Ayat-Ayat Cinta, hati-hati menontonnya

Oleh: [EMAIL PROTECTED]

Menonton film Indonesia? Rasanya walaupun diberi
imbalan HP Nokia terbaru saya kok memilih lebih baik
menemani ponakan saya main petak-umpet.. Kenapa
begitu. Film Indonesia, Sinetron Indonesia, setiap
kali saya - tanpa sengaja - menontonnya, malah membuat
saya seperti orang bodoh. Jalan ceritanya terlalu
mudah untuk dicerna dan ditebak. Dialog-dialognya
kosong dan tak ada yang memancing indera
"keingintahuan". Personil yang main juga tidak
didukung dengan karakter yang tajam. Aktingnya terasa
sekali dibuat - buat. Yang ditonjolkan hanya
wajah-wajah cantik yang mengundang imajinasi porno
para penontonnya. 

Begitu juga dengan film Indonesia terbaru, Ayat-ayat
Cinta (AAT). Tidak ada hal yang baru dalam alur
ceritanya. Semuanya berputar-putar pada masalah 
primitif hawa nafsu manusia, hubungan lain jenis, yang
90 persen menjadi topik film dan sinetron Indonesia.

Kalau bukan karena istri saya yang merengek-rengek
minta nonton film kacangan seperti itu, saya tak akan
merepotkan diri membuang duit ke bioskop. Bujukan saya
untuk membeli VCD bajakannya saja ternyata tidak
mempan. "Kalau nonton di VCD kan bisa diulang-ulang
dan lebih murah," Rayu saya. Tapi bibirnya malah makin
manyun, pipinya jadi merah, dan tubuh saya habis
dicubitin. "Tapi ini bagus, Mas. Ceritanya Islami dan
tetang poligami", serunya. Wah, kalau alasan yang
terakhir itu saya tertarik. Akhirnya sebagai suami
yang sayang istri, saya pun dengan gentleman
mengantarnya nonton. 

Benar tuduhan saya terhadap film AAT. Jalan ceritanya
membuat saya menguap berkali-kali. Topik yang
disuguhkan tidak fokus. Ceritanya sendiri mengisahkan
seorang mahasiswa Indonesia yang sedang menuntut ilmu
di Mesir. Di mana lagi kalau bukan di Universitas Al
Azhar yang kesohor itu. Tapi di situ tidak dijelaskan,
sang bintang, yang bernama Fahri, mengambil fak apa,
jurusan apa. Pokoknya kuliah, gitu aja. 

Dan selama film berlangsung, saya menunggu-nunggu
setting gambar fisik bangunan Al Azhar yang sudah
berumur 1000 tahun itu. Tapi sampai film habis, tak
diperlihatkan sama sekali suasana kampus, suasana para
pemain yang sedang kuliah menuntut ilmu dengan
dosen-dosennya yang brilian. Atau sebagian bentuk
bangunan Al Azharnya. Malah pemandangan tangga kampus,
yang menurut saya mirip tangga masuk masjid Al Azhar,
Kebayoran Baru, bukan Al Azhar Kairo. 

Adegan pertama, terjadi dalam sebuah kereta api. Sang
bintang menjadi "hero" dengan membela seorang wanita
bercadar yang hendak ditampar seorang muslim radikal
karena memberi tempat duduk pada ibu-ibu Amerika.
Adegan diawali degan sikap dan dialog para penumpang
di kereta yang terasa mengada-ada. "Ada orang kafir
lewat" begitu kira-kira mereka berkata. Padahal mereka
adalah mahasiswa-mahasiswa yang tentunya punya rasa
humanisme yang tinggi. Mesir adalah negara muslim yang
moderat dan cenderung liberal. Jadi bukan hal aneh
lagi kalau ada cewek asing lewat. Dan tak akan mungkin
mereka mendisposisikan turis itu sebagai "kafir"
secara explisit. Attitude seperti itu sangat
melecehkan warga Mesir (dan muslim), karena segitu
banyak penumpang, masak tak ada yang mau memberi
tempat duduk pada wanita tua, walaupun beda agama.
Yang memberi tempat duduk malah seorang muslimah
bercadar yang berkewarganegaraan Jerman, Aishah.

Seperti sinetron-sinetron lainnya, sang wanita yang
dibela kemudian merasa simpati terhadap "pahlawannya"
yang telah membelanya, apalagi wajah si pembela bonyok
dihantam si penjahat. Di sini supaya lebih heroik
sebenarnya si Fahri tidak perlu ditolong oleh
kawan-kawannya. Dengan ilmu kanuragan ala Lamongan
mustinya si Fahri bisa membela diri, gitu. Walaupun
nantinya si penjahat ternyata lebih sakti, dan si
Fahri kalah. 

Drama babak pertama berakhir dengan kemenangan si
penjahat yang berteriak "Allahu Akbar". Di sini saya
bingung. Kenapa si antagonis, extrimis muslim yang
keras kepala tsb sampai akhir cerita tidak dimunculkan
lagi. Ceritanya akan sedikit lebih bagus kalau orang
yang mukul si Fahri tsb kemudian menyadari
kekeliruannya dan kembali ke jalan yang benar.

Sang amerika yang ditolong Aishah ternyata adalah
jurnalis yang sedang mengadakan penelitian mengenai
Islam. Si Fahri, yang membela Aishah, ternyata
kemudian dijadikan nara sumber. Dalam wawancara antara
jurnalis dan Fahri nampak sekali kemiskinan dialog
yang disuguhkan. Setiap pertanyaan si jurnalis selalu
dijawab Fahri dengan singkat, ditambahi dengan kata,
"Semuanya sudah saya tulis di buku saya". Kalau
begitu, ngapain si Jurnalis jauh-jauh datang dari
amrik, mendingan baca artikel tentang Islam di
internet. Cukup dua pertanyaan saja yang dimunculkan
di film itu. Lalu adegan berganti. Cewek amrik itu tak
pernah dimunculkan lagi sampai film habis. Mustinya
sutradara lebih jeli dengan memunculkannya di hari
pernikahan Fahri.

Adegan berganti dengan acara ta'aruf antara Aishah
dan Fahri. Si Fahri yang hanya anak penjual tape,
ditaksir si Aishah yang anak konglomerat Jerman. Tokoh
Aishah di sini sangat tidak mirip dengan wajah
Jerman. Mungkin terlalu mahal untuk menyewa artis
Jerman asli. Begitu juga dengan orang-orang Mesirnya,
banyak yang gadungan. Disewa dari hasil pencarian di
pinggir-pinggir jalan Matraman (kasar amat. Sorry).
Mereka hanya turunan. Untung hidungnya masih kelihatan
mancung. 

Walaupun si Fahri mengaku miskin, anak penjual tape
(tapi bisa punya ongkos ke Mesir). Cinta Aishah tak
terpatahkan. Semua biaya akan ditanggung pihak wanita.
Enak tenaaan. Itulah sinetron. Padahal di dunia nyata,
sekaya apa pun seorang perempuan, pasti dia akan
mencari lelaki yang lebih kaya. 

Di antara kebingungan antara kawin dengan tidak
kawin, si pemeran utama menemui gurunya. Di sini saya
merasa sangat dilecehkan. Pertemuan murid dan guru
sebuah perguruan prestisius setingkat Azhar terjadi di
sebuah ruangan gelap, mirip di sudut-sudut musholla,
ketika seorang ustadz mengajar Iqra muridnya, di
kampung saya. Mungkin si sutradara mengira, Al Azhar
itu gak beda dengan halaqah-halaqah pengajian Kebon
Jeruk, bukan universitas yang ada kursi dan bangkunya,
lengkap dengan papan tulisnya.

Cerita singkatnya, si lakon kemudian "merit" dengan
Aishah. Bulan madu dihabiskan di sebuah "kastil". Di
tengah suasana bulan madu, ternyata banyak gadis yang
patah hati dengan menikahnya Fahri dengan Aishah.
Salah satunya adalah Maryam. Maryam depresi berat
mengetahui Fahri kawin dengan wanita lain. Aneh.
Padahal pacaran aja enggak. Kok bisa patah hati. Fahri
adalah penganut Islam yang textual (walaupun tidak
jenggotan). Bersalaman dengan perempuan saja tidak
mau, apalagi mau berkhalwat (menyepi) dengan wanita
yang bukan ibunya, kok tahu-tahu gadis-gadis
bergelimpangan kehilangan gairah hidup mengetahui
Fahri tidak kawin dengan mereka. Aneh bukan? Nikmati
saja. Udah terlanjur beli tiket.

Namun cerita bulan madu kedua sejoli itu tiba-tiba
berubah berantakan, ketika si Fahri difitnah seorang
wanita miskin yang merasa ditolak cintanya. Tuduhannya
sangat berat, pemerkosaan. Tanpa alif, ba, ta,
(gantinya ba, bi, bu) si Fahri dijebloskan ke penjara
yang dipenuhi tikus. Sejorok itukah sebuah penjara di
Mesir? Perlu klarifikasi. 

Dalam adegan di penjara ini, si sutradara nampak
sekali memaksakan unsur "dakwahnya" yang diklaim
sebagai film bernuansa islami. Ketika si pengantin
baru itu memarahi Tuhan, dan mengomeli nasibnya,
rekannya satu sel memberi nasehat dengan kisah Nabi
Yusuf. Amat sangat tidak klop. Dalam Ushul Fiqh,
mengkiyaskan sesuatu dengan hal yang berbeda itu
bathil. Nabi Yusuf, yang memfitnah adalah wanita
bangsawan. Sedang di kisah AAT, seorang gadis miskin
yang patah hatilah yang memfitnah Fahri. Nabi Yusuf
berdoa, lebih suka dipenjara daripada menuruti nafsu
bejat para wanita bangsawan. Sedang Fahri tidak suka
dipenjara, karena masih mencintai istrinya yang
konglomerat.

Mustinya cerita AAT dibalik. Si gadis miskin itulah
yang menikah dengan Fahri. Lalu Aishah datang
menggodanya, dengan segala kekuasaan harta dan
kecantikannya. Pasti ceritanya lebih seru. Baru cerita
Nabi Yusuf terasa lebih mirip dijadikan dalil.

Seandainya sutradara punya instink yang lebih
kreatif, tokoh yang menjadi rekan satu penjara dengan
si Fahri adalah si muslim radikal yang muncul di
adegan pertama di atas. Alasan di penjaranya karena
terorisme. Sedang Fahri karena tuduhan pemerkosaan.
Terus si Fahri, dengan kecerdasan emosional dan
intelektualnya berhasil menyadarkan si teroris.
Bukannya mencak-mencak meratapi nasib (Merengek
seperti keponakan saya kehilangan baju Spiderman).
Sebuah adegan klise dari sineas Indonesia. Dapat
hadiah, nangis. Dapat musibah, nangis. Ditinggal ke
pasar, nangis. Ditinggal suami, meraung-raung.

Kembali ke pokok persoalan. Istri si Fahri ternyata
bukan tipe gadis cengeng yang menyerah begitu saja
pada nasib. Dia berusaha sebisa mungkin membebaskan
suaminya. Penonton film ini terasa sekali dipaksa
untuk merasa bahwa perjuangan Aishah sangat berat.
Tapi penggambarannya sangat hambar.
Rintangan-rintangan yang dilalui istri Fahri terlalu
mudah diselesaikan. Tanpa kesan yang menggigit.
Tahu-tahu si Fahri bisa keluar penjara. 

Ternyata saksi kunci bahwa Fahri bukan pemerkosa ada
pada Maryam, yang sedang sekarat karena patah hati dan
ketabrak mobil. (entah kenapa para penonton seperti
tidak bosan-bosannya disuguhi adegan wanita stress
ketabrak mobil). Entah dapat ide dari mana, si wanita
Jerman itu tiba-tiba saja meminta Fahri mengawini
Maryam. Tentu saja si Fahri tidak mau. Tapi karena
melihat kondisi Maryam yang semakin koma, akhirnya
beliau mau juga.

Kembali di sini saya bertanya-tanya. Setahu saya,
pernikahan dalam Islam itu harus dilakukan dalam
keadaan sadar oleh semua pihak. Sedangkan dalam film
ini, si Maryam kondisinya koma alias tidak sadar. Kok
bisa dinikahkan oleh para pemeluk islam yang taat?
Atau ada mazhab baru yang membolehkannya? Kalau ada,
sangat berbahaya. MUI harus bertindak. Sebab diilhami
film ini, bisa saja nanti seorang lelaki menikahi
wanita pujaannya yang sedang tidur. Begitu juga
sebaliknya. Tak peduli wanita atau lelaki itu suka
atau tidak suka.

Kita lanjutkan kisah aneh AAT. Di adegan pernikahan
kedua si Fahri, penonton diuji imajinasinya. Atau
sutradara ingin menyembunyikan fakta bahwa di Mesir
para pemudanya juga doyan pacaran seperti di
Indonesia. Karena ternyata si Maryam begitu menaruh
hati pada Fahri sesuai buku hariannya. Dan si Fahri
pun ternyata buaya. Dalam kealimannya ternyata dia
mencintai Maryam. Dan keduanya sering ngobrol (atau
pacaran?) di tepi sungai Nil. Jadi mana unsur
dakwahnya? Film ini tak ubahnya cerita-cerita roman
sinetron yang mengisi prime time di TV-TV kita. Hanya
bungkusnya Al Azhar, sungai Nil, dan tulisan-tulisan
Arab, serta wajah-wajah Indo-Arab.

Terlepas dari syah atau tidaknya pernikahan si Fahri
dengan Maryam, ketiga makhluk berlainan jenis itu
kemudian bisa hidup bahagia dalam satu rumah. Tentu
saja rumahnya Aishah. Tapi sayang, sutradara malah
memilih "mematikan" tokoh Maryam, istri kedua Fahri.
Hanya saja kematiannya sengaja didramatisir, terjadi
ketika Maryam sedang shalat dalam keadaan berbaring.
Endingnya tetap saja meniru tokoh Cinderella dan
pangeran yang hidup bahagia berdua selama-lamanya.
Kehadiran Maryam dirasa mengganggu keharmonisan rumah
tangga.

Film ini memang diangkat ke layar lebar dari Novel
dengan judul yang sama, Ayat-Ayat Cinta. Tapi si
pembuat film tidak mau sedikit berimprovisasi, merubah
sedikit jalan ceritanya supaya lebih pas disuguhkan di
layar lebar, yang punya durasi kurang dari 2 jam. 
Novel adalah cerita yang tidak bisa habis dalam sehari
bisa dibaca (kecuali yang membaca tak punya kesibukan
cari duit). Dan tak akan muat bila dijejalkan dalam
waktu 150 menit.

Kalau film ini tak ada istimewanya dengan
sinetron-sinetron lainnya, kenapa laris? Bahkan
kabarnya sampai tulisan ini diketik, sudah 2 juta
tiket terjual. Tentu saja karena memang kemampuan
penonton kita baru sampai segitu. Terus topiknya
sedikit menyinggung poligami dan benuansa islami. Tapi
menurut saya tidak islami, sebab, kalau memang mau
menyuguhkan kisah yang islami, ending cerita mustinya
berakhir dengan ketiganya yang hidup bahagia dalam
satu rumah. Kalau perlu wanita yang telah menuduh si
Fahri memperkosanya juga dinikahi. Begitu juga mantan
kekasihnya di kampung yang stress berat, juga
dinikahi. Jadi istrinya empat. Hidup dalam satu rumah.
Hidup happily ever and after. Mungkin belum ada
sutradara dan produser yang berani membikin film
seperti itu. Nantilah, saya yang bikin. Tapi mau
praktek dulu.

Wassalam 

M. Abdulah

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke