assalamu alaikum,
berikut adalah 'laporan' teman saya yang sedang hidup di Belanda, tentang
frenzy dan kontroversi Fitna-nya Geert Wilders. apa Opa Djusfiq punya data
lain yang membantah teman saya ini?
salam,
satriyo

Kamis, 03 April 2008
Opini Cuma Lagu Usang, Meneer Wilders?

*Ekky Imanjaya*
Mahasiswa S-2 Kajian Film Universitas Amsterdam, Belanda

Akhirnya film *Fitna the Movie* besutan Geert Wilders (dan Scarlett
Pimpernel) beredar juga di Internet, satu hari lebih cepat dari rencana.
Dari Wikipedia, yang diklaim sebagai situs resmi setelah website awal
ditutup provider-nya, film ini diunduh 1,6 juta kali dalam dua jam. Versi
bahasa Inggrisnya diunduh 800 kali. Televisi *Het Gesprek* juga sudah
menayangkannya lewat laptop.

Seperti yang sering diulang-ulang oleh Wilders, isi film ini seputar
pembuktian atau pembenaran ucapannya bahwa Al-Quran adalah kitab fasis,
seperti *Mein Kampf* karya Hitler, dan mengajarkan terorisme.

Dari segi isi, sama sekali tidak ada yang baru dari film ini, hanya seputar
Islamofobia dan konsep jihad dari kelompok Islam garis keras. Tambahannya
adalah isu lokal bahwa terjadi Islamisasi di Eropa, khususnya Belanda, dan
itu mengancam kebebasan di sana. "Islam telah menyihir Belanda", "Parlemen:
Tidak ada larangan burqa." Begitu isi kutipan dari film tersebut.

Berdurasi 18 menit, film dibuka dengan karikatur Nabi Muhammad yang pernah
dimuat di Denmark, lantas cuplikan ayat-ayat jihad, berbagai aksi terorisme
atas nama Islam, kasus-kasus semacam Ayaan Hirsi Ali dan Salman Rushdie, dan
penggalan ceramah garis keras. Lalu ada ramalan masa depan Eropa yang penuh
darah seandainya Islam berkuasa. Misalnya, ada kartu pos bertuliskan
"Selamat Datang di Belanda" dengan gambar berbagai masjid, dan bukan simbol
semacam kincir angin. Padahal saat ini mencari masjid di Belanda susah
sekali, dan hampir tak ada masjid berkubah atau berbentuk masjid seperti
pada umumnya di negeri muslim. Aturannya pun sangat ketat, misalnya tidak
boleh terdengar suara azan dan tidak boleh ada keluhan dari tetangga
sekitar.

Dalam film itu tidak ada suara narator, tidak ada suara dari kelompok Islam
moderat atau liberal ataupun suara yang berseberangan lainnya. Film ini
hanya berisi lagu usang bergaya pamfletis. Harap maklum, ini propaganda,
sebuah "genre" yang sudah sangat kuno, mirip-mirip film propaganda zaman
pendudukan Jerman atau Jepang.

Masalahnya, ekspektasi saya ternyata berlebihan, karena dari segi kualitas
juga film ini tak lebih dari karya amatir pengunggah sebuah klip video
rumahan di *YouTube*. Malah terkesan membosankan. Berbeda jauh dengan, ambil
contoh film "sejenis", *Submission* karya Theo van Gogh. Wilders sangat
sadar bahwa film adalah media ampuh untuk menyebarkan ide, tapi ia gagal
mengkonkretkannya.

Ada beberapa hal menarik dalam soal ini. Pertama, Wilders begitu ketakutan
akan bertambahnya pendatang yang kebanyakan dari Maroko dan Turki dan
menyimpulkannya sebagai ancaman Islamisasi Eropa (dan melenyapkan identitas
kultural Belanda). Masalahnya adalah integrasi, dan bukan agama kaum
imigrannya. Mengapa tidak berkutat pada hal hukum dan perundangan? Bukankah
Belanda dikenal sebagai negara yang sangat ketat menegakkan hukum?

Kedua, tentu saja hal ini mencederai semangat pluralisme dan
multikulturalisme yang selama ini menjadi citra Belanda. Tidak sedikit yang
sebal dengan pemimpin *Partij voor de Vrijheid* (Partai untuk Kebebasan)
itu, entah karena dia mendominasi siaran televisi dan/atau ide yang
dibawanya. "Aduh, lagi-lagi berita soal Wilders!", tulis tabloid gratis
berbahasa Inggris, *Amsterdam Weekly*, Volume 5 Issue 5 (31 Januari-6
Februari), di halaman sampul. Tabloid ini menangkap kegelisahan warga
Belanda, "Sebenarnya, Al-Quran atau Wilders yang menimbulkan krisis, sih?";
"Baguslah ada orang yang berteriak anti-Islamofobia. Saya sudah lelah dengan
perilaku Wilders. Semangat anti-Islam ini sudah terlalu diekspos, dan saya
pikir Geert Wilders menyebabkan lebih banyak masalah untuk masyarakat
Belanda daripada yang pernah dilakukan Islam sendiri," kata beberapa warga
Amsterdam saat diwawancarai tabloid tersebut.

Demo anti-Wilders terjadi beberapa kali di Dam Square, Amsterdam. Pada 26
Januari, ribuan orang hadir, dan jumlah ini jauh lebih banyak dari
demonstran pro- Wilders yang tampil sebelumnya tapi bubar beberapa jam
sebelum jadwal. "*Stop the witch hunt against muslims*," kata mereka. Yang
terbesar adalah aksi dari *Netherlands Bekent Kleur* (Belanda Mengenal
Warna, semacam koalisi pelangi) pada 21 Maret lalu. Sekitar 7.000 orang,
dari kaum gay hingga pembela kemerdekaan Palestina, merayakan Hari
Anti-Rasisme. Bidikan mereka sudah pasti Wilders, yang pada posternya
digambarkan sebagai koboi penyebar semangat peperangan. Saya rasakan,
suasana demonstrasi itu lebih mirip konser rakyat, dengan gerai pameran
produksi dari berbagai lembaga swadaya masyarakat. Membalik teori Wilders,
justru bagi mereka Wilders-lah yang mirip Hitler. Kelompok itu menyatakan
bahwa muslim sudah menjadi bagian dari rakyat Belanda dan seharusnya semua
pihak menerima mereka sebagaimana menerima pihak lainnya.

Ketiga, alasan kebebasan berekspresi yang selama ini jadi kebanggaan warga
Belanda. Itulah argumen mengapa *Fitna* tidak dilarang. Tapi justru menjadi
paradoks, mengingat Wilders berupaya memberangus dan menyerang kebebasan
umat Islam. Seharusnya, pembela kebebasan adalah seorang pluralis, dan
seorang pluralis harus siap bersanding dengan gagasan dari pihak lain,
termasuk dari kaum anti-pluralis sekalipun. Jadi, bukannya dibalas dengan
tindakan yang juga militan, garis keras, dan "fundamentalis", hingga
mengkhianati konsep kebebasan itu sendiri.

*Fitna* tidak dituntut ke meja hijau karena dianggap tidak melanggar hukum
apa pun. Dan memang demikian juga seharusnya perilaku terhadap pendatang
muslim: tidak dihukum sebelum terbukti bersalah. Untuk membuktikan Wilders
bersalah atau tidak, sebaiknya muslim Belanda menuntut Wilders ke meja hijau
untuk diproses hukum, paling tidak untuk pasal "perbuatan tidak menyenangkan
di depan publik". Setidaknya itu tidak kontraproduktif dari sekadar
marah-marah atau malah bertindak anarkistis. Sayang, tidak ada hukum yang
menyatakan bahwa film yang terbukti jelek dan tidak bermutu bisa juga
dituntut.

Tentu saja, film ini menggambarkan satu sisi dari muslim (walau Wilders
bilang Islam dan bukan muslim yang bermasalah), dan seharusnya kita juga
menganggap bahwa Wilders hanyalah satu sisi dari Belanda dan tak perlu
melakukan *gebyah uyah* seperti yang dilakukan Wilders terhadap Islam. Lagi
pula, itu cuma lagu usang, dan sepertinya bukan isu favorit banyak orang di
Belanda.

Setelah Fitna, agaknya giliran film animasi, *The Life of Mohammed* yang
akan menggebrak pada 20 April mendatang, seperti disitir stasiun televisi *
Netwerk*. Isinya, di antaranya, tentang Sang Nabi dan persoalan seksual. Ah,
lagi-lagi lagu lama.

-- 
Sesungguhnya, hanya dengan mengingat Allah, hati akan tenang


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke