Selasa, 22 April 2008

Pemberdayaan Wanita dan Islam 




Asra Virgianita
Doctoral Student, Graduate School of International Studies, Meijigakuin 
University, Jepang

Saya tertarik menulis artikel ini ketika beberapa teman sekampus yang berasal 
dari beberapa negara membicarakan kedudukan wanita dalam tatanan masyarakat di 
negara masing-masing. Saya tersentak ketika mereka membicarakan dan membahas 
lemahnya kedudukan wanita dalam masyarakat Indonesia yang mayoritas penduduknya 
beragama Islam. 

Dalam pikiran mereka, Islam agama yang kaku, keras, dan tidak memberikan ruang 
bagi wanita mendapatkan hak dan persamaan kedudukan dengan laki-laki sehingga 
hal tersebut menjadi kendala bagi wanita Islam dalam mengembangkan dirinya. 
Saya jelas tidak setuju.

Walaupun demikian tidak mudah bagi saya memberikan tanggapan atas pernyataan 
mereka karena saya bukan ahli agama. Selain itu sulit memberikan penjelasan 
kepada mereka yang notabene tidak memiliki agama karena bicara agama tentu saja 
harus didasarkan pada keyakinan. 

Setelah saya renungkan dan mengacu pada hasil analisis penelitian yang pernah 
saya lakukan terkait dengan masalah tersebut, ada beberapa hal yang menurut 
saya sebenarnya tidak disadari masyarakat (domestik maupun internasional) 
tentang fungsi agama (baca: Islam) dalam pemberdayaan wanita, terutama 
berkaitan dengan masalah hak wanita untuk beraktivitas di luar rumah. 

Bagi saya agama bukan penghambat bagi wanita untuk beraktivitas di ranah 
publik. Akan tetapi, sesungguhnya posisi agama menjadi pengontrol bagi wanita 
dalam melakukan aktivitasnya. 

Misalnya, bagi wanita yang sudah berkeluarga dianjurkan meminta izin suami 
sebelum beraktivitas di luar (baca: bekerja), bepergian dengan berpakaian sopan 
dan menutup aurat, ditemani oleh mahramnya (bila memungkinkan). Implementasi 
nilai islam seperti ini tentu saja bukan suatu paksaan bagi wanita Islam karena 
saya pribadi percaya bahwa anjuran tersebut adalah ibadah. Apabila dilaksanakan 
akan menjadi pahala dan membawa manfaat bagi wanita terutama dalam hal 
menyeimbangkan atau menyelaraskan antara tuntutan keluarga dan aktivitas di 
luar rumah. 

Bahkan, dengan melakukan segala sesuatu atas izin suami, persoalan dual work 
burden yang sering dikategorikan sebagai penghambat utama dalam pemberdayaan 
wanita dapat diatasi. Kolaborasi dengan suami menjadi mudah dilakukan sehingga 
dengan demikian dual work burden akan berubah menjadi dual work without burden. 

Fungsi wanita sebagai seorang ibu yang harus mengasuh anak dan mengurus masalah 
rumah tangga sesungguhnya sudah menjadi naluri seorang wanita. Akan tetapi, 
tidak berarti tanggung jawab tersebut harus ditanggung sendiri oleh 
wanita/istri. 

Laki-laki atau suami harus punya goodwill untuk ikut bertanggung tanggung dalam 
masalah rumah tangga untuk meringankan double work burden yang melekat pada 
wanita. Bagi penganut feminisme radikal atau masyarakat luar (baca: dunia 
Barat), ajaran Islam tersebut bukti bahwa Islam menempatkan wanita pada posisi 
yang lemah dan tidak setara dengan laki-laki sehingga wanita sangat sulit untuk 
bisa mengembangkan dirinya. 

Bagi saya yang menjadi kendala pada masalah pemberdayaan wanita bukan pada 
nilai agama, tetapi konstruksi nilai sosial yang terbangun dalam masyarakat, 
seperti citra bahwa perempuan lemah, perempuan identik dengan pekerjaan sosial, 
perempuan tidak cocok dengan kegiatan politik, menjadi salah satu dari sekian 
hambatan dalam upaya pemberdayaan wanita. 

Masih terjadinya pemisahan pekerjaan (work segregation) antara perempuan dan 
laki-laki dalam masyarakat dan birokrasi menjadi bukti kuatnya gender 
stereotype yang terbangun dalam masyarakat. Oleh karena itu dibutuhkan 
political will dari pembuat kebijakan di semua level untuk merumuskan 
kebijakan/program yang bisa mengatasi masalah tersebut. 

Kolaborasi pemerintah dengan NGO yang terlibat langsung dan memiliki akses 
dalam pengumpulan data merupakan salah satu cara untuk memaksimalkan penanganan 
masalah pemberdayaan perempuan. Pemberian kuota 30 persen bagi perempuan untuk 
duduk di legislatif merupakan suatu kemajuan bagi upaya pemberdayaan perempuan 
dalam bidang politik dan menghapuskan citra bahwa perempuan tabu atau haram 
berpolitik. 

Walaupun dengan kebijakan tersebut Indonesia masih menjadi negara dengan urutan 
ke-83 dalam hal keterwakilan perempuan di legislatif (berdasarkan IPU 2002), 
paling tidak ada jaminan akan keterwakilan perempuan di dalamnya. Dengan jumlah 
penduduk perempuan yang cukup signifikan, sepatutnya dirumuskan kebijakan yang 
membuka peluang seluas-luasnya bagi perempuan memaksimalkan potensi. 

Tak kalah pentingnya tentunya nilai agama sebagai suatu keyakinan yang dipegang 
teguh tidak seharusnya dilihat sebagai suatu penghambat. Akan tetapi seharusnya 
bisa dijadikan pendukung bagi upaya pemberdayaan wanita yang sejalan dengan 
nilai-nilai agama khususnya nilai-nilai Islam. 


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke