tardji memilih jualan harga diri puisi, ketimbang diingat sebagai penyair 
munafik, sebab tardji adalah tardji, yg kayak gitulah: rakus, pengecut dan 
norak.

pilihan tardji adalah gambaran sosok seorang manusia egois, yg mementingkan 
hadiah dibandingkan dengan solidaritas terhadap orang miskin di desa porong yg 
telah terpinggirkan akibat dari lumpur lapindo.

di masa tuanya tardji juga melakoni jadi aktor politik ulung yg sekaligus jadi 
pemulung hadiah sastra juragan lumpur. apakah ini kemajuan bagi karakternya 
tardji? atau hanya akal2an orang gaek yg mulai pikun akibat rayuan materi yg 
bisa beli mimpi?

ingat: setelah kena stroke budaya orang emang bisa belaga gila (begil), tapi 
semuanya kembali pada diri kita sendiri, apakah mau dibeli dengan harga 150 
juta rupiah atau miskin tapi dihormati?

heri latief
amsterdam, 19/08/2008





      
http://progind.net/
kolektif info coup d'etat 65: kebenaran untuk keadilan

  http://herilatief.wordpress.com/

http://akarrumputliar.wordpress.com/




--- On Mon, 8/18/08, BISAI <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
From: BISAI <[EMAIL PROTECTED]>
Subject: [SANTRI KIRI] Re: #sastra-pembebasan# (Khazanah) Sutardji, Bakrie 
Award, dan Lapindo
To: "AKSARA SASTRA" <[EMAIL PROTECTED]>, [EMAIL PROTECTED], "SANTRI KIRI" 
<[EMAIL PROTECTED]>, "SASTRA PEMBEBASAN" <[EMAIL PROTECTED]>
Date: Monday, August 18, 2008, 2:23 AM










    
            


Apa "puisi dekrit" itu lebih murah harganya dari 
puisi jampi-jampi wak dukun? Apa "petarung kata-kata" tidak sama dengan 
manipulasi atau pengkebirian kata-kata"? Kata-kata dibikin tidak 
berharga dan kosong melompong tak punya makna karena harus dianggap 
sebuah puisi yang semua orang bisa membikinnya meskipun tidak setiap 
orang  bisa jadi terkenal apalagi untuk sampai bisa terima hadiah 150 
juta.
BISAI.
 
 
 

  ----- Original Message ----- 
  From: 
  sautsitumorang 
  To: [EMAIL PROTECTED] .com ; sastra-pembebasan@ yahoogroups. com 
  ; [EMAIL PROTECTED] .com ; [EMAIL PROTECTED] ups.com ; bumimanusia@ 
yahoogroups. com ; musyawarah-burung@ yahoogroups. com 
  ; [EMAIL PROTECTED] s.com ; wanita-muslimah@ yahoogroups. com 
  ; forumpenulissumatra @yahoogroups. com 
  ; [EMAIL PROTECTED] ups.com ; kampoengmedan@ yahoogroups. com 
  
  Sent: Sunday, August 17, 2008 3:31 
  PM
  Subject: #sastra-pembebasan# (Khazanah) 
  Sutardji, Bakrie Award, dan Lapindo
  

  
  

Nota Bene:

hahaha...

ketawak ngakak awak!

awak 
  katanya meributkan soal hadiah Lapindonya itu kerna faktor 
duitnya! gawat! 
  sudah begitu dekadennya rupanya elite intelektual 
negeri ini sampai semua 
  musti diukur pake Rupiah!!! mata uang yang 
paling tak berharga di dunia 
  itu!!! gawat!

dari jawaban Tardji Bakrie, dari Kredo Lapindonya di 
  bawah, (dan juga 
pendapat beberapa penyair muda pengagumnya di bawah juga, 
  kecuali 
Afrizal yang kusayang itu) maka kesimpulan awak di esei awak 
  "Politik 
Kanonisasi Sastra", bahwa Sastra Indonesia itu sampai sekarang 
  masih 
sangat anti-politik, masih sangat anti-realis, masih sangat yakin 
  
bahwa "Estetika adalah Panglima", bahwa Sastra(wan) tak punya 
  
relevansi sosial-politik di luar teks sastranya yang keramat 
adiluhung 
  itu, dan bahwa:

Sutardji Calzoum Bakrie adalah contoh terbaik, par 
  excellence, 
skaligus bukti tak terbantahkan dari gagalnya Estetika Humanis 
  
Universal Manikebuis yang anti-politik itu! bukti sia-sianya Estetika 
  
Formalisme bagi sebuah negeri Dunia 
  Ketiga!!!

hahaha...

============ =====

Khazanah, 
  Pikiran Rakyat, Sabtu 16 Agustus 2008

Sutardji, Bakrie Award, dan 
  Lapindo

SEBAGAI penyair, Sutardji Calzoem Bachri telah melakukan 
  eksplorasi 
kata dalam puisi sehingga kata bergerak mencari kemungkinan 
  arah dan 
tujuannya, saling membentur demi membentuk keseluruhan yang tak 
  
teramalkan. Sutardji menemukan kembali mantra, memulihkan kembali 
  
tenaga bahasa yang terlanjur dimelaratkan oleh komunikasi massa. 
  
Demikian salah satu alasan mengapa Freedom Institute memilih Sutardji 
  
sebagai penerima anugerah Bakrie Award 2008 Bidang Kesusastraan, 
  
seperti termaktub dalam website mereka www. 
  freedom-instute. org.

Bakrie Award adalah sebuah anugerah tahunan 
  yang dipilih oleh Freedom 
Institute, yang diberikan pada mereka yang 
  dianggap telah menunjukkan 
dedikasinya dalam berbagai bidang, terutama 
  kedokteran, sains, 
penelitian, sosial, dan kesusastraan. Bahkan, anugerah 
  ini 
mengandaikan dirinya sebagai "Hadian Nobel" Indonesia. Tradisi 
  
pemberian anugerah ini telah dimulai sejak 2003. Dalam bidang 
  
kesusastraan, Sutardji Calzoem Bachri adalah sastrawan keenam yang 
  
menerima anugerah Bakrie Award, setelah sebelumnya Sapardi Djoko 
  
Damono (2003), Goenawan Mohamad (2004), Budi Darma (2005), W.S. 
Rendra 
  (2006), dan Putu Wijaya (2007).

Pandangan kritis terhadap Bakrie Award 
  mulai muncul sejak 2006. Meski 
menerima anugerah tersebut, W.S. Renda 
  dalam pidato penerimaannya 
dengan keras mengkritik penanganan dan 
  pertanggungjawaban atas nasib 
ribuan rakyat di Sidoarjo. Pada tahun 2007, 
  ketika kasus Lapindo 
makin mencuat ke permukaan, Bakrie Award pun kian 
  mendapat sorotan. 
Apalagi setelah Frans Magnis Suseno yang terpilih 
  sebagai penerima 
anugerah di Bidang Sosial menolak menerima anugerah 
  tersebut. Lain 
halnya dengan Putu Wijaya yang menerimanya di tengah 
  berbagai kritik.

Meski kasus Lapindo tidak lagi mencuat tajam seperti 
  sebelumnya, 
sangat sulit memisahkan Bakrie Award 2008 yang diterima 
  Sutardji 
Calzoem Bachri dengan kasus Lapindo. Tak sedikit publik sastra 
  
berharap bahwa Sutardji akan mengikuti jejak Frans Magnis Suseno 
  
ketimbang meniru Putu Wijaya. Namun, ternyata sang "presiden" penyair 
  
Indonesia itu lebih memilih meniru Putu Wijaya, menerima anugerah itu 
  
dan uang Rp 150 juta!

**

TENTU saja ini menimbulkan berbagai 
  tanggapan yang berbeda. Menurut 
kritikus Adi Wicaksono, berbicara 
  kesusastraan Indonesia sangatlah 
tidak mungkin meniadakan atau melewatkan 
  nama Sutardji.

Tentang sikap Sutardji yang menerima Bakrie Award 2008 
  yang 
dihubungkan dengan kasus Lapindo, Adi menilai bahwa anugerah tersebut 
  
haruslah dilihat sebagai penghargaan atas karya dan dedikasi, bukan 
  
penghargaan yang sifatnya politis. "Moralitas menerima atau menolak 
  
saya kira dalam konteks sekarang tidak lagi bisa dipakai seperti 
tahun 
  lalu sebab sekarang kasus Lapindo bukan lagi jadi kasus utama, 
banyak 
  kasus-kasus yang lain. Tidak seperti tahun yang lalu ketika 
kasus Lapindo 
  benar-benar jadi pusat perhatian. Konteksnya berbeda 
kalau, misalnya, 
  Tardji menerimanya tahun lalu ketika kasus Lapindo 
jadi sorotan khalayak 
  dan media. Saya tidak kecewa bahwa Tardji 
menerima anugerah itu, sebagai 
  penghargaan sastra dia memang layak 
menerimanya, " ujarnya.

Senada 
  dengan Adi Wicaksono, Agus R. Sarjono juga menyebut bahwa 
Sutardji pantas 
  mendapatkan penghargaan sastra. Hanya saja lembaga 
pemberinya belumlah 
  pantas memberinya karena ada yang lebih pantas 
diberi dan diurus, yakni 
  korban lumpur Lapindo. Ia bisa memahami 
ketika Sutardji menerima anugerah 
  tersebut, baik dalam konteks 
realitas finansial maupun bersebab pada 
  langkanya penghargaan bagi 
sastrawan di negeri ini. Publik sastra 
  Indonesia mungkin ada yang 
berharap bahwa Sutardji akan menolak 
  penghargaan tersebut.

