http://www.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Utama&id=147276

Jumat, 7 Desember 2007

Merokok Boleh, Tak Pasang Tanda No Smoking Didenda
Memaknai Larangan di Sela-Sela Meliput Aktivitas Haji di Arab Saudi


 
Makkah,-  Di sela-sela tugas meliput aktivitas haji, wartawan Jawa Pos Group 
menemui banyak aturan menarik di Arab Saudi. Termasuk belajar bagaimana 
mengartikan larangan dan kewajiban di sana. 

SAAT berkunjung ke Jeddah, saya bersama teman-teman tim liputan Madinah mampir 
ke rumah makan Indonesia bernama Putera Malang. Pertimbangannya, tentu, menu 
yang disajikan amat mungkin lebih pas di lidah. Benar saja, malam itu menu yang 
tersedia sate kambing dan sup kaki kambing. 

Untuk ukuran kota bandar kelas dunia yang sangat sibuk seperti Jeddah, warung 
makan milik Widodo, "kera ngalam" alias orang Malang itu, tergolong kecil. 
Hanya, ada tiga meja, masing-masing meja empat kursi Tapi, yang langsung 
menarik perhatian kami di salah satu dinding ada tulisan "No Smoking." Tapi, 
tulisan itu terbalik. Yang atas jadi bawah, yang bawah jadi atas. Jadi, 
akhirnya terbaca "Smoking No". 

Iseng-iseng saya bertanya, "Di sini nggak boleh merokok nih?" Widodo, pemilik 
rumah makan itu, langsung menjawab, "Boleh! Silakan. Kita tidak melarang 
merokok, kok." 

Saat saya menunjuk tulisan No Smoking terbalik tadi, Widodo tertawa. Menurut 
dia, tulisan itu dipasang karena pemerintah daerah setempat mengharuskan. 
"Kalau tidak ada tulisan itu, saya bisa didenda 400 riyal (Rp 1 juta, satu 
riyal setara dengan Rp 2.500)," katanya. 

Widodo lalu menunjuk kotak lampu neon dengan kawat di sekeliling mirip lampu 
pembunuh lalat atau nyamuk di tanah air. Dia bilang di Saudi, paling tidak di 
Jeddah, restoran harus memasang antilalat tersebut. "Kalau tidak pasang, saya 
bisa didenda 1.500 riyal," katanya sambil menunjukkan laptop-nya. Widodo selalu 
mengikuti perkembangan tanah air, antara lain lewat jawapos.co.id. 

Padahal, menurut Widodo, harga alat antilalat itu tergolong murah. Hanya 35 
riyal. Tentu Widodo lebih memilih memasang alat itu daripada didenda 1.500 
riyal (sekitar Rp 3.750.000). 

Kalau tidak pasang No Smoking bisa didenda 400 riyal tiap kali ketahuan. 
Mengapa tamu tetap boleh merokok? Kata Widodo, ketentuannya hanya pasang 
tulisan No Smoking. Tidak ada ketentuan pemilik restoran melarang pelanggan 
merokok. 

"Petugas (Saudi) tidak mempersoalkan kok kalau tahu ada pembeli merokok di 
warung ini. Yang dipersoalkan hanya kalau saya tidak memasang tulisan No 
Smoking," jelasnya. 

Selama musim haji seperti saat ini Jabbal Rahmat di Arafah, dekat kota Makkah, 
ramai dikunjungi peziarah. Tempat ini diyakini sebagai lokasi pertemuan bapak 
dan ibu umat manusia, Nabi Adam dan Siti Hawa, saat diturunkan dari surga. 

Sebagian umat juga meyakini bukit itu sebagai tempat yang makbul untuk berdoa. 
Karena itu, jamaah haji Indonesia umumnya juga menyempatkan diri naik ke atas 
bukit dan berdoa di sana. Padahal, di kaki bukit ada papan besar berisi 
peringatan agar tidak naik atau berdoa di tempat itu, karena Nabi Muhammad tak 
mengajarkannya. 

Namun, kenyataannya, ada tangga menuju ke puncak bukit. Konon, tangga itu 
terdiri atas 170 anak tangga. "Katanya tidak boleh naik, kok malah dibikinin 
tangga," kata seorang rekan dari Media Center Haji. 

Saya sendiri ikut naik sampai ke puncak. Di sana berdiri sebuah tugu dengan 
ketinggian sekitar tujuh meter. Keempat sisi tugu penuh coretan. Sekeliling 
puncak juga dilingkari semacam pagar setinggi sekitar 60 sentimeter untuk 
perlindungan agar peziarah tak jatuh. Beberapa jamaah melompati pagar, duduk di 
bebatuan di lereng, mengangkat tangan, lalu berdoa. 

Melihat banyaknya peziarah berdoa bersama di sebelah bangunan tugu, petugas 
keamanan Saudi yang ada di sana tidak berbuat apa-apa. "Ya, gimana melarang 
orang berdoa," kata seorang jamaah Indonesia yang tidak ikut berdoa. 

Lain lagi pengalaman saya di Madinah. Di kota suci itu tak terlihat papan atau 
petunjuk resmi yang melarang orang berkeliaran di jalan pada jam-jam salat. 
Tapi, jangan coba-coba jalan-jalan saat azan berkumandang. 

Saya dan teman-teman wartawan Indonesia mengalami kejadian tak terlupakan saat 
mencari warung internet (warnet). Saat itu komputer untuk Media Center Haji 
daerah kerja Madinah belum terhubung ke internet. Karena ada berita yang harus 
dikirim ke tanah air, saya dan beberapa rekan lain minta sopir mengantar ke 
warnet yang kami temui saat jalan-jalan beberapa hari sebelumnya. 

Dengan pertimbangan waktu isya panjang, kami sepakat berangkat selepas magrib. 
Tiba di tempat, kami langsung mendaftar dan membayar biaya di depan. Satu jam 
dikenai biaya 5 riyal (sekitar Rp 12.500). 

Kami lalu diminta menyerahkan paspor. Setelah dicatat, kami diberi headphone 
dan peralatan lain, dan dipersilakan menempati meja yang kosong. Karena tidak 
ingin membuang waktu, kami langsung menghidupkan komputer, memasukkan flash 
disc yang sudah berisi berita, dan membuka email. 

Namun, belum lagi sempat mengopi berita ke email yang kami buka, ada petugas 
masuk. Dia mengetuk-ngetuk semua pintu ruang browsing yang terisi. "Salat, 
salat, salat!" katanya. 

Kami pikir dia cuma mengingatkan bahwa saat itu telah masuk salat isya. Kami 
yang bersepakat untuk salat isya di penginapan pun tetap meneruskan proses 
pengiriman berita. Tak disangka komputer tiba-tiba off. Rupanya, pemilik warnet 
yang mematikan. Para pengunjung warnet kami lihat langsung bergegas keluar. 
Tinggal kami dari Media Center Haji. 

"Kita tunggu saja. Kan kita baru pakai lima menit," kata seorang teman dari 
RRI. 

Namun, pemilik warnet dengan tegas meminta kami keluar. Dia menutup pintu 
warnet lalu bergegas pergi. Tinggal kami berempat terbengong-bengong. Kami 
memang tahu toko-toko di Madinah tutup pada jam-jam salat. Tapi, kami tidak 
tahu apakah pembeli yang telanjur membayar tapi belum mendapat barang 
belanjaan, juga harus pergi saat pemilik menutup toko. 

Kami pun duduk-duduk di trotoar depan warnet untuk menunggu pemilik warnet 
datang dan membuka lagi warung internetnya. Kami yakin dia akan kembali karena 
di depan jelas tertulis warnet buka 24 jam. 

Saat duduk santai itulah, dengan tergopoh-gopoh Madrokim, sopir dari Media 
Center Haji, meminta kami segera masuk mobil. "Masuk, Pak, masuk ke mobil. 
Cepat. Bisa ditangkap nanti," teriaknya. 

Karena tidak tahu apa maksudnya, kami tenang-tenang saja. Tapi, Madrokim panik 
melihat kami tetap duduk di trotoar. Dengan tak sabar, dia menarik kami dan 
meminta masuk mobil. "Wah, hampir saja. Kalau tidak segera masuk mobil, kita 
bisa dipenjara," kata Madrokim. 

Menurut dia, di Madinah, orang yang berkeliaran pada jam salat akan ditangkap 
polisi syariah (Madrokim menyebut polisi syariah itu sebagai mutowek). Di 
kantor polisi syariah itu, pelanggar akan diperiksa. Bahkan, tak tertutup 
kemungkinan ditahan.(


[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to