TFS mas Akmal ... selintas memang dari pembicaranya saya tangkap 
kesan tidak ada yang berasal dari kalangan yang dituduh mewakili film 
AAC, yakni para "ikhwan" ... atau i missed it?

Saya akui judulnya cukup eye-catching, memancing setidaknya saya 
untuk memulai dengan mengernyitkan dahi, skimming, scanning ... and i 
missed it, again. Entah ada di mana bagian 'konsumtif' yang dimaksud 
oleh judulnya ... :-)

Sekarang gilirannya sudut para pembicara dan mereka kalangan ummat 
yang di mata para pembicara ini mewakili "non-ikhwan", "non islam 
timur tengah" (memang ada berapa macam islam ya?), dll yang mungkin 
off the record pd laporan diskusi ini.

Saya sendiri berani menyatakan bahwa melihat sosok yang menggawangi 
film ini dari nol, plus lumayan tingginya resistensi di 
kalangan "ikhwan" di khalayak "islam indonesia" bahwa film ini jauh 
dari tuduhan para pembicara. Tapi namanya juga opini yang diramu 
dengan paraniod dan khayalan subjektif, tentu jauh panggang dari api.

btw, saya tidak mewakili siapapun selain diri sendiri, jadi jangan 
kaitkan saya dengan "ikhwan", "islam tim-teng", apalagi dng "non-
ikhwan" dan "islam indonesia" ... tapi saya islam  yang anti 
ahmadiyah dan aliran sesat lainnya dan islam yang prihatin pada 
korban mushibah alam dan ketimpangan nasib perempuan, di mana 
saja ... :-)

salam,
satriyo

--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "akmal n. basral" <[EMAIL PROTECTED]> 
wrote:
>
> 
> 
> hamzah sahal <[EMAIL PROTECTED]> wrote: 
>                              'Ayat-Ayat Cinta' Digandrungi karena 
Menyodorkan Budaya Konsumtif 
>     
>    Senin, 21 April 2008 08:18 
>     
>    Canberra, NU Online
>     
>  'Ayat-Ayat Cinta' (AAC) baik film maupun novelnya digandrungi 
karena berhasil memenuhi kebutuhan kalangan Muslim di Indonesia untuk 
mengkonsumsi budaya-budaya yang dianggap bernilai islami.
>     
>  Menjadi Muslim ternyata tidak cukup hanya dengan bersyahadat, 
shalat, zakat, tirakat dan berhaji di tanah Arab. Seseorang merasa 
lebih mantap menjadi Muslim dalam tatanan dunia pasar bebas ini 
dengan mengkonsumsi barang-barang dan budaya-budaya islami itu.
>  Demikian dikemukakan Amrih Widodo, antropolog dan pakar pop-
culture dari Australian National University (ANU) dalam diskusi 
Fenomena Ayat-Ayat Cinta yang diselenggarakan Pengurus Cabang 
istimewa Nahdatul Ulama (PCINU) Canberra bekerja sama dengan 
Persatuan Pelajar Indonesia Australia (PPIA) ANU dan Minaret—sebuah 
kelompok studi sosial keagamaan di Canberra, Kamis (17/4) lalu.
>     
>  Para panelis, demikian dilaporkan kontributor NU Online di 
Canberra Yasir Alimi, menilai, AAC lahir karena tuntutan mapannya 
Muslim kelas menengah ke atas, yang terbentuk sejak 'Haji Suharto' 
menampilkan identitas Islam. 
>     
>  Kemapanan kelas menengah atas ini, menurut Amrih, melahirkan 
kebutuhan dan sirkulasi barang yang bernilai Islam. Kesuksesan AAC 
karena `ideologi estetik popular' yang mengondisikannya.
>     
>  Menurut Amrih, AAC dianggap memberikan teladan nilai-nilai Islam 
serta juklak untuk hidup secara Islami. "Ia memberikan `manual for 
living in Islamic ways'," katanya.
>  Namun Islam yang disajikan di sana ternyata Islam model "Ikhwan". 
Demikian tegas Nabiela, dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya yang menjadi 
pembicara setelah Amrih. Hal ini tampak di antaranya dalam penolakan 
Fahri untuk bersalaman dengan perempuan yang bukan muhrimnya, 
walaupun dengan penolakan itu Fahri masih sering ber-khalwat (mojok) 
dengan Maria.
>     
>  Meski ada elemen-elemen yang menarik seperti pembelaan Fahri 
terhadap seorang Amerika diatas bus kota, namun secara umum Islam 
yang ditampilkan AAC, menurut Nabiela, adalah "Islam Timur Tengah" 
daripada "Islam Indonesia".
>     
>  Hal itu disepakati Amrih dengan mengutip tulisan Hanung--sang 
sutradara film, yang menganggap dirinya mengamati Islam 'dari dekat 
sekali' ketika ia sedang mempersiapkan film tersebut di Kairo.
>     
>  Dalam kesempatan yang sama, Aris Mundayat—Dosen senior 
Anthropologi UGM—menegaskan bahwa AAC adalah bentuk moral panics 
kelas menengah atas serbuan budaya pop barat yang luar biasa deras. 
Saking derasnya pemerintah pun tak kuasa menahan lajunya.
>     
>  Disamping kepanikan simbolik ini, kelas menengah juga menghadapi 
kepanikan yang sangat riil, yaitu drug. "Oleh karena itu, kalau tahun 
80-an di kelas saya hanya 1 atau 2 orang yang pakai jilbab sekarang 
banyak sekali. Pembengkakan jumlah jilbaber ini tidak hanya terjadi 
di dalam kelas tapi juga di luar kelas," tandasnya.
>     
>  Yang mencengangkan, menurut Aris, AAC hamper sama dengan film 
30/S/PKI dalam penggalangan penonton. Kalau film PKI yang 
menggerakkan adalah pemerintah, film AAC yang menggerakkan adalah 
lembaga kerohanian yang menguasai SMA-SMA. Lembaga kerohanian ini 
adalah perluasan setelah dikuasainya kampus-kampus umum.
>     
>  Salah satu contoh penguasaan yang nyaris sempurna adalah di sebuah 
SMAN favorit di Yogyakarta. Disana siswa saling mengawasi 
(surveillance). Kalau ada siswa yang berpacaran dengan tidak secara 
Islami, maka akan dilaporkan.
>     
>  "Penguasaan itu berkembang menjadi diskriminasi sehingga para 
alumni yang beragama non-Muslim pun sekarang juga takut menyekolahkan 
anaknya disekolahan tersebut," katanya. (yas)
>  
>  ---------------------------------
>  Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! 
Mobile.  Try it now.
>  
>  [Non-text portions of this message have been removed]
>  
>  
>      
>                                        
> 
> 
> minds are like parachutes. they work best when open.
>        
> ---------------------------------
> Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile.  
Try it now.
> 
> [Non-text portions of this message have been removed]
>


Reply via email to