Dari komen mbak Kucing Kembar di blog mbak dewinova. Kebetulan mbak Dewi protes, dengan kondisi di Aceh, dimana wanita berjilbab pun masih kena tangkapan polisi wilayatul hisbah hanya karena mereka memakai celana jeans.
Mbak Devi, numpang dua fotonya saya relay di sini yah Numpang komentar: kebetulan saya pernah ngobrol dengan salah satu ulama muda di Aceh tahun lalu. Yang perlu diketahui, ulama di Aceh tidaklah monolitik. Banyak yang tidak setuju soal skema wilayatul hisbah dan tindak-tanduk para polisinya. Tapi ada rasa sungkan untuk "menolak" implementasi syariah serta mengambil posisi konfrontasi setelah "pertempuran" bertahun-tahun. (Apalagi, menurut ulama ini, ulama-ulama senior di Aceh kebanyakan sufi yang enggan "turun" ke dunia politik). Ada "disconnect" antara rakyat Aceh yang menurut ulama muda ini sebagian besar adalah pengikut mazhab Syafii dengan "manhaj" wilayatul hisbah yang polanya ditiru dari Saudi (Wahhabi). Yang lebih serem lagi, yang menentukan pasal- pasal dari aturan wilayatul hisbah itu (kata ulama ini) BUKANLAH ulama dengan pengetahuan fiqh yang mumpuni. Tapi DPRD. Bagaimana bisa aturan syariah diputuskan oleh DPRD? Ya bisa, kalau di Aceh. Saya jadi prihatin sekali mendengar cerita ini. Pelajaran yang saya petik adalah: ada "cleavage" alias retakan antara Islam sebagai nilai hidup dan Islam sebagai komoditas politik di Aceh. Juga, perlu sangat kritis menyikapi heterogenitas para ulama di Aceh. Komen papabonbon, untuk memancing suasana yang lebih keruh: Kan ulama aceh juga politisi, misalnya dari pks gelarnya saja Lc. lagipula kalau konsepnya resionalisasi syariat, yah memang dprd yg memutuskan. Ini kan memang masalah aceh, kok bisa bisanya ada negara dalam negara. Pun kalau status daerah istimewa memang ada, emang secara hukum kan lex specialis derogat lex generalis. Jadi posisi perda di NAD itu dianggap sebagai hukum khusus yg sifatnya mengatur secara lebih khusus bagi rakyat aceh. dengan demikian posisi UU jadi terlangkahi. Pertanyaannya, emangnya bisa perda yg secara kedudukannya lebih rendah dibanding UU malah memiliki posisi lex specialis ?. Harusnya sih secara konsep kagak bisa, tapi itulah yg terjadi di aceh. Sama kayak hukum adat, gak mungkin hukum adat diposisikan jadi UU. tapi toh, secara konsep, seharusnya hukum adat mendapat tempat dalam juridis indonesia. Coba baca Bumi Manusia nya Pramoedya Ananta Toer, di sana doi membenturkan pernikahan secara islam antara Minke dengan Annelies vs Hukum bagi orang Eropa yang tidak mengakui pernikahan mereka, apalagi Annelies masih di bawah umur.