Lha iya memang begitu.
Namanya juga film yg diambil dari novel fiksi.
Critanya saja mungkin sudah tidak masuk diakal [ meskipun tuturan bahasanya 
bagus, ini yg saya pujikan]
Ketika dituangkan ke film, skenarionya boleh saja diubah sesuai kepentingan 
produser.
Dalam arti film harus mempunyai nilai komersil: harus indah, kalo sedih juga 
wajahnya harus indah.
kalo miskin juga penampakannya harus indah
:-))

Salam, 
l.meilany

  ----- Original Message ----- 
  From: mediacare 
  To: wanita-muslimah@yahoogroups.com ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; 
[EMAIL PROTECTED] ; wartawan indonesia ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] 
; wolu 
  Sent: Friday, March 28, 2008 10:50 PM
  Subject: [wanita-muslimah] Ayat-Ayat Cinta, hati-hati menontonnya


  Ayat-Ayat Cinta, hati-hati menontonnya

  Oleh: [EMAIL PROTECTED]

  Menonton film Indonesia? Rasanya walaupun diberi
  imbalan HP Nokia terbaru saya kok memilih lebih baik
  menemani ponakan saya main petak-umpet.. Kenapa
  begitu. Film Indonesia, Sinetron Indonesia, setiap
  kali saya - tanpa sengaja - menontonnya, malah membuat
  saya seperti orang bodoh. Jalan ceritanya terlalu
  mudah untuk dicerna dan ditebak. Dialog-dialognya
  kosong dan tak ada yang memancing indera
  "keingintahuan". Personil yang main juga tidak
  didukung dengan karakter yang tajam. Aktingnya terasa
  sekali dibuat - buat. Yang ditonjolkan hanya
  wajah-wajah cantik yang mengundang imajinasi porno
  para penontonnya. 

  Begitu juga dengan film Indonesia terbaru, Ayat-ayat
  Cinta (AAT). Tidak ada hal yang baru dalam alur
  ceritanya. Semuanya berputar-putar pada masalah 
  primitif hawa nafsu manusia, hubungan lain jenis, yang
  90 persen menjadi topik film dan sinetron Indonesia.

  Kalau bukan karena istri saya yang merengek-rengek
  minta nonton film kacangan seperti itu, saya tak akan
  merepotkan diri membuang duit ke bioskop. Bujukan saya
  untuk membeli VCD bajakannya saja ternyata tidak
  mempan. "Kalau nonton di VCD kan bisa diulang-ulang
  dan lebih murah," Rayu saya. Tapi bibirnya malah makin
  manyun, pipinya jadi merah, dan tubuh saya habis
  dicubitin. "Tapi ini bagus, Mas. Ceritanya Islami dan
  tetang poligami", serunya. Wah, kalau alasan yang
  terakhir itu saya tertarik. Akhirnya sebagai suami
  yang sayang istri, saya pun dengan gentleman
  mengantarnya nonton. 

  Benar tuduhan saya terhadap film AAT. Jalan ceritanya
  membuat saya menguap berkali-kali. Topik yang
  disuguhkan tidak fokus. Ceritanya sendiri mengisahkan
  seorang mahasiswa Indonesia yang sedang menuntut ilmu
  di Mesir. Di mana lagi kalau bukan di Universitas Al
  Azhar yang kesohor itu. Tapi di situ tidak dijelaskan,
  sang bintang, yang bernama Fahri, mengambil fak apa,
  jurusan apa. Pokoknya kuliah, gitu aja. 

  Dan selama film berlangsung, saya menunggu-nunggu
  setting gambar fisik bangunan Al Azhar yang sudah
  berumur 1000 tahun itu. Tapi sampai film habis, tak
  diperlihatkan sama sekali suasana kampus, suasana para
  pemain yang sedang kuliah menuntut ilmu dengan
  dosen-dosennya yang brilian. Atau sebagian bentuk
  bangunan Al Azharnya. Malah pemandangan tangga kampus,
  yang menurut saya mirip tangga masuk masjid Al Azhar,
  Kebayoran Baru, bukan Al Azhar Kairo. 

  Adegan pertama, terjadi dalam sebuah kereta api. Sang
  bintang menjadi "hero" dengan membela seorang wanita
  bercadar yang hendak ditampar seorang muslim radikal
  karena memberi tempat duduk pada ibu-ibu Amerika.
  Adegan diawali degan sikap dan dialog para penumpang
  di kereta yang terasa mengada-ada. "Ada orang kafir
  lewat" begitu kira-kira mereka berkata. Padahal mereka
  adalah mahasiswa-mahasiswa yang tentunya punya rasa
  humanisme yang tinggi. Mesir adalah negara muslim yang
  moderat dan cenderung liberal. Jadi bukan hal aneh
  lagi kalau ada cewek asing lewat. Dan tak akan mungkin
  mereka mendisposisikan turis itu sebagai "kafir"
  secara explisit. Attitude seperti itu sangat
  melecehkan warga Mesir (dan muslim), karena segitu
  banyak penumpang, masak tak ada yang mau memberi
  tempat duduk pada wanita tua, walaupun beda agama.
  Yang memberi tempat duduk malah seorang muslimah
  bercadar yang berkewarganegaraan Jerman, Aishah.

  Seperti sinetron-sinetron lainnya, sang wanita yang
  dibela kemudian merasa simpati terhadap "pahlawannya"
  yang telah membelanya, apalagi wajah si pembela bonyok
  dihantam si penjahat. Di sini supaya lebih heroik
  sebenarnya si Fahri tidak perlu ditolong oleh
  kawan-kawannya. Dengan ilmu kanuragan ala Lamongan
  mustinya si Fahri bisa membela diri, gitu. Walaupun
  nantinya si penjahat ternyata lebih sakti, dan si
  Fahri kalah. 

  Drama babak pertama berakhir dengan kemenangan si
  penjahat yang berteriak "Allahu Akbar". Di sini saya
  bingung. Kenapa si antagonis, extrimis muslim yang
  keras kepala tsb sampai akhir cerita tidak dimunculkan
  lagi. Ceritanya akan sedikit lebih bagus kalau orang
  yang mukul si Fahri tsb kemudian menyadari
  kekeliruannya dan kembali ke jalan yang benar.

  Sang amerika yang ditolong Aishah ternyata adalah
  jurnalis yang sedang mengadakan penelitian mengenai
  Islam. Si Fahri, yang membela Aishah, ternyata
  kemudian dijadikan nara sumber. Dalam wawancara antara
  jurnalis dan Fahri nampak sekali kemiskinan dialog
  yang disuguhkan. Setiap pertanyaan si jurnalis selalu
  dijawab Fahri dengan singkat, ditambahi dengan kata,
  "Semuanya sudah saya tulis di buku saya". Kalau
  begitu, ngapain si Jurnalis jauh-jauh datang dari
  amrik, mendingan baca artikel tentang Islam di
  internet. Cukup dua pertanyaan saja yang dimunculkan
  di film itu. Lalu adegan berganti. Cewek amrik itu tak
  pernah dimunculkan lagi sampai film habis. Mustinya
  sutradara lebih jeli dengan memunculkannya di hari
  pernikahan Fahri.

  Adegan berganti dengan acara ta'aruf antara Aishah
  dan Fahri. Si Fahri yang hanya anak penjual tape,
  ditaksir si Aishah yang anak konglomerat Jerman. Tokoh
  Aishah di sini sangat tidak mirip dengan wajah
  Jerman. Mungkin terlalu mahal untuk menyewa artis
  Jerman asli. Begitu juga dengan orang-orang Mesirnya,
  banyak yang gadungan. Disewa dari hasil pencarian di
  pinggir-pinggir jalan Matraman (kasar amat. Sorry).
  Mereka hanya turunan. Untung hidungnya masih kelihatan
  mancung. 

  Walaupun si Fahri mengaku miskin, anak penjual tape
  (tapi bisa punya ongkos ke Mesir). Cinta Aishah tak
  terpatahkan. Semua biaya akan ditanggung pihak wanita.
  Enak tenaaan. Itulah sinetron. Padahal di dunia nyata,
  sekaya apa pun seorang perempuan, pasti dia akan
  mencari lelaki yang lebih kaya. 

  Di antara kebingungan antara kawin dengan tidak
  kawin, si pemeran utama menemui gurunya. Di sini saya
  merasa sangat dilecehkan. Pertemuan murid dan guru
  sebuah perguruan prestisius setingkat Azhar terjadi di
  sebuah ruangan gelap, mirip di sudut-sudut musholla,
  ketika seorang ustadz mengajar Iqra muridnya, di
  kampung saya. Mungkin si sutradara mengira, Al Azhar
  itu gak beda dengan halaqah-halaqah pengajian Kebon
  Jeruk, bukan universitas yang ada kursi dan bangkunya,
  lengkap dengan papan tulisnya.

  Cerita singkatnya, si lakon kemudian "merit" dengan
  Aishah. Bulan madu dihabiskan di sebuah "kastil". Di
  tengah suasana bulan madu, ternyata banyak gadis yang
  patah hati dengan menikahnya Fahri dengan Aishah.
  Salah satunya adalah Maryam. Maryam depresi berat
  mengetahui Fahri kawin dengan wanita lain. Aneh.
  Padahal pacaran aja enggak. Kok bisa patah hati. Fahri
  adalah penganut Islam yang textual (walaupun tidak
  jenggotan). Bersalaman dengan perempuan saja tidak
  mau, apalagi mau berkhalwat (menyepi) dengan wanita
  yang bukan ibunya, kok tahu-tahu gadis-gadis
  bergelimpangan kehilangan gairah hidup mengetahui
  Fahri tidak kawin dengan mereka. Aneh bukan? Nikmati
  saja. Udah terlanjur beli tiket.

  Namun cerita bulan madu kedua sejoli itu tiba-tiba
  berubah berantakan, ketika si Fahri difitnah seorang
  wanita miskin yang merasa ditolak cintanya. Tuduhannya
  sangat berat, pemerkosaan. Tanpa alif, ba, ta,
  (gantinya ba, bi, bu) si Fahri dijebloskan ke penjara
  yang dipenuhi tikus. Sejorok itukah sebuah penjara di
  Mesir? Perlu klarifikasi. 

  Dalam adegan di penjara ini, si sutradara nampak
  sekali memaksakan unsur "dakwahnya" yang diklaim
  sebagai film bernuansa islami. Ketika si pengantin
  baru itu memarahi Tuhan, dan mengomeli nasibnya,
  rekannya satu sel memberi nasehat dengan kisah Nabi
  Yusuf. Amat sangat tidak klop. Dalam Ushul Fiqh,
  mengkiyaskan sesuatu dengan hal yang berbeda itu
  bathil. Nabi Yusuf, yang memfitnah adalah wanita
  bangsawan. Sedang di kisah AAT, seorang gadis miskin
  yang patah hatilah yang memfitnah Fahri. Nabi Yusuf
  berdoa, lebih suka dipenjara daripada menuruti nafsu
  bejat para wanita bangsawan. Sedang Fahri tidak suka
  dipenjara, karena masih mencintai istrinya yang
  konglomerat.

  Mustinya cerita AAT dibalik. Si gadis miskin itulah
  yang menikah dengan Fahri. Lalu Aishah datang
  menggodanya, dengan segala kekuasaan harta dan
  kecantikannya. Pasti ceritanya lebih seru. Baru cerita
  Nabi Yusuf terasa lebih mirip dijadikan dalil.

  Seandainya sutradara punya instink yang lebih
  kreatif, tokoh yang menjadi rekan satu penjara dengan
  si Fahri adalah si muslim radikal yang muncul di
  adegan pertama di atas. Alasan di penjaranya karena
  terorisme. Sedang Fahri karena tuduhan pemerkosaan.
  Terus si Fahri, dengan kecerdasan emosional dan
  intelektualnya berhasil menyadarkan si teroris.
  Bukannya mencak-mencak meratapi nasib (Merengek
  seperti keponakan saya kehilangan baju Spiderman).
  Sebuah adegan klise dari sineas Indonesia. Dapat
  hadiah, nangis. Dapat musibah, nangis. Ditinggal ke
  pasar, nangis. Ditinggal suami, meraung-raung.

  Kembali ke pokok persoalan. Istri si Fahri ternyata
  bukan tipe gadis cengeng yang menyerah begitu saja
  pada nasib. Dia berusaha sebisa mungkin membebaskan
  suaminya. Penonton film ini terasa sekali dipaksa
  untuk merasa bahwa perjuangan Aishah sangat berat.
  Tapi penggambarannya sangat hambar.
  Rintangan-rintangan yang dilalui istri Fahri terlalu
  mudah diselesaikan. Tanpa kesan yang menggigit.
  Tahu-tahu si Fahri bisa keluar penjara. 

  Ternyata saksi kunci bahwa Fahri bukan pemerkosa ada
  pada Maryam, yang sedang sekarat karena patah hati dan
  ketabrak mobil. (entah kenapa para penonton seperti
  tidak bosan-bosannya disuguhi adegan wanita stress
  ketabrak mobil). Entah dapat ide dari mana, si wanita
  Jerman itu tiba-tiba saja meminta Fahri mengawini
  Maryam. Tentu saja si Fahri tidak mau. Tapi karena
  melihat kondisi Maryam yang semakin koma, akhirnya
  beliau mau juga.

  Kembali di sini saya bertanya-tanya. Setahu saya,
  pernikahan dalam Islam itu harus dilakukan dalam
  keadaan sadar oleh semua pihak. Sedangkan dalam film
  ini, si Maryam kondisinya koma alias tidak sadar. Kok
  bisa dinikahkan oleh para pemeluk islam yang taat?
  Atau ada mazhab baru yang membolehkannya? Kalau ada,
  sangat berbahaya. MUI harus bertindak. Sebab diilhami
  film ini, bisa saja nanti seorang lelaki menikahi
  wanita pujaannya yang sedang tidur. Begitu juga
  sebaliknya. Tak peduli wanita atau lelaki itu suka
  atau tidak suka.

  Kita lanjutkan kisah aneh AAT. Di adegan pernikahan
  kedua si Fahri, penonton diuji imajinasinya. Atau
  sutradara ingin menyembunyikan fakta bahwa di Mesir
  para pemudanya juga doyan pacaran seperti di
  Indonesia. Karena ternyata si Maryam begitu menaruh
  hati pada Fahri sesuai buku hariannya. Dan si Fahri
  pun ternyata buaya. Dalam kealimannya ternyata dia
  mencintai Maryam. Dan keduanya sering ngobrol (atau
  pacaran?) di tepi sungai Nil. Jadi mana unsur
  dakwahnya? Film ini tak ubahnya cerita-cerita roman
  sinetron yang mengisi prime time di TV-TV kita. Hanya
  bungkusnya Al Azhar, sungai Nil, dan tulisan-tulisan
  Arab, serta wajah-wajah Indo-Arab.

  Terlepas dari syah atau tidaknya pernikahan si Fahri
  dengan Maryam, ketiga makhluk berlainan jenis itu
  kemudian bisa hidup bahagia dalam satu rumah. Tentu
  saja rumahnya Aishah. Tapi sayang, sutradara malah
  memilih "mematikan" tokoh Maryam, istri kedua Fahri.
  Hanya saja kematiannya sengaja didramatisir, terjadi
  ketika Maryam sedang shalat dalam keadaan berbaring.
  Endingnya tetap saja meniru tokoh Cinderella dan
  pangeran yang hidup bahagia berdua selama-lamanya.
  Kehadiran Maryam dirasa mengganggu keharmonisan rumah
  tangga.

  Film ini memang diangkat ke layar lebar dari Novel
  dengan judul yang sama, Ayat-Ayat Cinta. Tapi si
  pembuat film tidak mau sedikit berimprovisasi, merubah
  sedikit jalan ceritanya supaya lebih pas disuguhkan di
  layar lebar, yang punya durasi kurang dari 2 jam. 
  Novel adalah cerita yang tidak bisa habis dalam sehari
  bisa dibaca (kecuali yang membaca tak punya kesibukan
  cari duit). Dan tak akan muat bila dijejalkan dalam
  waktu 150 menit.

  Kalau film ini tak ada istimewanya dengan
  sinetron-sinetron lainnya, kenapa laris? Bahkan
  kabarnya sampai tulisan ini diketik, sudah 2 juta
  tiket terjual. Tentu saja karena memang kemampuan
  penonton kita baru sampai segitu. Terus topiknya
  sedikit menyinggung poligami dan benuansa islami. Tapi
  menurut saya tidak islami, sebab, kalau memang mau
  menyuguhkan kisah yang islami, ending cerita mustinya
  berakhir dengan ketiganya yang hidup bahagia dalam
  satu rumah. Kalau perlu wanita yang telah menuduh si
  Fahri memperkosanya juga dinikahi. Begitu juga mantan
  kekasihnya di kampung yang stress berat, juga
  dinikahi. Jadi istrinya empat. Hidup dalam satu rumah.
  Hidup happily ever and after. Mungkin belum ada
  sutradara dan produser yang berani membikin film
  seperti itu. Nantilah, saya yang bikin. Tapi mau
  praktek dulu.

  Wassalam 

  M. Abdulah

  [Non-text portions of this message have been removed]



   

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke