Refleksi: Di Jabar terletak ibukota NKRI. Kalau di Jabar terdapat 400 puskemas  
yang tidak memiliki dokter,  maka pertanyaannya bagaimana dengan keadaan di 
propinsi-propinsi  nan jauh di mata dan yang bukan tempat ibukota negara?

http://www.suarapembaruan.com/News/2007/11/09/Nusantar/nus01.htm


SUARA PEMBARUAN DAILY 
400 Puskesmas di Jabar Tak Punya Dokter
[BANDUNG] Sekitar 400 dari 1.004 Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) di Jawa 
Barat (Jabar) tidak memiliki dokter karena tidak ada alokasi anggaran dari 
pemerintah daerah tingkat provinsi, kabupaten/kota. Padahal peningkatan 
kesehatan masyarakat itu merupakan hak masyarakat dan menjadi tanggung jawab 
pemerintah. 

"Penyebab lain karena pendistribusian dokter-dokter yang tidak merata ke 
seluruh wilayah," kata Kepala Dinas Kesehatan Jabar, Hanny Rono Sulistyo di 
Bandung, Kamis (8/11). 

Selain itu, di Jabar ada sekitar 185 pos kesehatan pesantren (poskestren) yang 
tidak memiliki dokter umum. Tadinya poskestren itu diharapkan dapat 
memberdayakan dirinya secara mandiri. "Saya sedang mendata, tapi kelihatanya 
nyaris gulung tikar semua karena tidak ada dokter," katanya. 

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Bekasi, Ari Muharman mengaku di Bekasi yang 
memiliki 37 puskesmas dan satu rumah sakit daerah masih kekurangan dokter umum 
serta spesialis. Masih ada lima puskesmas yang sama sekali tidak memiliki 
dokter. 

"Kita sudah mengupayakan ke Departemen Kesehatan, Fakultas Kedokteran 
Universitas Indonesia (UI), dan sekarang ke Universitas Padjadjaran (Unpad)," 
katanya. 

Pelayanan setiap puskesmas, memiliki rasio satu berbanding 30.000. Masalahnya, 
keberadaan dokter itu hanya ada di 25 puskesmas saja. Sedangkan jumlah penduduk 
di sana mencapai sedikitnya dua juta. Dia mencontohkan puskesmas yang tidak 
memiliki dokter seperti di daerah Cibitu dan Lemah Abang. 

Anggota Komisi D Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Bandung, 
Dadang Rusdiana mengusulkan pemerintah pusat untuk memberikan kelonggaran 
kepada pemerintah daerah dalam mengangkat tenaga honorer menjadi Pegawai Negeri 
Sipil (PNS). 

Selama ini, aturan tersebut masih diatur kewenangannya dalam Peraturan 
Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi PNS. 
Ada pembatasan pemerintah daerah tidak boleh mengangkat honorer daerah. 
Peraturan ini membuat, bupati atau direktur rumah sakit tidak berani mengangkat 
tenaga honor. Akibatnya, banyak rumah sakit dan puskesmas yang terganggu 
kinerjanya, katanya. 

Hanny memberikan dua alternatif. Untuk jangka pendek, pihaknya akan mengajak 
seluruh fakultas kedokteran di Jabar menyalurkan dokter-dokternya ke daerah. 
Untuk jangka panjang, menjalin kerja sama untuk memberikan beasiswa bagi 
masyarakat yang berada di daerah pedesaan. 

"Dicari yang berminat menjadi dokter, lalu dites. Apabila lolos, kita beri 
beasiswa untuk kuliah dan nantinya ditempatkan di daerahnya," katanya. 

Dekan Fakultas Kedokteran Unpad, Eri Surahman mengaku cukup terkejut dengan 
fakta tidak adanya dokter di sekitar 400 puskesmas di Jabar. "Kami siap 
membantu untuk memenuhi kebutuhan itu," tegasnya. 


Nias 

Sementara itu, Kabupaten Nias dan Nias Selatan, Provinsi Sumatera Utara, 
mengalami kekurangan dokter dan paramedis pascabencana alam di kawasan itu. Di 
pulau berpenduduk 720.000 jiwa itu sampai kini hanya ada dua dokter spesialis, 
yaitu spesialis anak dan penyakit dalam. 

"Padahal, Nias pascabencana membutuhkan dokter lebih banyak untuk memulihkan 
kondisi kesehatan masyarakat," kata Deputi Bidang Pendidikan, Kesehatan dan 
Pemberdayaan Perempuan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias, Cut 
Cayarani Bitai, di Medan, Jumat (9/11). 

Cayarani mengatakan, sampai tahun ini BRR membangun fasilitas kesehatan berupa 
16 puskemas, 12 puskemas pembantu, 9 puskesmas plus, satu poliklinik desa, 13 
puskesmas rawat jalan, dan 2 rumah sakit. Jumlah itu masih 40 persen dari 
kebutuhan. Idealnya, satu puskesmas memiliki dua dokter dan 40 paramedis. 

"Untuk meningkatkan jumlah dokter di Nias, BRR menyediakan beasiswa kepada 
lulusan terbaik SMA untuk belajar menjadi dokter dengan ikatan kontrak 20 
tahun. Tahun lalu, 13 dokter mendapat beasiswa untuk pendidikan dokter 
spesialis, dan 16 lulusan SMA untuk pendidikan dokter umum," ujarnya. 
[153/W-12] 


Last modified: 9/11/07 

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke