Cuma Lagu Usang, Meneer Wilders?  Ekky Imanjaya, Mahasiswa S-2 Kajian Film 
Universitas Amsterdam, Belanda  Akhirnya film Fitna the Movie besutan Geert 
Wilders (dan Scarlett Pimpernel) beredar juga di Internet, satu hari lebih 
cepat dari rencana. Dari Wikipedia, yang diklaim sebagai situs resmi setelah 
website awal ditutup provider-nya, film ini diunduh 1,6 juta kali dalam dua 
jam. Versi bahasa Inggrisnya diunduh 800 kali. Televisi Het Gesprek juga sudah 
menayangkannya lewat laptop.  Seperti yang sering diulang-ulang oleh Wilders, 
isi film ini seputar pembuktian atau pembenaran ucapannya bahwa Al-Quran adalah 
kitab fasis, seperti Mein Kampf karya Hitler, dan mengajarkan terorisme.  Dari 
segi isi, sama sekali tidak ada yang baru dari film ini, hanya seputar 
Islamofobia dan konsep jihad dari kelompok Islam garis keras. Tambahannya 
adalah isu lokal bahwa terjadi Islamisasi di Eropa, khususnya Belanda, dan itu 
mengancam kebebasan di sana. "Islam telah menyihir Belanda",
 "Parlemen: Tidak ada larangan burqa." Begitu isi kutipan dari film tersebut.  
Berdurasi 18 menit, film dibuka dengan karikatur Nabi Muhammad yang pernah 
dimuat di Denmark, lantas cuplikan ayat-ayat jihad, berbagai aksi terorisme 
atas nama Islam, kasus-kasus semacam Ayaan Hirsi Ali dan Salman Rushdie, dan 
penggalan ceramah garis keras. Lalu ada ramalan masa depan Eropa yang penuh 
darah seandainya Islam berkuasa. Misalnya, ada kartu pos bertuliskan "Selamat 
Datang di Belanda" dengan gambar berbagai masjid, dan bukan simbol semacam 
kincir angin. Padahal saat ini mencari masjid di Belanda susah sekali, dan 
hampir tak ada masjid berkubah atau berbentuk masjid seperti pada umumnya di 
negeri muslim. Aturannya pun sangat ketat, misalnya tidak boleh terdengar suara 
azan dan tidak boleh ada keluhan dari tetangga sekitar.   Dalam film itu tidak 
ada suara narator, tidak ada suara dari kelompok Islam moderat atau liberal 
ataupun suara yang berseberangan lainnya. Film ini hanya berisi
 lagu usang bergaya pamfletis. Harap maklum, ini propaganda, sebuah "genre" 
yang sudah sangat kuno, mirip-mirip film propaganda zaman pendudukan Jerman 
atau Jepang.   Masalahnya, ekspektasi saya ternyata berlebihan, karena dari 
segi kualitas juga film ini tak lebih dari karya amatir pengunggah sebuah klip 
video rumahan di YouTube. Malah terkesan membosankan. Berbeda jauh dengan, 
ambil contoh film "sejenis", Submission karya Theo van Gogh. Wilders sangat 
sadar bahwa film adalah media ampuh untuk menyebarkan ide, tapi ia gagal 
mengkonkretkannya.  Ada beberapa hal menarik dalam soal ini. Pertama, Wilders 
begitu ketakutan akan bertambahnya pendatang yang kebanyakan dari Maroko dan 
Turki dan menyimpulkannya sebagai ancaman Islamisasi Eropa (dan melenyapkan 
identitas kultural Belanda). Masalahnya adalah integrasi, dan bukan agama kaum 
imigrannya. Mengapa tidak berkutat pada hal hukum dan perundangan? Bukankah 
Belanda dikenal sebagai negara yang sangat ketat menegakkan hukum?  
 Kedua, tentu saja hal ini mencederai semangat pluralisme dan multikulturalisme 
yang selama ini menjadi citra Belanda. Tidak sedikit yang sebal dengan pemimpin 
Partij voor de Vrijheid (Partai untuk Kebebasan) itu, entah karena dia 
mendominasi siaran televisi dan/atau ide yang dibawanya. "Aduh, lagi-lagi 
berita soal Wilders!", tulis tabloid gratis berbahasa Inggris,  Amsterdam 
Weekly, Volume 5 Issue 5 (31 Januari-6 Februari), di halaman sampul. Tabloid 
ini menangkap kegelisahan warga Belanda, "Sebenarnya, Al-Quran atau Wilders 
yang menimbulkan krisis, sih?"; "Baguslah ada orang yang berteriak 
anti-Islamofobia. Saya sudah lelah dengan perilaku Wilders. Semangat anti-Islam 
ini sudah terlalu diekspos, dan saya pikir Geert Wilders menyebabkan lebih 
banyak masalah untuk masyarakat Belanda daripada yang pernah dilakukan Islam 
sendiri," kata beberapa warga Amsterdam saat diwawancarai tabloid tersebut.   
Demo anti-Wilders terjadi beberapa kali di Dam Square, Amsterdam. Pada 26
 Januari, ribuan orang hadir, dan jumlah ini jauh lebih banyak dari demonstran 
pro- Wilders yang tampil sebelumnya tapi bubar beberapa jam sebelum jadwal. 
"Stop the witch hunt against muslims," kata mereka. Yang terbesar adalah aksi 
dari Netherlands Bekent Kleur (Belanda Mengenal Warna, semacam koalisi pelangi) 
pada 21 Maret lalu. Sekitar 7.000 orang, dari kaum gay hingga pembela 
kemerdekaan Palestina, merayakan Hari Anti-Rasisme. Bidikan mereka sudah pasti 
Wilders, yang pada posternya digambarkan sebagai koboi penyebar semangat 
peperangan. Saya rasakan, suasana demonstrasi itu lebih mirip konser rakyat, 
dengan gerai pameran produksi dari berbagai lembaga swadaya masyarakat. 
Membalik teori Wilders, justru bagi mereka Wilders-lah yang mirip Hitler. 
Kelompok itu menyatakan bahwa muslim sudah menjadi bagian dari rakyat Belanda 
dan seharusnya semua pihak menerima mereka sebagaimana menerima pihak lainnya.  
Ketiga, alasan kebebasan berekspresi yang selama ini jadi kebanggaan
 warga Belanda. Itulah argumen mengapa <I>Fitna<I> tidak dilarang. Tapi justru 
menjadi paradoks, mengingat Wilders berupaya memberangus dan menyerang 
kebebasan umat Islam. Seharusnya, pembela kebebasan adalah seorang pluralis, 
dan seorang pluralis harus siap bersanding dengan gagasan dari pihak lain, 
termasuk dari kaum anti-pluralis sekalipun. Jadi, bukannya dibalas dengan 
tindakan yang juga militan, garis keras, dan "fundamentalis", hingga 
mengkhianati konsep kebebasan itu sendiri.  Fitna tidak dituntut ke meja hijau 
karena dianggap tidak melanggar hukum apa pun. Dan memang demikian juga 
seharusnya perilaku terhadap pendatang muslim: tidak dihukum sebelum terbukti 
bersalah. Untuk membuktikan Wilders bersalah atau tidak, sebaiknya muslim 
Belanda menuntut Wilders ke meja hijau untuk diproses hukum, paling tidak untuk 
pasal "perbuatan tidak menyenangkan di depan publik". Setidaknya itu tidak 
kontraproduktif dari sekadar marah-marah atau malah bertindak anarkistis. 
Sayang,
 tidak ada hukum yang menyatakan bahwa film yang terbukti jelek dan tidak 
bermutu bisa juga dituntut.  Tentu saja, film ini menggambarkan satu sisi dari 
muslim (walau Wilders bilang Islam dan bukan muslim yang bermasalah), dan 
seharusnya kita juga menganggap bahwa Wilders hanyalah satu sisi dari Belanda 
dan tak perlu melakukan gebyah uyah seperti yang dilakukan Wilders terhadap 
Islam. Lagi pula, itu cuma lagu usang, dan sepertinya bukan isu favorit banyak 
orang di Belanda.  Setelah Fitna, agaknya giliran film animasi, The Life of 
Mohammed yang akan menggebrak pada 20 April mendatang, seperti disitir stasiun 
televisi Netwerk. Isinya, di antaranya, tentang Sang Nabi dan persoalan 
seksual. Ah, lagi-lagi lagu lama.
 (Sumber: Koran Tempo, 3 April 2008)
 

minds are like parachutes. they work best when open.
       
---------------------------------
You rock. That's why Blockbuster's offering you one month of Blockbuster Total 
Access, No Cost.

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke