sori ada yg ketinggalan.

Obrolan politiknya sih bisa disandarkan pada pendapatnya An Nuim.

Question: What does sharia mean and where does it actually lie in 
the Islamic legal system?

Answer: Sharia is the normative system of Islam, which is based on 
the Koran and Sunnah (the Prophet Muhammad's traditions). But it 
must be the product of human interpretation, human reason and human 
experience. So when we say that sharia is divine it is misleading.  

Since sharia is the product of human interpretation, any 
understanding of it is not divine, not eternal and not binding. It's 
Muslims who must understand sharia for themselves in their own 
context. Your cannot import any (sharia) interpretation from the 
Middle East, or from historical experience. The history is 
interesting to understand as comparative study, but it's not binding.


That's why the subtitle of the book is Negotiating the Future of 
Sharia. It means that the future of sharia in every society is the 
product of negotiation. It is not given — no choice, no 
interpretation and no contextualization.

Kalau ilustrasi imajinernya, coba baca Bumi Manusia nya Pramoedya 
Ananta Toer, di sana doi membenturkan pernikahan secara islam antara 
Minke dengan Annelies vs Hukum bagi orang Eropa yang tidak mengakui 
pernikahan mereka, apalagi Annelies masih di bawah umur.





--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "masarcon" <[EMAIL PROTECTED]> 
wrote:
>
> Dari komen mbak Kucing Kembar di blog mbak dewinova.  Kebetulan 
mbak 
> Dewi protes, dengan kondisi di Aceh, dimana wanita berjilbab pun 
> masih kena tangkapan polisi wilayatul hisbah hanya karena mereka 
> memakai celana jeans.
> 
> Mbak Devi, numpang dua fotonya saya relay di sini yah …
> 
> Numpang komentar: kebetulan saya pernah ngobrol dengan salah satu 
> ulama muda di Aceh tahun lalu. Yang perlu diketahui, ulama di Aceh 
> tidaklah monolitik. Banyak yang tidak setuju soal skema wilayatul 
> hisbah dan tindak-tanduk para polisinya. Tapi ada rasa sungkan 
> untuk "menolak" implementasi syariah serta mengambil posisi 
> konfrontasi setelah "pertempuran" bertahun-tahun. (Apalagi, 
menurut 
> ulama ini, ulama-ulama senior di Aceh kebanyakan sufi yang 
> enggan "turun" ke dunia politik). Ada "disconnect" antara rakyat 
> Aceh yang menurut ulama muda ini sebagian besar adalah pengikut 
> mazhab Syafii dengan "manhaj" wilayatul hisbah yang polanya ditiru 
> dari Saudi (Wahhabi). Yang lebih serem lagi, yang menentukan pasal-
> pasal dari aturan wilayatul hisbah itu (kata ulama ini) BUKANLAH 
> ulama dengan pengetahuan fiqh yang mumpuni. Tapi DPRD.
> 
> Bagaimana bisa aturan syariah diputuskan oleh DPRD?
> Ya bisa, kalau di Aceh.
> 
> Saya jadi prihatin sekali mendengar cerita ini. Pelajaran yang 
saya 
> petik adalah: ada "cleavage" alias retakan antara Islam sebagai 
> nilai hidup dan Islam sebagai komoditas politik di Aceh. Juga, 
perlu 
> sangat kritis menyikapi heterogenitas para ulama di Aceh.
> 
> Komen papabonbon, untuk memancing suasana yang lebih keruh:   
> 
> Kan ulama aceh juga politisi, misalnya dari pks gelarnya saja Lc.  
> lagipula kalau konsepnya resionalisasi syariat, yah memang dprd yg 
> memutuskan.  
> 
> Ini kan memang masalah aceh, kok bisa bisanya ada negara dalam 
> negara. Pun kalau status daerah istimewa memang ada, emang secara 
> hukum kan lex specialis derogat lex generalis.
> 
> Jadi posisi perda di NAD itu dianggap sebagai hukum khusus yg 
> sifatnya mengatur secara lebih khusus bagi rakyat aceh.  dengan 
> demikian posisi UU jadi terlangkahi.
> 
> Pertanyaannya, emangnya bisa perda yg secara kedudukannya lebih 
> rendah dibanding UU malah memiliki posisi lex specialis ?.  
Harusnya 
> sih secara konsep kagak bisa, tapi itulah yg terjadi di aceh.
> 
> Sama kayak hukum adat, gak mungkin hukum adat diposisikan jadi UU. 
> tapi toh, secara konsep, seharusnya hukum adat mendapat tempat 
dalam 
> juridis indonesia.
> 
> Coba baca Bumi Manusia nya Pramoedya Ananta Toer, di sana doi 
> membenturkan pernikahan secara islam antara Minke dengan Annelies 
vs 
> Hukum bagi orang Eropa yang tidak mengakui pernikahan mereka, 
> apalagi Annelies masih di bawah umur.
>


Kirim email ke