*Kolom IBRAHIM ISA*

*Jum'at, 07 Desember 2007*

*-------------------------*

*CERAMAH DUBES BELANDA Nikolas Van DAM *

*Di 'PESANTREN GONTOR'!*


Masalah hubungan Indonesia-Belanda, bagaimanapun bentuk dan 
perwudjudannya, apakah itu melalui saluran resmi, ataukah saluran 
organisasi kemasyarakatan, adalah salah satu topik yang selalu menarik 
dan tak pernah luput dari kepedulianku. Jangan salah faham pula, --- 
masalahnya, bukanlah disebabkan karena aku orang Indonesia yang 
berdomisili di negeri Belanda. Soalnya besar, --- dan banyak seginya. 
Bangsa kita, dalam hubungannya dengan bangsa dan negeri Belanda punya 
latar belakang sejarah yang begitu panjang. Hubungan itu sudah 
berlangsung ratusan tahun. Dengan catatan, bahwa selama tigaratus tahun 
lebih bangsa ini dikuasai dan dieksploitasi oleh bangsa Belanda. Entah 
berapa banyak literatur yang ditulis selama ini mengenai hubungan 
Indonesia-Belanda. Aku bisa pastikan masih akan banyak lagi literatur, 
berupa laporan resmi, hasil studi, hasil penelaahan, ataupun sekadar 
sebagai kesan perjalanan, tanggapan bahkan komentar biasa-biasa saja. 
Terhadap Belanda, orang-orang kita bukan saja tertarik pada kincir 
anginnya, keramik Delft Blue-nya, kijunya ataupun hasil-hasil produksi 
elelektronik merek Philips.


Bagi kita, setiap inisiatif, setiap langkah yang mempromosikan saling 
memahami dan saling menghormati, memperbaiki lebih lanjut komunikasi 
antara kedua negeri, Indonesia dan Belanda, terutama antara kedua 
rakyat, antara pelbagai organisasi dan kegiatan masyarakatnya, 
sepatutnya disambut, didukug dan dikembangkan. Sehubungan dengan maksud 
itulah, seyogianya disambut setiap langkah Kedutaan Besar Belanda di 
Jakarta, khususnya langkah Dubes Belanda Nikolas van Dam.


* * *


Perhatikan! --- Dari tahun ke tahun, seiring dengan membaiknya hubungan 
Indonesia-Belanda, semakin banyak mahasiswa dan postgraduates yang 
jauh-jauh datang dari Indonesia berkunjung ke negeri dingin ini, UNTUK 
STUDI, untuk BELAJAR. Suatu perkembangan yang tidak bisa tidak harus 
disambut dengan gembira dan lega. Karena kita tau bahwa kita bisa dan 
seyogianya harus belajar banyak dari Belanda, negeri dan bangsanya yang 
ulet.


Kita tau juga, bahwa banyaknya orang-orang Indonesia, yang menuntut ilmu 
di negeri Belanda, itu sebagian tidak kecil adalah kelanjutan wajar 
politik pemerintah Belanda yang positif terhadap negeri-negeri yang 
sedang berkembang, khususnya Indonesia. Cukup berragam seginya perhatian 
dan bantuan Belanda kepada negeri-negeri yang sedang berkembang, 
termasuk Indonesia.


* * *


Dikala negeri kita sudah mencapai kemerdekaan nasional, melalui 
perjuangan politik, maupun kemudian, lewat revolusi yang berdarah, suatu 
perang kemerdekaan yang makan waktu kurang lebih lima tahun, melawan 
kolonialisme Belanda, tokh masih banyaK terjadi lika-liku, jalan zig-zag 
yang ditempuh dalam hubungan dua negeri ini. Belum tercapai saling 
pengertian dan menghormati seperti yang diharapkan.


Banyak orang bertanya, khususnya generasi muda. Bagaimana mungkin? 
Bangsa dan negeri kecil, seperti negeri Belanda, mengapa sampai bisa 
menguasai Indonesia, negeri ribuan pulau dengan penduduk yang berlipat 
ganda lebih banyak dari Belanda, dan dalam waktu yang begitu lama? Atas 
pertanyaan tsb sudah banyak orang, banyak pakar dan cendekiawan berusaha 
menganalisis dan memberikan jawaban. Tapi, dari tahun ke tahun, 
pertanyaan serupa tokh diajukan lagi.


Kalau kita ikuti perkembangan dunia pendidikan dan pengajaran di negeri 
Belanda, tampak bahwa pertanyaan tsb menunjukkan bahwa, jawaban yang 
diberikan sebelumnya, atas pertanyaan mengapa Indonesia sampai bgitu 
lama terkungkung di bawah kolonialisme Belanda, belum memadai. Atau ada 
sebab lainnya, yaitu, sesuai dengan perkembangan bidang studi dan 
penelitian, ditemukan bahan-bahan baru, yang melengkapi usaha penelitian 
dan studi. Sehingga lahirlah, analisis dan kesimpulan yang lebih 
lengkap. Tercapai pula pengertian yang baru.


Segi lainnya, mengenai hal-hal tertentu, di kalangan Indonesia maupun 
Belanda, masih terdapat penilaian dan tanggapan yang sering bertolak 
belakang. Ambil contoh menyolok, tentang peranan VOC. Perdana Menteri 
Belanda, Peter Balkenende, yang tidak bisa dikatakan ia tidak tau 
sejarah Belanda, sejarah kolonialnya di Indonesia, --- belum lama masih 
menonjolkan peranan (positif) VOC dalam sebuah pidato resmi di Tweede 
Kamer Belanda. Maksud Balkendende tentu termasuk pengalaman 'positif' 
VOC di Indonesia. Kitab boleh géléng-géléng kepala, nyatanya PM Peter 
Balkenende menganggap VOC suatu kebanggaan Belanda!


Padahal bagi kita bangsa Indonesia, VOC itu adalah sumber malapetaka dan 
pengalaman keaiban dan kehinaan! Sumber penindasan dan penguasaan asing.


* * *


Tibalah ceritaku berkenaan dengan tokoh Dubes Belanda NIKOLAS VAN DAM.


Dr. Nikolas van Dam, adalah Dutabesar Kerajaan Belanda. Ia belum lama 
bertugas di Jakarta. Van Dam sejak 2005 mewakili pemerintahnya untuk 
Republik Indonesia dan Timor Leste. Mengapa pula aku perlu menulis 
tentang sang Dubes Belanda tsb? Meskipun sedikit banyak bersangkutan 
dengan situasi-dan-posisiku di Beladna. Tetapi itu bukan faktor yang 
menentukan, mengapa kutulis artikel ini.


Kutulis artikel ini, pertama-tama, karena dalam benakku timbul 
pertanyaan, 'ngapaian' Dubes Belanda ini berkunjung jauh-jauh ke sebuah 
pesantren di Ponorogo, Jawa Timur. Semua orang kan tau, pesantren Gontor 
itu, adalah sebuah balai pendidikan Islam? Ada urusan apa orang Belanda 
ke sana? Orang juga sudah bisa memastikan bahwa sang Dubes Belanda itu 
adalah seorang Nasrani, bukan Islam? Lalu? Terus terang, aku tak tau, 
apa sesungguhnya yang meyebabkan Van Dam bertamu ke pesantren Gontor 
itu. Tetapi kunjungan Van Dam tsb bagaimanapun seyogianya ditanggapi 
sebagai suatu pernyataan KEMAUAN BAIK, suatu GOOD WILL!


Dilihat dari segi maskud-baiknya sang Dubes, boleh dikatakan, maksud 
kunjungan itu adalah untuk mengenal lebih dekat, keadaan pendidikan di 
Indonesia, khususnya pesantren. Perhatikan! Pemerintah Belanda 
belakangan ini, memperbesar keterlibatannya, bantuannya, kepada 
Indonesia, termasuk di bidang pendidikan. Ini, bisa disaksikan dari 
meningkatnya jumlah mahasiswa Indonesia (termasuk yang sudah sarjana) 
yang menuntut ilmu ke negeri Belanda. Termasuk 'Islamic Studies'. 
Halmana menunjukkan dua hal.


Pertama, bahwa cendekiawan muda Indonesia yang lulusan perguruan tinggi 
Islam di Indonesia, tidak segan-segan untuk mengikuti kuiliah 'Islamic 
Studies' di negeri Belanda, sebuah negeri sekular yang mayoritas 
penduduknya beragama Nasrani.


Kedua, bahwa negeri Belanda sebagai sebuah negara sekular, memiliki 
cabang perguruan tinggi yang membuka kesempatan para mahasiswa Belanda 
dan asing untuk mengikuti 'Islamic Studies'. Dari kedua belah fihak, 
baik Indonesia, maupun Belanda, gejala tsb menunjukkan adanya semangat 
dan sikap TOLERAN dan SALING MENGHORMATI keyakinan masing-masing.


* * *


Ternyata, kunjungan Nikolas Van Dam tsb, bukan sebarang kunjungan. Yang 
ia lakukan di pesantren itu, ialah memberikan semacam ceramah. Dan 
ceramah tentang apa? Isinya, bagiku pasti, di satu segi -- menarik, 
penting. Segi lainnya : unik. Itulah sebabnya aku membuat tulisan kecil 
ini. Yang khusus menarik perhatian ialah ketika Nikolas van Dam bicara 
mengenai hubungan Indonesia-Belanda dengan suatu 'message, suatu 'pesan' 
yang tak biasa.


Kiranya ada baiknya sedikit lagi bicara soal Pesantren Gontor yang 
dikunjungi Nikolas van Dam. Nama resmi pesantren yang dikunjunginya di 
Ponorogo itu, adalah BALAI PENDIDIKAN PONDOK MODERN DARUSALAM GONTOR. 
Pesantren Gontor, dibangun pada tahun 1926. Oleh pendiri dan penopangnya 
Pondok Gontor dipromosikan sebagai pelopor modernisasi sistim pendidikan 
pesantren .


Intermezo!

Ketika aku bertugas dan berdomisili di Cairo dalam tahun-tahun 
1960-1966, kusaksikan bahwa perguruan tinggi Islam yang terkenal di 
dunia Arab, yaitu Universitas Al Azhar Cairo, yang sebelumnya lebih 
banyak menggeluti masalah agama Islam , budaya dan kesusasteraan Arab, 
oleh Presiden Gamal Abdul Nasser, dimodernisir sedemikian rupa sehingga 
tidak kalah dengan universitas umum yang ada di mancanegara. Dalam tahun 
1961, pemerintah Presiden Nasser, melakukan reorganisasi terhadap 
Universitas Al Azhar. Ditambahkan pada Universitas Al Azhar, fakultas 
kedokteran, teknik, pertanian dll. Juga didirikan fakultas perempuan 
Islam. Jasanya Gamal Abdul Nasser! Mungkin saja pesantren Gontor 
terinspirasi oleh modernisasi Universitas Al Azhar.


Tanpa penterjemahpun Dubes Belanda tsb akan dengan mudah berkomunikasi 
dengan tuan-rumahnya dan para siswa di pesantren Gontor. Karena Van Dam 
menguasai 5 bahasa asing selain bahasanya sendiri. Yaitu bahasa Inggris, 
Perancis, Jerman, Indonesia dan ARAB. Van Dam adalah seorang akhli 
sastra Arab. Ia belajar bahasa Arab dan Ilmu Politik & Sosial di 
Universitas Amsterdam dan tamat (cum laude) dalam tahun 1977. Jadi Van 
Dam ini adalah seorang ilmuwan yang jadi diplomat. Ia telah menulis 
sejumlah karya ilmiah mengenai Mesir, Syria, Turki dan sementara negeri 
Timur Tengah lainnya.


* * *


Ini dia ----- Yang paling menarik dari pendapat Nikolas Van Dam, yang ia 
tuangkan dalam sebuah artikel di Jakarta Post. Artikel tsb merupakan 
bagian dari ceramah di 'Balai Pendidikan Modern Islam Darusalam Gontor', 
pada tanggal 12 November 2007 yang diberikannya --- JANGAN KAGÉT, ya --- 
dalam BAHASA ARAB, Ditulisnya antara lain:

'Perancis dan Inggris, sebagaimana halnya bekas-bekas kekuasaan kolonial 
lainnya, umumnya dipersalahkan berhubung terpecah-belahnya dunia Arab 
menjadi beberapa negara yang berdiri sendiri. Tetapi tidak semua 
kekuasaan kolonial dituduh memecah-belah jajahan-jajahan mereka. Belanda 
dalam hal ini mungkin termasuk pengecualian itu. Demikian Van Dam.Untuk 
memperkuat argumentasinya, van Dam menambahkan sbb:


'Pada pertengahan tahun 1990-an, saya pernah diskusi dengan seorang 
politisi Syria yang berargumentasi bahwa kolonialisme Belanda di 
Indonesia, atau 'Hindia Belanda' seperti dikatakan waktu itu, mungkin 
merupakan suatu tipe-positif dari suatu 'kolonialisme yg mempersatukan', 
halmana bertentangan dengan macam 'kolonialisme yang memecah-belah'. 
Sekian dulu kutipan dari tulisan Nikolas Van Dam.


Begitu kubaca tulisan van Dam ini, aku tersenyum. Bagi kita bangsa 
Indonesia, kolonialisme Belanda, sama halnya dengan kolonialisme 
lainnya, politik yang mereka trapkan untuk menguasai jajahannya, yang 
sangat terkenal dan efektif adalah politik DEVIDE ET IMPERA! Pecah-belah 
dan kuasai!. Makanya perjuangan kita, para pemimpin nasional bangsa 
Indonesia, mengangkat semboyan BERASATU KITA TEGUH, BERCERAI KITA RUNTUH!.


* * *


Bukankah menarik dan unik apa yang dikemukakan oleh van Dam? Ia 
menyatakan (dengan mengutip politisi Syria), bahwa, kolonialisme Belanda 
atas Indonesia itu, (kemungkinan) merupakan TIPE KOLONIALISME YANG 
MEMPERSATUKAN Indonesia. Aku teringat salah seorang sahabat kami, orang 
Belanda, seorang chirurg (pensiunan. Istrinya adalah putri seorang 
CONTROLEUR di zaman Hindia Belanda. Tidak hanya satu kali, istrinya 
mempertanyakan pada kami: . . . . Tidakkah ada sedikitpun yang baik, 
yang ada gunanya bagi rakyat Indonesia, yang ditinggalkan Belanda pada 
bangsa Indonesia? Misalnya di bidang infra-struktur, kesehatan umum, 
pendidikan dan adminstrasi? Bukankah hal-hal itu dilakukan Belanda 
setelah dilaksanakannya 'Etische politiek' oleh Den Haag terhadap Hindia 
Belanda?


Kujawab:

Tentu saja, segala sesuatu, segala hal ihwal, mengandung lebih dari satu 
segi. Kekuasaan kolonial Belanda memang meninggalkan 'warisan' jaringan 
jalan-jalan raya dan kereta api di pulau Jawa dan Sumatera. Secara (amat 
terbatas) memberlakukan sistim kesehatan umum, mendirikan 
sekolah-sekolah, termasuk beberapa sekolah menengah. Bahkan mengadakan 
perguruan pendidikan tinggi, seperti di Jakarta, Bogor dan Bandung. 
Memang hal-hal tsb dilakukan oleh Belanda setelah dilaksanakannya apa 
yang terkenal dengan nama 'Etische politiek'. Diketahui bahwa 'Etische 
politiek' diberlakukan atas desakan kaum liberal Belanda di Den Haag. 
Tetapi kolonialisme Belanda juga meninggalkan 'bekas' negatif, a.l. 
Perang Aceh, Perang Imam Bonjol, Perang Diponegoro, 'Honqi Tochten' dan 
'cultuur stelsel' yang menimbulkan begitu banyak korban dan malapetaka 
terhadap rakyat Indonesia. Kaum liberal Belanda merasa 'rikuh' dan 
'malu', bahwa dalam waktu demikian panjangnya selama kekuasaan 
pemerintah kolonial Hindia Belanda, hanyalah keuntungan berjuta-juta 
gulden yang dikeduk dari Hindia Belanda, diboyong ke Belanda. Sedangkan 
di Indonesia, rakyat hidup sebagai sapi perahan belaka. Kaum liberal 
Belanda tsb merasa bahwa sudah tiba waktunya, harus dilakukan sesuatu 
untuk mengimbangi keadaan yang 'jomplang' ini. Dengan demikian lahirlah 
'Etische poltiek'tsb.


'Etische politiek' pemerintah Den Haag tidak bisa dijadikan alasan untuk 
membagus-baguskan kolonialisme. Kolonialisme Belanda atas Indonesia, 
telah mendominasi bangsa dan negeri ini melalui berkali-kali peperangan 
kolonial yang telah makan korban ratusan ribu bahkan jutaan rakyat kita, 
merusak sawah ladang dan pertanian serta peri kehidupan rakyat, dalam 
kurun waktu yang begitu lama. Tinggallah rakyat Indonesia sebagai rakyat 
yang tereksploitasi, dirampok kekayaan bumi dan lautannya. Sejarah 
menunjukkan bahwa kolonialisme Belanda amat menghambat kemajuan negeri 
dan bangsa. Suatu bangsa yang terjajah dan terekploitasi tidak mungkin 
maju dan berkembang dengan wajar, sesuai dengan kemajuan zaman. 
Kolonialisme adalah suatu penghinaan terhadap negeri dan bangsa yang 
dijajah.


Seorang wartawan senior Belanda, Hans C Beyon, melukiskannya antara lain 
dalam bukunya berjudul 'VERBODEN VOOR HONDEN EN INLANDERS'. Melalui 
kumpulan esay yang oleh berbagai penulis, buku tsb menceriterakan 
tentang bagaimana orang Indonesia di zaman 'Hindia Belanda'dihina 
habis-habisan. Di Indonesia pada zaman kolonial, terdapat tempat-tempat 
dimana anjing dan orang Indonesia (inlander) dilarang masuk. Nilai orang 
Indonesia, yang disebut 'inlander'itu, tidak lebih dari nilai seekor anjing.


Kolonialisme, kapanpun dan dimanapun, segi utamanya adalah suatu 
perbuatan jahat, suatu kriminalitas satu negeri atas negeri dan bangsa 
lain. Demikian pula halnya dengan kolonilaisme Belanda atas Indonesia. 
Jangan sekali-kali menilai bahwa tipe kolonialisme Beland itu, lain dari 
pada yang lain. Dengan misalnya menjulukinya sebagai 'tipe kolonialisme 
yang mempersatukan' Indonesia.


Dengan segala hormat kepada Dubes Belanda Nikolas van Dam, harus 
dikatakan kepada beliau, bahwa, kalau ada fikiran seperti itu mengenai 
kolonialisme, itu adalah fikiran yang jauh sekali ketinggalan zaman. 
Sudah kedaluwarsa. Makin cepat ditinggalkan semakin baik. Semakin 
menambah syarat untuk lebih baik lagi menggalang hubungan wajar dan 
bersahabat antara kedua negeri dan bangsa, Indonesia dan Belanda.


* * *

Kirim email ke