Kiriman pertama tidak lengkap, pada kalimat  terakhir, ada beberapa kata yang 
hilang.

Salam,
  ----- Original Message ----- 
  From: rsa 
  To: wanita-muslimah@yahoogroups.com 
  Sent: Tuesday, April 22, 2008 10:14 AM
  Subject: [wanita-muslimah] Re: Pemberdayaan Wanita dan Islam [ralat]


  TFS pak Ambon.
  Tapi maaf, ralat nya apa ni pak?
  salam,
  satriyo

  --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "Sunny" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
  >
  > Selasa, 22 April 2008
  > 
  > Pemberdayaan Wanita dan Islam 
  > 
  > 
  > 
  > 
  > Asra Virgianita
  > Doctoral Student, Graduate School of International Studies, 
  Meijigakuin University, Jepang
  > 
  > Saya tertarik menulis artikel ini ketika beberapa teman sekampus 
  yang berasal dari beberapa negara membicarakan kedudukan wanita dalam 
  tatanan masyarakat di negara masing-masing. Saya tersentak ketika 
  mereka membicarakan dan membahas lemahnya kedudukan wanita dalam 
  masyarakat Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam. 
  > 
  > Dalam pikiran mereka, Islam agama yang kaku, keras, dan tidak 
  memberikan ruang bagi wanita mendapatkan hak dan persamaan kedudukan 
  dengan laki-laki sehingga hal tersebut menjadi kendala bagi wanita 
  Islam dalam mengembangkan dirinya. Saya jelas tidak setuju.
  > 
  > Walaupun demikian tidak mudah bagi saya memberikan tanggapan atas 
  pernyataan mereka karena saya bukan ahli agama. Selain itu sulit 
  memberikan penjelasan kepada mereka yang notabene tidak memiliki 
  agama karena bicara agama tentu saja harus didasarkan pada keyakinan. 
  > 
  > Setelah saya renungkan dan mengacu pada hasil analisis penelitian 
  yang pernah saya lakukan terkait dengan masalah tersebut, ada 
  beberapa hal yang menurut saya sebenarnya tidak disadari masyarakat 
  (domestik maupun internasional) tentang fungsi agama (baca: Islam) 
  dalam pemberdayaan wanita, terutama berkaitan dengan masalah hak 
  wanita untuk beraktivitas di luar rumah. 
  > 
  > Bagi saya agama bukan penghambat bagi wanita untuk beraktivitas di 
  ranah publik. Akan tetapi, sesungguhnya posisi agama menjadi 
  pengontrol bagi wanita dalam melakukan aktivitasnya. 
  > 
  > Misalnya, bagi wanita yang sudah berkeluarga dianjurkan meminta 
  izin suami sebelum beraktivitas di luar (baca: bekerja), bepergian 
  dengan berpakaian sopan dan menutup aurat, ditemani oleh mahramnya 
  (bila memungkinkan). Implementasi nilai islam seperti ini tentu saja 
  bukan suatu paksaan bagi wanita Islam karena saya pribadi percaya 
  bahwa anjuran tersebut adalah ibadah. Apabila dilaksanakan akan 
  menjadi pahala dan membawa manfaat bagi wanita terutama dalam hal 
  menyeimbangkan atau menyelaraskan antara tuntutan keluarga dan 
  aktivitas di luar rumah. 
  > 
  > Bahkan, dengan melakukan segala sesuatu atas izin suami, persoalan 
  dual work burden yang sering dikategorikan sebagai penghambat utama 
  dalam pemberdayaan wanita dapat diatasi. Kolaborasi dengan suami 
  menjadi mudah dilakukan sehingga dengan demikian dual work burden 
  akan berubah menjadi dual work without burden. 
  > 
  > Fungsi wanita sebagai seorang ibu yang harus mengasuh anak dan 
  mengurus masalah rumah tangga sesungguhnya sudah menjadi naluri 
  seorang wanita. Akan tetapi, tidak berarti tanggung jawab tersebut 
  harus ditanggung sendiri oleh wanita/istri. 
  > 
  > Laki-laki atau suami harus punya goodwill untuk ikut bertanggung 
  tanggung dalam masalah rumah tangga untuk meringankan double work 
  burden yang melekat pada wanita. Bagi penganut feminisme radikal atau 
  masyarakat luar (baca: dunia Barat), ajaran Islam tersebut bukti 
  bahwa Islam menempatkan wanita pada posisi yang lemah dan tidak 
  setara dengan laki-laki sehingga wanita sangat sulit untuk bisa 
  mengembangkan dirinya. 
  > 
  > Bagi saya yang menjadi kendala pada masalah pemberdayaan wanita 
  bukan pada nilai agama, tetapi konstruksi nilai sosial yang terbangun 
  dalam masyarakat, seperti citra bahwa perempuan lemah, perempuan 
  identik dengan pekerjaan sosial, perempuan tidak cocok dengan 
  kegiatan politik, menjadi salah satu dari sekian hambatan dalam upaya 
  pemberdayaan wanita. 
  > 
  > Masih terjadinya pemisahan pekerjaan (work segregation) antara 
  perempuan dan laki-laki dalam masyarakat dan birokrasi menjadi bukti 
  kuatnya gender stereotype yang terbangun dalam masyarakat. Oleh 
  karena itu dibutuhkan political will dari pembuat kebijakan di semua 
  level untuk merumuskan kebijakan/program yang bisa mengatasi masalah 
  tersebut. 
  > 
  > Kolaborasi pemerintah dengan NGO yang terlibat langsung dan 
  memiliki akses dalam pengumpulan data merupakan salah satu cara untuk 
  memaksimalkan penanganan masalah pemberdayaan perempuan. Pemberian 
  kuota 30 persen bagi perempuan untuk duduk di legislatif merupakan 
  suatu kemajuan bagi upaya pemberdayaan perempuan dalam bidang politik 
  dan menghapuskan citra bahwa perempuan tabu atau haram berpolitik. 
  > 
  > Walaupun dengan kebijakan tersebut Indonesia masih menjadi negara 
  dengan urutan ke-83 dalam hal keterwakilan perempuan di legislatif 
  (berdasarkan IPU 2002), paling tidak ada jaminan akan keterwakilan 
  perempuan di dalamnya. Dengan jumlah penduduk perempuan yang cukup 
  signifikan, sepatutnya dirumuskan kebijakan yang membuka peluang 
  seluas-luasnya bagi perempuan memaksimalkan potensi. 
  > 
  > Tak kalah pentingnya tentunya nilai agama sebagai suatu keyakinan 
  yang dipegang teguh tidak seharusnya dilihat sebagai suatu 
  penghambat. Akan tetapi seharusnya bisa dijadikan pendukung bagi 
  upaya pemberdayaan wanita yang sejalan dengan nilai-nilai agama 
  khususnya nilai-nilai Islam. 
  > 
  > 
  > [Non-text portions of this message have been removed]
  >



   


------------------------------------------------------------------------------


  No virus found in this incoming message.
  Checked by AVG. 
  Version: 7.5.524 / Virus Database: 269.23.3/1390 - Release Date: 4/21/2008 
4:23 PM


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke