sharing seputar Fitna dari opini koran tempo. salam, satriyo -- Sesungguhnya, hanya dengan mengingat Allah, hati akan tenang -- al-Ra'd [13]: 28
Rabu, 16 April 2008 *Opini* *Fitna dan Respons Publik Belanda* *Endang Suryadinata,* peminat sejarah Indonesia-Belanda, alumnus Erasmus Universiteit Rotterdam Respons atas film *Fitna* di Tanah Air begitu luar biasa, seperti tampak pada laporan majalah *Tempo* (edisi 3-7 April 2008) atau analisis (Opini *Koran Tempo*, 11 April 2008). Tapi bagaimana respons publik Belanda sendiri kita perlu melihatnya, paling tidak untuk memenuhi prinsip *cover both side*(keberimbangan). Tentang respons publik Belanda, akan penulis kutipkan dulu pendapat Wilfred C. Smith yang pernah menulis: "Selama manusia tidak mau belajar membina saling pengertian dan mencintai satu sama lain dan selama kita tidak bisa membina satu dunia--yang di dalamnya seluruh manusia dari berbagai agama dan keyakinan bisa hidup bersama dengan tenang--masa depan planet ini tidak akan cerah." Pesan Wilfred menjadi inti seruan 58 tokoh lintas agama Belanda di harian * Trouw* edisi awal 2008, mengenai rencana Geert Wilders membuat film anti-Islam. Seruan mereka bertajuk "Benoemen en Bouwen" atau "Menyebut dan Membangun" bertujuan mencegah polarisasi masyarakat Belanda akibat ulah Geert Wilders yang mengusung semangat anti-Islam. Berulang kali imbauan disampaikan para tokoh itu agar Wilders tak melanjutkan niatnya membuat film anti-Islam. Sebab, jika niat itu sudah terealisasi, dalam negara bebas seperti di Belanda, tak ada yang bisa menghalangi, termasuk pemerintah sekalipun. Jika dihalangi, pemerintah malah dinilai melanggar kebebasan. Maka seruan agar produk-produk Belanda diboikot, karena pemerintah Belanda dinilai tidak tegas terhadap Wilders, jelas salah sasaran dan tidak membantu menyelesaikan masalah. Apalagi Wilders dan filmnya tidak mewakili pemerintah dan seluruh warga Belanda. Jangan lupa pula, di Belanda ada hampir satu juta imigran muslim dan sebagian mereka bekerja di berbagai perusahaan. Jika produk Belanda diboikot, mereka juga akan terkena getahnya. Dalam dialog antara Duta Besar Belanda untuk Indonesia Nikolaos van Dam dan pemimpin organisasi massa Islam serta duta besar negara-negara Islam di gedung Pusat Dakwah PP Muhammadiyah di Jakarta pada 7 April lalu, diserukan langkah kongkret dari pemerintah Belanda. Tapi langkah konkret, semisal menghukum Wilders, akan susah karena memang hukum Belanda lebih menjamin kebebasan berekspresi. Karena itu, Perdana Menteri Jan Peter Balkenende hanya bisa menyesal karena Wilders tetap meluncurkan filmnya. Pemerintah Belanda juga tidak setuju Islam diidentikkan dengan tindak kekerasan. Mayoritas anggota parlemen Belanda juga tak mendukung langkah Wilders. Dalam debat di parlemen awal April lalu juga tak ada anggota parlemen yang mendukung Wilders. Para tokoh lintas agama Belanda tidak pernah lelah menyerukan semangat dialog. Malah, setelah film itu diputar pada 27 Maret lalu, para tokoh itu masih mencoba mencari celah hukum Belanda guna menggugat Wilders. Bas Plaisier dari Gereja Protestan Belanda (PKN) tidak sependapat dengan film yang menjelekkan Islam itu. Tapi hukum Belanda agaknya juga susah menjerat Wilders. Kita jangan melupakan pula sikap mayoritas warga Belanda yang amat toleran yang juga perlu dipertimbangkan. Jadi tidak benar jika ditulis bahwa sebagian mayoritas warga Belanda mengidap islamofobia. Bagaimana mungkin mengidap fobia ini mengingat di Belanda banyak pemikir Islam ditampung di berbagai lembaga riset dan mengajar di universitas. Maka kiranya, di tengah gencarnya unjuk rasa anti-film *Fitna*, khususnya di Kedutaan Besar Belanda di seluruh dunia, termasuk di Jakarta, masih ada ruang untuk tidak menggeneralisasi bahwa semua warga Belanda merestui film *Fitna*. Memang respons atas film itu di berbagai negara, termasuk Tanah Air, lebih ramai dibanding respons di Belanda sendiri. Di Tanah Air, tokoh agama hingga Presiden Yudhoyono berkomentar. Malah Pemerintah RI langsung mencekal Wilders tak boleh masuk Indonesia. Yang menarik juga, siapa pun yang mengedarkan film *Fitna* bisa dihukum. Begitu disiarkan di Internet pada 27 Maret lalu, dalam sehari film itu sudah sejuta kali ditonton. Tapi banyak warga Belanda yang menontonnya tidak antusias lagi. Mereka berkomentar tidak mendapatkan sesuatu yang baru karena sebenarnya film berdurasi 15 menit itu tak lebih seperti fragmen berita di televisi atau guntingan *headline* koran yang sudah pernah disaksikan atau dibaca, seperti serangan teroris di New York, London, dan Madrid. Film itu juga tidak menayangkan fragmen-fragmen tentang Al-Quran yang dibakar. *Belajar berdialog* Tapi apa yang bisa kita timba dari kejadian ini? Kita, baik yang di Tanah Air maupun di Belanda, serta di mana pun selalu akan bertemu dengan orang-orang yang berpandangan ekstrem terhadap agama lain. Sosok seperti Wilders adalah contoh orang yang suka mengukur kebenaran agama lain dari keyakinannya sendiri. Ayat-ayat kitab suci orang lain dicomot seenaknya, lepas dari konteksnya, dan dipakai untuk menghina agama orang lain tersebut. Dan ketika kebenaran dari perspektif sendiri itu dibenturkan dengan kebenaran yang diyakini umat beragama lain, yang muncul kemudian adalah penghinaan. Akhirnya terkesan agama hanya menjadi sarana untuk olok-olok dan merendahkan martabat orang lain. Dunia menjadi tambah kacau karena ketidaksenangan, bahkan kebencian terhadap umat beragama lain, dicarikan salurannya, entah dalam bentuk film atau dalam bentuk penyerangan tempat ibadah mereka. Wilders dan mereka yang suka bertindak anarkistis hanyalah contoh dari mereka yang gemar memakai kacamata kuda dan tidak percaya terhadap kekuatan dialog. Padahal, tanpa berdialog, dunia akan terjerumus dalam salah paham, mudah menggeneralisasi, dan bisa berujung pada konflik atau anarkisme. Tentu sebuah dunia yang muram! Jadi pesan Wilfred C. Smith di awal tulisan ini relevan untuk direspons daripada kita termakan propaganda Wilders lewat filmnya. * koran http://www.korantempo.com/korantempo/2008/04/16/Opini/krn,20080416,65.id.html [Non-text portions of this message have been removed]