http://www.fajar.co.id/news.php?newsid=62745
Menanti Gubernur Perempuan (21 Apr 2008, 117 x , Komentar) Catatan Menyambut Hari Kartini Muliaty Mastura Yusuf,Pengurus Kaukus Perempuan Politik Indonesia Sulsel Seorang politisi perempuan cantik kelahiran Karachi, Benazir Bhutto, dilantik sebagai Perdana Menteri Pakistan pada 2 Desember 1988.Benazir yang kala itu berusia 35 tahun, telah membuktikan bahwa perempuan bisa menjadi pemimpin. Makanya, perempuan Indonesia, Sulawesi Selatan, dan juga Makassar, tidak perlu takut, khawatir, dan minder bahwa agama melarang perempuan sebagai pemimpin. Pada awalnya, Benazir tidak tertarik dengan dunia politik. Dia mulai bangkit ketika ayahnya Zulfikar Ali Bhutto ditahan hingga dijatuhi hukuman gantung pada 1979. Benazir adalah perempuan pertama yang berhasil menjadi Perdana Menteri di sebuah Negara Islam dengan proses pemilihan yang demokratis. Dua periode dia memegang jabatan strategis; periode pertama 1988-1990, dan periode kedua 1993-1996. Sosok Benazir Bhutto dalam tulisan ini, sebagai gambaran singkat untuk memotivasi perempuan-perempuan yang terlibat dalam dunia politik, agar tetap berjuang meraih kekuasaan, tanpa harus memikirkan faktor agama (Islam) menjadi salah satu penghambat kegagalan perempuan menjadi seorang pemimpin. Karena sesungguhnya, Islam tidak membatasi perempuan untuk memilih karier mana pun, including politik sebagai pilihan hidup. Malah ajaran Islam yang universal, mengangkat derajat perempuan, menghancurkan tradisi-tradisi usang, menentang keras penghinaan dan perampasan terhadap hak-hak perempuan. Keuniversalan ajaran Islam dapat dilihat dalam Alquran yang mengupas masalah perempuan lebih dari sepuluh surah. Selain itu, hadis yang diriwayatkan Muslim, Abu Daud dan Ahmad, "Barangsiapa memperhatikan anak perempuannya kemudian mendidiknya, dan bersabar serta bertakwa kepada Allah (dalam proses pemenuhan hak dan kewajibannya), maka balasan baginya ialah surga". Hadis ini jelas memberikan perhatian kepada perempuan. Jadi, secara prinsipil dan normatif ajaran Islam sangat menghargai dan memberdayakan kaum perempuan. Hanya saja, seperti dikemukakan Dr Mansour Fakih, posisi kaum perempuan dalam Islam; tinjauan dari analisis gender, yang tampak dalam masyarakat telah terjadi konstruksi gender yang berakibat pada diskriminasi perempuan. Penindasan dan diskriminasi terhadap perempuan pada dasarnya bukan persoalan kaum laki-laki, melainkan sistem dan struktur ketidakadilan masyarakat dan ketidakadilan gender, di mana salah satunya justru dilegitimasi oleh keyakinan agama yang bias gender. Karenanya, diperlukan sebuah gerakan transformasi, bukan gerakan untuk balas dendam kepada kaum laki-laki, tetapi bagaimana kita bisa menciptakan suatu sistem hubungan laki-laki dan perempuan yang lebih adil. Perempuan dan Partai Politik Pilihan perempuan mengambil jalur politik sebagai kariernya, bukan persoalan mudah. Sebab, orang memandang dunia tersebut hanya pantas bagi kebanyakan laki-laki. Selain itu, peran ganda yang diembannya cukup berat, selain mengurusi domestik juga publik. Mengurus suami, anak-anak, masyarakat, bangsa dan negaranya. Beban ganda ini patut dihargai dan dibanggakan, jika perempuan dapat menjalankan keduanya dengan baik dan benar. Karenanya, sebagai perempuan, jika pilihan itu sudah dijatuhkan maka harus diseriusi hingga mencapai harapan yang hendak dicapai. Lagi-lagi karena adanya mindset (pola pikir) bahwa perempuan identik dengan kelembutan dan jauh dari kekerasan. Padahal sesungguhnya, agresif tidak berarti menghilangkan nuansa-nuansa kelembutan dan keibuan yang ada pada diri perempuan. Perempuan bisa menjadi pemain yang tenang dan cantik. Perempuan bisa merebut kekuasaan dengan caranya sendiri, tanpa harus melukai orang lain. Jadi, sekali lagi, bagi perempuan, jadilah politikus yang baik dan bertanyalah kepada diri sendiri apa sesungguhnya nawaitu kita dalam berpartai. Apakah sekadar meraih kekuasaan? Bagi penulis tidak sesempit itu, yang terpenting kita lakukan di partai adalah bagaimana kita bisa memberikan pendidikan politik, pelayanan publik yang etis serta menjadi pengayom masyarakat. Kita menyadari bahwa dari segi kuantitas, jumlah perempuan yang mau terlibat dalam parpol sangat sedikit. Alasannya macam-macam, antara lain karena melihat dunia politik yang kotor dan kejam. Jumlah yang minim tersebut membuat perempuan tidak bisa berbuat banyak, apalagi untuk mengambil keputusan sendiri masih dimainkan aktor laki-laki. Di sinilah dituntut keberanian untuk bertindak, mengambil langkah-langkah yang bijak dengan tetap melakukan koordinasi dan kerja sama dengan laki-laki. Karena, gender tidak dimaksudkan untuk melawan laki-laki tetapi bagaimana perempuan bisa melakukan kerja sama yang baik. Sehingga persoalan apakah bisa memimpin atau tidak, jangan lagi dipandang dari jenis kelaminnya, tetapi siapa yang dapat menjadi pemimpin yang jujur dan demokratis. Undang-undang yang mengharuskan 30 persen kuota perempuan, mestinya dipikirkan secara bijak, bukan dengan sindiran bahwa perempuan mengemis-ngemis diberikan jatah. Kuota tersebut harus dimanifestasikan bahwa di tingkat kepengurusan partai harus terpenuhi. Ini menjadi urgen sebagai power dalam menjalankan roda politik yang harmonis, dinamis, dan damai. Di sini, perempuan perlu mengaktualisasikan permainan politiknya yang elegan, polite, fair-play, yang tidak mencederai lawan politiknya, apalagi menyebar fitnah. Terutama kepada parpol yang berideologi Islam, tuntutan ini menjadi sebuah keharusan:, tampil sebagai cermin yang baik. Perempuan dan Pilkada Meski diakui jumlah pemilih perempuan sekitar 50,2 persen dari sekitar 211 juta jiwa penduduk Indonesia, namun Pemilihan Umum (Pemilu) yang berlangsung pada 2004 lalu -Pemilu yang dinilai paling demokratis-sepanjang sejarah, ternyata tetap saja belum mengubah wajah keterwakilan perempuan dalam struktur kekuasaan dan proses pengambilan keputusan serta perumusan kebijakan publik, baik pada tingkat eksekutif, legislatif dan yudikatif. Namun demikian, kita tidak perlu pesimis, sebab ghirah perempuan di Pilkada telah menunjukkan titik-titik cerah yang menggembirakan. Kita dapat melihat sosok Hj Ratu Atut Chosiyah yang berhasil menjadi Gubernur Provinsi Banten; Dra Hj Rina Iriani Sri Ratna Ningsih, MHum sebagai Bupati Karanganyar Jawa Tengah, Dra Haeny Relawati Rini Widyastuti, MSi, bupati perempuan pertama di Jawa Timur (ketika dilantik baru berusia 33 tahun), Dra Hj Rustriningsih, MSi, bupati pertama perempuan untuk Kabupaten Kebumen Jawa Tengah, Kapolda perempuan pertama di Provinsi Banten Kombes Polisi Rumiyah. Selain itu, tercatat nama Cut Idawani calon wakil gubernur Aceh lewat jalur independen tetapi gagal karena selisih 105 suara dengan pemenangnya; Mediati Hafni Hanun juga mencalonkan diri sebagai Gubernur Aceh tetapi belum berhasil. Mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan, Khofifah Indar Parawansa saat ini mencalonkan diri sebagai Gubernur Jawa Timur. Bagi Khofifah, dirinya tidak gentar sebagai calon nomor wahid di Jatim, sebab dia sudah pernah menjabat sebagai menteri. Selain itu, semangat dan tekadnya untuk menjadi pemimpin di Jawa Timur sangat berapi-api karena katanya, negeri ini sudah pernah dipimpin oleh seorang perempuan, sehingga tidak sulit baginya dan terhadap perempuan-perempuan di Indonesia untuk menjadi pemimpin. Di Sulawesi Selatan, kita baru memiliki seorang perempuan sebagai Wakil Bupati Selayar, Hj Nursyamsina Aroepala. Pilkada tahun ini, sedikitnya ada dua calon perempuan yang menjagokan dirinya sebagai calon wakil bupati, yakni Hj Andi Sugiarti Mangun Karim (Ketua DPRD) Kabupaten Bantaeng dari Partai Golkar dan calon Wakil Walikota Palopo Andi Timo Pangerang dari Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK) Sulsel. Andi Sugiarti berpasangan dengan Ibrahim Solthan, sementara Timo Pangerang bergandengan dengan Wirawan A Ichsan dengan total dukungan 20,96 persen. Jumlah perempuan yang meramaikan bursa pilkada di Sulawesi Selatan patut diacungi jempol. Untuk ke depan, jumlah tersebut diharapkan lebih meningkat; kita menanti figur-figur lainnya yang tidak saja berani mencalonkan diri sebagai bupati,wakil bupati, walikota,wakil walikota. Tetapi harus pada posisi tertinggi yakni calon gubernur. Keberanian adalah kunci sukses. Kalau ada Ratu Atut di Banten, mengapa Sulawesi Selatan tidak bisa? Insya Allah lima tahun ke depan, perempuan yang akan memegang kepemimpinan di Sulawesi Selatan. Yakinkan bahwa perempuan bisa menjadi pemimpin. Perempuan tidak perlu takut, khawatir, dan minder dengan adanya rambu-rambu bahwa agama melarang, budaya patriarki mesti dijunjung. Hilangkan pemikiran seperti itu karena akan semakin mempersempit ruang gerak perempuan untuk mencapai posisi top leader Sulawesi Selatan. Yakin bahwa di mana ada kemauan di situ ada jalan. Jika tidak bisa melalui pintu partai politik, jalur independen sudah terbuka. Kesiapan memanfaatkan kesempatan tersebut harus dimatangkan sejak sekarang. Atau jangan-jangan kita harus menunggu lagi undang-undang baru yang mengatur kuota gubernur untuk perempuan? ** [Non-text portions of this message have been removed]