buku. Tiap
  > pengunjung memiliki kesukaan yang berbeda-beda. Karena itulah para
  > pengunjung tersebar merata di seluruh sudut ruangan toko buku. Ia
  > akan tertarik untuk membeli buku apabila ia rasa buku itu bagus,
  > sekalipun ia hanya membaca sinopsis ataupun referensi buku tersebut.
  > Bagi pengunjung yang berjiwa pembeli sejati, maka buku tersebut akan
  > ia beli. Tentu ia memilih buku yang bersampul, karena masih baru dan
  > terjaga. Transaksi di kasirpun segera terjadi. "
  > >
  > > "iya, terus kak..?" kataku dan teman-teman, dibuat penasaran
  > olehnya.
  > >
  > > "Nah, bagi pengunjung yang tidak berjiwa pembeli sejati, maka buku
  > yang ia rasa menarik, bukannya ia beli, justru ia mencari buku dengan
  > judul sama tapi yang tidak bersampul. Kenapa? Kerena untuk ia dibaca
  > saat itu juga. Akibatnya, buku itu ada yang terlipat, kusam, ternoda
  > oleh coretan, sobek, baik sedikit ataupun banyak. Bisa jadi buku yang
  > tidak
  > > tersampul itu dibaca tidak oleh seorang saja. Tapi mungkin berkali-
  > kali, dengan pengunjung yang berbeda tetapi berjiwa sama, yaitu bukan
  > pembeli sejati alias pengunjung iseng yang tidak bertanggung jawab.
  > Lama kelamaan, kasianlah buku itu, makin kusam hingga banyak yang
  > enggan untuk membelinya" Cerita ukhti Liana.
  > >
  > > "Wanita itu ibarat buku. Jika ia tersampul dengan jilbab, maka itu
  > adalah ikhtiar untuk menjaga akhlaknya. Lebih-lebih kalau jilbab itu
  > tak hanya untuk tampilannya saja, tapi juga menjilbabkan hati..
  > Subhanallah..!
  > >
  > > Pengunjung yang membeli adalah ibarat suami, laki-laki yang telah
  > Allah siapkan untuk mendampinginya menggenapkan ?dienNya. Dengan
  > gagah berani dan tanggung jawab yang tinggi, ia bersedia membeli buku
  > itu dengan transaksi di kasir yang diibaratkan pernikahan. Bedanya,
  > Pengunjung yang iseng, yang tidak berniat membeli, ibarat laki-laki
  > yang kalau zaman sekarang bisa dikatakan suka pacaran. Menguak-nguak
  > kepribadian dan kehidupan sang wanita hingga terkadang membuatnya
  > tersakiti, merintih dengan tangisan, hingga yang paling fatal adalah
  > ternodai dengan free-sex. Padahal tidak semua toko buku berani
  > menjual buku-bukunya dengan fasilitas buku tersampul. Maka, tentulah
  > toko buku itu adalah toko buku pilihan. Ia ibarat lingkungan, yang
  > jika lingkungan itu baik maka baik pula apa-apa yang ada
  > didalamnya. " kata ukhti Liana.
  > > .................
  > > ................
  > >
  > >
  > > [Non-text portions of this message have been removed]
  > >
  >
  >
  -- 
  Sesungguhnya, hanya dengan mengingat Allah, hati akan tenang

  [Non-text portions of this message have been removed]



   

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke