Refleksi: Bagaimana bisa bebas dari kemiskinan dan keterbelakangan?

http://www.suarapembaruan.com/News/2008/08/14/Utama/ut01.htm

SUARA PEMBARUAN DAILY 
Indonesia Belum Merdeka dari Kemiskinan


[JAKARTA] Republik Indonesia, hingga menginjak usia 63 tahun kemerdekaan, 
ternyata masih belum merdeka dari kemiskinan. Banyaknya jumlah orang miskin, 
meskipun diklaim oleh pemerintah menurun, tetap merepresentasikan kegagalan 
pemerintahan dari tahun ke tahun, untuk menyusun kebijakan yang secara nyata 
diarahkan untuk menopang kehidupan kelompok miskin. 

Akibatnya, target-target Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2005-2009 
dipastikan meleset, terutama menyangkut penurunan jumlah pengangguran dan 
kemiskinan. Demikian rangkuman pandangan sejumlah ekonom, di antaranya Ikhsan 
Modjo dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Pande 
Radja Silalahi (Centre for Strategic and International Studies/CSIS), Hendri 
Saparini (Econit), Darwin Syamsulbahri (Lembaga Ilmu Pengetahuan 
Indonesia/LIPI), Didik J Rachbini (anggota DPR), dan Hamid Paddu (Universitas 
Hasanuddin Makassar), Rabu (13/8) dan Kamis (14/8). 

Menurut Ikhsan, beberapa sasaran yang perlu dikhawatirkan, adalah penurunan 
angka pengangguran dan kemiskinan. Dalam RPJM, pengangguran ditargetkan 5,1 
persen dari jumlah penduduk pada 2009. Kenyataannya, hingga Maret 2008, 
pengangguran masih di kisaran 8,46 persen. 

Senada dengan itu, Pande Radja Silalahi mengungkapkan, penyerapan tenaga kerja 
periode 2005-Maret 2008 masih rendah. 

Sementara itu, menurut Hendri Saparini, tidak tercapainya RPJM itu adalah 
cermin kegagalan pemerintah dalam merumuskan kebijakan, seperti kenaikan harga 
BBM 126 persen pada 2005. Orang- orang miskin pun kian terpuruk dua kali akibat 
pemerintah kembali menaikkan harga BBM pada Mei 2008. Padahal, kondisi harga 
pangan dunia juga sedang meroket, yang menyebabkan harga pangan domestik 
melonjak drastis. Inilah yang menyebabkan angka kemiskinan sulit dikurangi. 

Pilihan kebijakan yang salah, tentu mengakibatkan kemiskinan dan pengangguran 
yang tinggi. Khusus untuk pengangguran, pemerintah menyatakan jumlahnya turun. 
Namun, hal itu karena booming-nya sektor informal. 


Pergeseran Struktur 

Dari Makassar, Hamid Paddu menilai, tingginya kemiskinan diakibatkan pergeseran 
struktur ekonomi. Pembangunan saat ini lebih terarah pada sektor industri, 
manufaktur, dan jasa, sehingga sektor tradisional, seperti pertanian dan 
perikanan tergusur. 

"Pembangunan yang terjadi mengabaikan sektor tradisional seperti pertanian dan 
perikanan. Padahal di sektor itu masyarakat banyak menggantungkan hidupnya," 
ujarnya. 

Akibat pergeseran itu, nilai tukar di sektor tradisional melemah. Petani dan 
nelayan pun semakin miskin dan tidak mampu untuk menyentuh kebutuhan dasar, 
seperti pendidikan dan kesehatan. 

Secara terpisah, Darwin Syamsulbahri berpendapat, program pengurangan 
kemiskinan diorientasikan pada pemberdayaan masyarakat miskin. Pemerintah 
diharapkan tidak membuang dana bantuan lewat beberapa pro- gram sumbangan, yang 
hanya menanamkan mental fakir di masyarakat. 

Menurut Darwin, pemerintah telah abai terhadap potensi munculnya masyarakat 
miskin. Sejauh ini, program pengentasan kemiskinan sekadar difokuskan kepada 
rakyat yang terkategori miskin. Padahal, di sisi lain, proses pemiskinan terus 
terjadi. 

"Akibat kenaikan harga BBM, muncul kemiskinan di kelompok nelayan yang tadinya 
di atas garis kemiskinan. Ini jumlahnya bukan ribuan, tapi jutaan. Mereka semua 
tersapu karena tidak bisa membiayai kebutuhan bahan bakar untuk melaut," kata 
Darwin. 

Terkait hal tersebut, Didik Rachbini mengingatkan pemerintah adanya tugas berat 
untuk merealisasikan target RPJM 2005-2009, terutama mengurangi kemiskinan, di 
sisa setahun masa pemerintahan. Menurutnya, ada beberapa faktor yang 
menyebabkan target tak tercapai, seperti kondisi eksternal berupa lonjakan 
harga minyak, dan APBN yang tak kunjung sehat. 

Dari Bandung, Sekjen Koalisi Organisasi Non Pemerintah Jawa Barat, Dadang 
Sudarja menilai, hingga saat ini pemerintah masih menelantarkan hak-hak dasar 
masyarakatnya. Di antaranya, akses masyarakat ke sumber penghidupan juga masih 
rendah, karena banyak dikuasai asing. 

Kritik terhadap kebijakan pemerintah di bidang ekonomi yang tidak tepat sasaran 
sehingga tak mampu mengurangi kemiskinan, juga datang dari sejumlah daerah lain 
di Indonesia. Sekretaris Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Sumatera Utara, 
Ihya Ulumuddin mengatakan, kaum nelayan yang rentan terhadap kemiskinan, justru 
kurang diberdayakan pemerintah. 

S Manihuruk (68), petani miskin di Mayang, Kotabaru, Jambi menuturkan, 
keluarganya tidak pernah mendapatkan bantuan pemerintah untuk meningkatkan 
usaha pertaniannya. "Saya sudah hampir 30 tahun tinggal di Jambi. Sampai 
sekarang belum memiliki lahan pertanian," ujarnya. 

Dari Manado, ekonom dari Universitas Sam Ratulangi, Noldie Tuerah, menilai, 
sulitnya merealisasikan beberapa program pemerintah pusat, karena masalah 
infrastruktur di daerah masih minim. 

Di Jawa Timur, meskipun kemiskinan dinyatakan menurun, namun jumlah penduduk 
miskin masih cukup tinggi, yaitu mencapai 19 persen dari total 37,2 juta jumlah 
penduduk provinsi itu. Namun, menurut Gubernur Jatim, Imam Utomo, jumlah itu 
kemungkinan bertambah jika mempertimbangkan dampak kenaikan harga BBM, Mei 
lalu. [D-10/CNV/DMP/NCW/148/ 153/151/141/143/070/080/136] 



--------------------------------------------------------------------------------
Last modified: 14/8/08 

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke