Mbak Aisha,
kalo baca bukunya Jeffrey Sachs, the end of poverty, ada ulasan tentang
masalah masalah fertilitas dan kemiskinan.  Data menunjukkan adanya korelasi
antara kemiskinan dengan tingkat fertilitas.  Fertilitas yang tinggi (jumlah
anak yang banyak) terkonsentrasi pada negara2 yang tergolong miskin, dan
dengan budaya pertanian.  Hal ini wajar, mengingat dalam budaya pertanian
anak merupakan investasi tenaga kerja, begitu juga dengan kemiskinan,
banyaknya anak merupakan investasi karena mereka tidak yakin berapa anak
yang bisa bertahan hidup dan itu penting untuk "keamanan" hari tua mereka.
 Dia juga menunjukkan di negara2 yang mulai beranjak ke taraf
industrialiasi, dimana perempuan punya kesempatan untuk berpartisipasi dalam
kegiatan ekonomi, maka ada kecenderungan adanya penurunan preferensi jumlah
anak.

Jadi seperti kata pak Satriyo memang ini bukan fenomena spesifik yang
terkait dengan agama tertentu saja.  Tapi bukan berarti bahwa nilai2 agama
tidak mempengaruhinya.  Setahu saya selain salah satu contoh yang mbak Aisha
sebutkan, gereja katolik pernah/masih melarang pemakaian kontrasepsi karena
dianggap bertentangan dengan kehidupan (mkkk). Dalam Islam disamping nilai
kalau seorang perempuan syahid apabila mati ketika melahirkan, juga nilai
bahwa anak mempunyai rejeki sendiri, sehingga banyak anak banyak rejeki
(saya rasa semua orang tahu ini), ditambah pendapat bahwa mati, hidup
seseorang sesuatu yang sudah ditakdirkan oleh Allah, sehingga ini mempunyai
ekses (ada beberapa penelitian etnografi yang menunjukkan) bahwa kematian
ibu karena proses reproduksinya adalah sesuatu yang wajar dan "tidak perlu"
untuk dicegah.

Salah satu inovasi yang menarik buat dibagi adalah upaya pemerintah sebuah
kabupaten di Lombok untuk menurunkan angka kematian ibu melalui perangkat
hukum adat atau yang dikenal sebagai awig-awig.  Lombok adalah salah satu
tempat yang mempunyai angka kematian ibu yang tinggi di Indonesia, salah
satunya karena adanya paradigma seperti diatas, bahwa kematian ibu saat
melahirkan adalah sesuatu yang syahid dan sebuah takdir.  Dengan situasi
masyarakat tradisional yang banyak tinggal di kebun2 dimana suami sering
tidak dirumah menjaga kebun mereka, maka seorang perempuan yang membutuhkan
bantuan petugas kesehatan seringkali terabaikan hingga meninggal karena
kondisinya.  Nah pemda setempat mencoba membuat perangkat hukum adat,
dibantu oleh pemangku adat dan juga para ulama, untuk memberikan sangsi adat
apabila ada kematian ibu dan juga penyadaran oleh para ulama, bahwa apabila
kita bisa "mencegah" kematian ibu hamil bukanlah sebuah pengingkaran takdir.

regards,
Donnie



> -----Original Message-----
> From: wanita-muslimah@yahoogroups.com <wanita-muslimah%40yahoogroups.com>
> [mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com<wanita-muslimah%40yahoogroups.com>]
> On Behalf Of rsa
> Sent: Thursday, December 06, 2007 12:08 PM
> To: wanita-muslimah@yahoogroups.com <wanita-muslimah%40yahoogroups.com>
> Subject: [wanita-muslimah] Re: Setiap Jam, Dua Ibu Meninggal
>
> Bu Aisah,
>
> Saya sangat miris mendengar kisah almarhumah (wa syahidah) teman ibu
> itu. Sungguh berat tanggung jawab sang suami sekiranya kelak di mahkamah
> Allah beliau terbukti teledor dan tidak bertanggung-jawab atas istrinya
> meskipun di benaknya dia sudah melakukan all by the book, termasuk tidak
> mengizinkan istri ke dokter 'hanya' karena dokternya laki-laki. Sayang
> dia tidak ingat kaidah yang membolehkan 'bercampurnya' perempuan dan
> laki-laki, yaitu saat menuntut ilmu, berobat atau ... (lupa yg satu
> lagi).
>
> Hal yang sama saya yakin dialami banyak perempuan muslim di negeri ini
> dan juga negeri muslim lainnya. Entah buat di negeri minoritas muslim
> macam di negara2 moderen Eropah dan AS. Tapi kemungkinan lebih baiklah
> mengingat melek ilmu dan pengetahuan.
>
> Saya yakin juga hal yang sama terjadi di komunitas non-muslim di penjuru
> dunia tapi kita tidak pernah tahu hingga kini, mengingat tidak sedikit
> etnis atau suku tradisional yang masih menghargai banyak anak sekaligus
> menghindari persentuhan dengan dunia moderen termasuk dokter, sehingga
> angka kematian saat melahirkan relatif tinggi.
>
> Soal mati syahid saat melahirkan itu benar. Setahu saya keterang
> lengkapnya adalah bahwa bagi seorang muslimah yang sabar dan ikhlas
> menahan sakit saat persalinan, maka ketika si bayi lahir, segala dosa-
> dosa si ibu akan hapus dan akan kembali seperti bayi yang baru lahir;
> atau ketika si bayi lahir dan si ibu tidak selamat, maka ganjaran buat
> si ibu adalah mati syahid. Tapi tadi, syaratnya sabar dan ikhlas, dan
> ini hanya antara ybs dan Allah. Maka doa di saat pemakaman teman ibu itu
> adalah doa, bukan suatu 'keputusan.'
>
> Jadi soal kembali suci spt bayi ini, saya terbayang teman saya yang
> punya 11 anak (alhamdulillah suami istri sangat terpelajar dan aktif
> dakwah, jadi mungkin ini perkecualian jika dibanding dengan teman
> Aisha), bahwa 'usia' si ibu sama dengan anak yang paling kecil, krn
> hapus semua dosa-dosanya. Alangkah indah Islam dan begitu meringankan
> beban para muslimah!
>
> Kembali ke soal kehamilan dan persalinan, saya kira sebagaimana issu
> AIDS dan penyakit lain, hal ini perlu perhatian serius dari segenap
> lapisan masyarakat bahwa ada hal-hal yang 'wajib' diketahui agar dalam
> menjalani hidup ini bisa lebih bertanggung-jawab dan adil!
>
> allaahu a'lam,
>
> salam,
> satriyo
>


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke