Assalamu'alaikum,

Tulisan yang bagus dari bung Luthfi dengan judul "Nabi Pamungkas dan
Nabi Sekunder" karena menyinggung juga pemahaman kenabian pada agama
semitik lainnya.

Saya tidak akan membahas soal "kenabian" dihubungkan dengan agama
Yahudi atau Kristen. Saya hanya akan membahas dan memperhalus soal
"kenabian" dalam konteks keyakinan Ahmadiyah yang banyak disinggung
dalam tulisannya, yang menurut bung Luthfi merupakan persoalan
kompleks yang memicu tindak kekerasan dan ketegangan dengan ortodoksi
Sunni.

Sebelumnya perlu saya koreksi sedikit, bahwa negara asal Ahmadiyah
bukanlah Pakistan, tetapi India, sebab kota Qadian (tempat lahir dan
dimakamkannya Pendiri Jemaat Ahmadiyah) sekarang masuk dalam negara India.

Mari kita mulai dengan "Nabi Pamungkas" - sangat jelas bahwa Mirza
Ghulam Ahmad sendiri menyatakan bahwa Nabi Muhammad saw. adalah nabi
pamungkas. Beliau menyatakan:

"Tuduhan yang dilontarkan terhadap diri saya dan terhadap jemaat saya
bahwa kami tidak mempercayai Rasulullah s.a.w. sebagai Khaataman
Nabiyyiin merupakan kedustaan besar yang dilontarkan pada kami. Kami
meyakini Rasulullah s.a.w. sebagai Khaatamul Anbiya' dengan begitu
kuat, yakin, penuh makrifat dan bashirat, yakni seratus ribu bagian
dari yang itu pun tidak dilakukan oleh orang-orang lain. Dan memang
tidak demikian kemampuan mereka. Mereka tidak memahami hakikat dan
rahasia yang terkandung di dalam khaatamun nubuwwat Sang Khaatamul
Anbiya'. Mereka hanya mendengar sebuah kata dari para tetua mereka,
tetapi tidak tahu menahu tentang hakikatnya. Dan mereka tidak tahu apa
yang dimaksud dengan Khaatamun Nubuwwat. Apa makna mengimaninya?
Namun, kami dengan penuh bashirat (Allah Ta'ala yang lebih tahu)
meyakini Rasulullah s.a.w. sebagai Khaatamul Anbiya'. Dan Allah Ta'ala
telah membukakan hakikat Khaatamun Nubuwwat kepada kami sedemikian
rupa, yakni dari serbat irfan yang telah diminumkan kepada kami itu
kami mendapatkan suatu kelezatan khusus yang tidak dapat diukur oleh
siapa pun kecuali oleh orang-orang yang memang telah kenyang minum
dari mata-air ini juga." (Malfuzhaat, jld. I, hlm. 342) 

"Tidak ada kitab kami selain Qur'an Syarif. Dan tidak ada rasul kami
kecuali Muhammad Musthafa shallallaahu `alaihi wasallam. Dan tidak ada
agama kami kecuali Islam. Dan kita mengimani bahwa nabi kita s.a.w.
adalah Khaatamul Anbiya', dan Qur'an Syarif adalah Khaatamul Kutub.
Jadi, janganlah menjadikan agama sebagai permainan anak-anak. Dan
hendaknya diingat, kami tidak mempunyai pendakwaan lain kecuali
sebagai khadim Islam. Dan siapa saja yang mempertautkan hal [yang
bertentangan dengan] itu pada kami, dia melakukan dusta atas kami.
Kami mendapatkan karunia berupa berkat-berkat melalui Nabi Karim
s.a.w. Dan kami memperoleh karunia berupa makrifat-makrifat melalui
Qur'an Karim. Jadi, adalah tepat agar setiap orang tidak menyimpan di
dalam kalbunya apa pun yang bertentangan dengan petunjuk ini. Jika
tidak, dia akan mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah Ta'ala.
Jika kami bukan khadim Islam, maka segala upaya kami akan sia-sia dan
ditolak, serta akan diperkarakan." (Maktubaat-e-Ahmadiyyah, jld. 5, no. 4)

Jadi, karena Mirza Ghulam Ahmad sendiri menyatakan bahwa Nabi Muhammad
saw. adalah nabi pamungkas (khaatamul anbiya'), dengan demikian adalah
tidak mungkin bagi orang Ahmadiyah untuk mengatakan Mirza Ghulam Ahmad
sebagai nabi pamungkas. Nabi Pamungkas bagi Jemaat Ahmadiyah adalah
Nabi Muhammad saw. Saya yakin, ini adalah doktrin utama yang tidak
bisa ditawar-tawar lagi bagi Jemaat Ahmadiyah.

Yang kedua adalah masalah "Nabi Sekunder", sebenarnya makna nabi
sekunder, yakni nabi yang berada di bawah kedudukan nabi pamungkas,
harusnya juga sangat dikenal dalam teologi Sunni, sebab keadaan nabi
sekunder cukup gamblang ditampilkan dalam al-Qur'an. Dengan melihat
kisah Nabi Ishaq as. dan Nabi Ismail as., mereka sebenarnya adalah
nabi-nabi sekunder - karena hidup semasa dan mengikuti agama yang
dibawa oleh ayah mereka, Nabi Ibrahim as., sebagai nabi pamungkas pada
zamannya. Demikian pula Nabi Harun as. yang jelas hidup semasa dan
sebagai pendamping Nabi Musa as., yang membawa Syari'at Taurat, adalah
nabi sekunder - demikian pula nabi-nabi Bani Israil lainnya, termasuk
Nabi Isa as., semuanya adalah nabi sekunder karena mengikuti dan
berhukum kepada Hukum/Syari'at Taurat yang dibawa oleh Nabi Musa as.,
sebagai nabi pamungkas.

Jadi, karena Mirza Ghulam Ahmad juga mengikuti, patuh dan berhukum
pada Syari'at Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw., maka sudah
pasti, dengan menurutkan istilah bung Luthfi, beliau adalah nabi
sekunder. Dalam teologi Ahmadiyah, nabi sekunder yang ditujukan kepada
Mirza Ghulam Ahmad dikenal dengan istilah "nabi ummati" (berasal dari
umat Muhammad), "nabi dzilli" atau "nabi buruzi" (nabi bayangan) yang
kesemuanya bermakna sebagai nabi "ghair at-Tasyri'i" (Non-law bearing
prophet). Dari semua itu, Mirza Ghulam Ahmad sebagai Imam Mahdi/Masih
Mau'ud/The Promised Messiah as. sendiri telah menyatakan dengan
gamblang mengenai sifat kenabian yang disandangnya dalam buku "Ek
Ghalati Ka Izala" (A misconception Removed) - Lihat:
http://www.alislam.org/library/books/A-Misconception-Removed.pdf -
disamping itu beliau juga menyatakan dengan tegas dan penuh keyakinan
bahwa anugerah pangkat ruhani sebagai nabi dari Allah Ta'ala adalah
berkat mengikuti, patuh dan taat kepada Nabi Muhammad saw.

Pernyataannya:

"Bagiku tidak mungkin meraih nikmat ini seandainya aku tidak mengikuti
jalan yang ditempuh majikanku, anutanku, kebanggaan para anbiya, insan
yang terbaik, Muhammad Musthafa s.a.w. Apa pun yang kuperoleh, telah
diperoleh karena mentaatinya. Aku mengetahui dari pengalaman pribadi
dan berdasar ilmu yang sempurna bahwa siapa pun tidak dapat mencapai
kedekatan kepada Tuhan tanpa mentaati nabi ini dan mustahil pula
meraih makrifat yang sempurna. Sekarang aku beritahukan pula bahwa
sesudah orang mentaati Rasulullah s.a.w., dengan sesungguh-sungguhnya
dan sesempurna-sempurnanya, ia dianugerahi hati yang cenderung kepada
kebajikan, suatu hati yang sehat, yakni tidak ada kecintaan kepada
dunia dan mulai mendambakan kelezatan abadi dan lestari. Kemudian
sebagai gantinya, hatinya sekarang layak memperoleh kecintaan yang
semurni-murninya dan sempurna - kecintaan Ilahi. Semua nikmat ini
diperoleh sebagai warisan berkat ketaatan kepada Rasulullah s.a.w."
(Ruhani Khazain, jld. 22; Haqiqatul Wahyi, hlm. 24-25)

Sebagai penutup, sesuai asal katanya, istilah "nabi" itu berasal dari
kata "naba'" yang berarti membawa kabar, yang tentunya kabar (wahyu)
dari Allah, dan karena Mirza Ghulam Ahmad menyatakan dirinya sebagai
nabi karena diperintahkan oleh Allah, maka kemudian banyak orang
berbondong-bondong percaya dan meyakini serta mengimaninya sebagai
nabi, tidak seperti para wali atau ulama dalam teologi Sunni, meskipun
ada di antara mereka yang menerima wahyu dari Allah, namun mereka
tidak mengklaim dirinya sebagai nabi, sebab mereka memang tidak
diperintahkan oleh Allah untuk mengklaim sebagai nabi, sehingga tidak
ada orang yang kemudian mengimani/meyakininya sebagai nabi.

Dan, saya kira hubungan antara wahyu dan nabi itu sendiri yang harus
dicairkan dan dipertegas dalam teologi Sunni, sebab teologi Sunni masa
kini sudah sama sekali menolak dapat datangnya nabi karena terbelenggu
erat dengan doktrin bahwa wahyu tidak dapat turun lagi setelah Nabi
Muhammad saw. baik kepada pengikut agama lain atau kepada pengikut
Nabi Muhammad saw. sendiri ... Apakah memang benar malaikat Jibril
sudah pensiun dari tugasnya?

Salam,
M. A. Suryawan


--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "ahmadbadrudduja"
<[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> Tempo, Edisi. 49/XXXVI/28 Januari - 03 Februari 2008
> 
> Nabi Pamungkas dan Nabi Sekunder
>  
> Luthfi Assyaukanie
> 
> Peneliti Freedom Institute dan Koordinator Jaringan Islam Liberal,
Jakarta
> 
> Salah satu doktrin utama yang dijunjung tinggi kaum muslim adalah
> keyakinan tentang Muhammad sebagai nabi pamungkas (khatam
> al-nabiyyin). Begitu sucinya doktrin ini, para ulama berpandangan
> bahwa siapa saja yang melanggarnya dapat dianggap murtad atau keluar
> dari Islam. Menurut hukum Islam (fikih), seorang yang murtad haruslah
> dibunuh. Para ahli fikih sepakat bahwa pemerintahlah yang harus
> menjalankan hukuman, namun seorang ulama dari mazhab Syafi'i
> berpendapat bahwa hukuman itu bisa dilaksanakan secara individual jika
> pemerintah tak mampu melaksanakannya.
> 
> Mungkin karena doktrin fikih yang kaku itu, kaum muslim memusuhi dan
> menyerang Ahmadiyah, sebuah aliran yang meyakini Mirza Ghulam Ahmad
> sebagai nabi. Baik di Pakistan (negara asal Ahmadiyah) maupun
> Indonesia, anggota Ahmadiyah dikecam, dikejar-kejar, dan properti
> mereka dirusak dan dibakar. Tanpa mau mengerti persoalan kompleks
> tentang konsep kenabian, kaum muslim meminta pemerintah membubarkan
> Ahmadiyah dan melarang sekte ini hidup di Indonesia.
> 
> Doktrin khatam al-nabiyyin bukanlah milik kaum muslim saja, tapi ia
> juga milik semua agama. Setiap agama besar memiliki doktrin nabi
> pamungkas. Agama Yahudi menganggap Musa sebagai nabi pamungkas; Agama
> Kristen menganggap Isa sebagai nabi pamungkas; dan agama Buddha
> menganggap Siddharta Gautama sebagai nabi pamungkas. Masing-masing
> agama ini menjunjung tinggi doktrin khatam al-nabiyyin, dan akan
> menganggap siapa saja yang melanggarnya telah tersesat.
> 
> Pada awal-awal kemunculan agama Kristen, kaum Yahudi menganggap
> pengikut Isa (Yesus) sebagai kaum heretik, karena mendaulat Isa (bukan
> Musa) sebagai nabi pamungkas dan bahkan menganggapnya sebagai anak
> Tuhan. Begitu juga, pada masa-masa awal kemunculan Islam, kaum Kristen
> di kawasan Bizantium (Kekristenan Timur) menganggap pengikut Muhammad
> sebagai "sekte Kristen" yang sesat dan menyesatkan. Islam dianggap
> sekte sesat karena memperkenalkan nabi baru selain Isa, yakni
> Muhammad, sebagai nabi pamungkas.
> 
> Sesat menyesatkan terhadap siapa saja yang menolak doktrin nabi
> pamungkas dalam suatu agama bukanlah unik milik Islam. Setiap agama
> baru selalu melewati proses semacam ini. Saya menyebutnya "proses
> heretisasi", yakni upaya menjauh dari pemahaman ortodoks. Jika proses
> heretisasi berlangsung mulus, sebuah agama baru bakal muncul; jika
> tidak, konflik dan ketegangan akan terjadi.
> 
> Proses heretisasi terjadi sepanjang sejarah. Orang-orang Yahudi
> menganggap Kristen sebagai agama heretis yang menyempal dari agama
> Yahudi. Begitu juga, kaum Kristen memandang Islam sebagai sekte sesat
> yang menyempal dari agama Kristen. Pada gilirannya, kaum muslim
> menganggap Baha'i sebagai agama yang menyempal dari Islam. Baha'i
> tidak lagi dianggap sebagai bagian dari Islam karena para pemeluknya
> tak mau menganggap Muhammad sebagai nabi pamungkas, tapi malah
> menjadikan pemimpin mereka, Baha'ullah, seorang alim dari Persia,
> sebagai gantinya.
> 
> l l l
> 
> Ahmadiyah, menurut saya, belum bisa dianggap sebagai agama baru,
> karena proses heretisasi dalam dirinya belum sempurna. Para pengikut
> Ahmadiyah masih terbelah antara menerima Muhammad sebagai nabi
> pamungkas dan menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi baru. Kecuali
> jika mereka sendiri yang mendeklarasikan Ahmadiyah sebagai agama baru,
> tak seorang pun berhak menganggapnya demikian.
> 
> Saya tidak tahu apakah ada anggota Ahmadiyah yang benar-benar
> menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi pamungkas. Setahu saya,
> dari sejumlah literatur tentang Ahmadiyah yang pernah saya baca,
> seluruh anggota Ahmadiyah di Indonesia tetap menganggap Muhammad
> sebagai nabi pamungkas, sedangkan Mirza Ghulam Ahmad dianggap sebagai
> nabi sekunder yang kedudukannya lebih rendah daripada Nabi Muhammad.
> 
> Konsep nabi sekunder memang tidak dikenal dalam teologi Sunni. Tapi,
> konsep itu dikenal secara luas dalam agama-agama lain, khususnya
> Yahudi dan Kristen. Orang-orang Yahudi, misalnya, menganggap Musa
> sebagai nabi pamungkas, tapi pada saat yang sama meyakini Isaiah,
> Jeremiah, Ezekiel, dan Daniel sebagai nabi juga, namun bersifat
> sekunder. Orang-orang Kristen menganggap Isa sebagai nabi pamungkas,
> tapi pada saat yang sama bisa menerima Simon, James, Matius, dan
> Thomas sebagai nabi (rasul).
> 
> Islam tidak mengadopsi teologi semacam itu, tapi mengembangkan
> doktrinnya sendiri tentang nabi sekunder. Kaum Syiah menyebutnya
> "imam", sedangkan kaum Sunni memiliki istilah yang beragam, seperti
> "wali", "ulama", dan "mujaddid" (pembaru). Baik imam maupun wali (dan
> istilah lain dalam dunia Sunni) sesungguhnya memiliki posisi yang
> kurang-lebih sama dengan nabi sekunder dalam teologi Yahudi dan
> Kristen. Para imam dua belas (itsna asy'ariyah) bagi kaum Syi'ah
> memiliki kharisma dan posisi yang tak bisa disejajarkan dengan kaum
> muslim biasa. Kedudukan mereka hanya bisa dikalahkan oleh Muhammad,
> sang nabi pamungkas.
> 
> Begitu juga, dalam dunia Sunni, para awliya (bentuk jamak dari wali),
> ulama, maupun mujaddid memiliki kedudukan yang tinggi, disanjung,
> dihormati, dan didengar pandangan-pandangannya. Abdul Qadir
> al-Jailani, misalnya, adalah salah satu wali yang sangat dimuliakan
> kaum muslim Sunni. Begitu juga, Abu Hamid al-Ghazali merupakan ulama
> yang menempati posisi sangat khusus di kalangan umat Islam. Begitu
> uniknya posisi Al-Ghazali sehingga Montgomery Watt, seorang orientalis
> Inggris, menganggapnya sebagai muslim terbesar kedua setelah Nabi
> Muhammad.
> 
> Mujaddid juga memiliki posisi unik yang bisa disejajarkan dengan
> konsep nabi sekunder dalam teologi Yahudi dan Kristen. Istilah
> mujaddid diperkenalkan oleh Nabi Muhammad sendiri dalam sebuah
> sabdanya: "Setiap 100 tahun Allah mengutus seorang mujaddid yang akan
> memperbarui ajaran agama (Islam)." Tokoh Islam seperti Muhammad Abduh
> (1849–1905), Ali Abd al-Raziq (1888–1966), dan Fazlur Rahman
> (1919–1988), adalah para pembaru Muslim yang dimaksudkan Nabi. Tentu
> saja, istilah "100 tahun" tidak harus diartikan secara literal, karena
> "100 tahun" yang dimaksud dalam hadis itu adalah masa yang dibutuhkan
> suatu doktrin untuk menjadi kedaluwarsa. Dan itu harus diperbarui
> dalam setiap kurun waktu tertentu agar tetap segar.
> 
> l l l
> 
> Para teolog Sunni memang tidak menganggap wali atau ulama atau
> mujaddid sebagai nabi, tapi mereka memandang posisi mereka begitu
> tinggi, dan bahkan meletakkannya setingkat di bawah nabi. Ulama,
> misalnya, dianggap sebagai ahli waris para nabi (al-ulama waratsat
> al-anbiya).
> 
> Sebenarnya, jika para pengikut Ahmadiyah menyebut Mirza Ghulam Ahmad
> sebagai wali, atau ulama, atau mujaddid, pasti tidak akan ada masalah.
> Sayangnya, mereka lebih memilih bersitegang dengan ortodoksi Sunni
> dengan tetap menggunakan istilah "nabi" untuk pemimpin mereka.
> Padahal, yang mereka maksudkan dengan nabi ketika menyebut Mirza
> Ghulam Ahmad sebetulnya adalah "wali" atau "mujaddid" dalam pengertian
> kaum Sunni.
> 
> Hal ini bisa dilihat, misalnya, dari cara mereka membeda-bedakan tiga
> istilah, yakni "nabi independen" (naby mustaqill), "nabi tidak
> independen" (naby ghayr mustaqill), dan "nabi bayangan" (naby
> al-dzill). Nabi independen adalah pemuka agama yang membawa risalah
> murni, seperti Musa, Isa, dan Muhammad. Nabi tidak independen adalah
> pemuka agama yang meneruskan risalah nabi independen, seperti Harun
> (dalam kasus Musa) dan Paulus (dalam kasus Isa). Sementara nabi
> bayangan adalah pemuka agama yang menyebarluaskan risalah itu.
> 
> Para pengikut Ahmadiyah Qadiyan memandang Mirza Ghulam Ahmad sebagai
> naby ghayr mustaqill, sementara pengikut Ahmadiyah Lahore menganggap
> Mirza sebagai naby al-dzill. Kedua sekte ini tetap menganggap Muhammad
> sebagai nabi pamungkas (naby mustaqill) yang kedudukannya tak bisa
> digantikan oleh siapa pun.
> 
> Ketegangan yang terjadi dalam menyikapi Ahmadiyah selama ini
> sesungguhnya dipicu oleh kesalahpahaman terhadap penggunaan istilah
> "nabi". Baik Ahmadiyah maupun Sunni sama-sama bersalah. Ahmadiyah
> bersalah karena menggunakan istilah yang tak bisa diterima dalam
> teologi Sunni. Kaum Sunni bersalah karena tak mau mengerti bahwa
> istilah nabi bisa dimaknai dengan beragam arti, tidak mesti hanya satu
> makna saja seperti yang mereka pahami secara keliru selama ini.*****
>


Kirim email ke