"Namun, mereka juga tidak akan tega seandainya 
  Tardji menolaknya. 
Saya tidak berharap Tardji menolak sebab secara 
  finasial, orang-orang 
yang sebetulnya layak menolak pun ternyata tidak 
  menolak," tutur Agus.

Dari Tasikmalaya, penyair Acep Zamzam Noor 
  menyebut sangatlah wajar 
Sutardji merima anugerah itu, lepas dari soal 
  lembaga yang 
memberinya. Pilihan Sutardji yang menerima anugerah tersebut 
  tidaklah 
akan mengurangi sikap kritisnya terhadap kasus Lapindo. "Kasus 
  lumpur 
Lapindo adalah persoalan, tetapi memberi penghargaan pada sastrawan 
  
adalah soal yang lain. Apalagi pemberian anugerah ini telah ada 
  
sebelum terjadinya kasus lumpur Lapindo. Persoalannya bukan berarti 
  
menerima penghargaan itu lantas sikap kita akan melemah. Rendra 
  
menerima, tetapi dengan sangat bagus dia melancarkan pidato yang 
penuh 
  kritik terhadap kasus Lapindo. Namun, di luar itu semua, 
menerima atau 
  menolak Bakrie Award, kepenyairan Sutardji tidak akan 
terganggu. 
  Kepenyairannnya lebih besar ketimbang Bakrie Awad dan uang 
Rp 150 juta!" 
  Katanya.

Pandangan berbeda muncul dari Afrizal Malna. Meski mengatakan, 
  
Sutadji layak menerima penghargaan itu, setelah sebelumnya Sutardji 
  
juga memperoleh penghargaan dari Pemerintah Provinsi Riau, Afrizal 
  
memandang menerima award berkali-kali semacam itu tak ubahnya seperti 
  
gajian. Bukan pantas atau tidak Sutardji menerimanya, tetapi juga 
  
soalnya bagaimana award itu lahir dari kurasi yang dilakukan. Inilah 
  
yang membuat award sastra seperti arisan. Oleh karena itulah, di mata 
  
Afrizal, dunia sastra sekarang seperti hidup dalam kandang. Karya 
  
sastra tidak dipandang dalam fenomena kebudayaan umumnya.

Berbeda 
  dengan Acep Zamzam Noor yang melihat bahwa kasus lumpur 
Lapindo dan Bakrie 
  Award adalah persoalan yang berbeda, Afrizal 
justru memandang keduanya 
  tidaklah bisa dipisahkan. Dalam konteks ini 
pula, ia menganggap bahwa 
  wibawa kepenyairan Sutardji akan lebih 
besar seandainya ia menolak 
  anugerah tersebut. "Yah, terserah dia 
kalau mau menggadaikan wibawa 
  kepenyairannya pada uang 150 juta. 
Sebagai penyair seharusnya dia 
  menghitung itu," ujar Afrizal.

**

ketika dihubungi, Jumat 
  (15/8), Sutardji Calzoem Bachri yang pada 14 
Agustus 2008 itu menerima dua 
  penghargaan sekaligus, Penghargaan 
Budaya Bintang Parama dari Presiden 
  Susilo Bambang Yudhoyono dan 
Bakrie Award 2008, justru mempertanyakan 
  mengapa orang tidak 
mempermasalahkan penghargaan yang diterimanya dari 
  negara tapi justru 
mempermasalahkan Bakrie Award 2008?

"Mengapa 
  kalau ada duitnya baru ribut? Apa karena penghargaan dari 
negara itu tak 
  ada duitnya! Mengapa orang-orang melihat dengan cara 
yang berat sebelah? 
  Saya muak dengan hal itu! " ujarnya.

Seolah menjawab pernyataan 
  Afrizal, Sutardji menambahkan, "Saya tidak 
dibentuk oleh orang-orang yang 
  menyukai atau oleh orang-orang yang 
membenci saya. Saya dibentuk oleh diri 
  saya sendiri!"

Terhadap sejumlah pandangan yang mengkritik sikapnya 
  menerima Bakrie 
Award 2008, Sutardji mengatakan, dalam sebuah anugerah 
  tentu ada 
kebaikan dan keburukannya.

Lalu, seolah hendak menjawab 
  para pengkritiknya yang mengaitkan 
anugerah tersebut dengan isu lumpur 
  Lapindo, Sutardji menegaskan 
bahwa sejak dulu ia memutuskan sebagai 
  penyair, ia bukanlah petarung 
sosial. Baginya, puisi dan kepenyairan 
  tidaklah dimestikan sebagai 
reaksi atas realitas sosial yang tengah 
  terjadi seperti kasus lumpur 
Lapindo.

"Kalau mau semacam itu sejak 
  zaman Soeharto saya sudah ditangkap. 
Saya bukan petarung sosial, tapi 
  petarung kata-kata. Pertarungan saya 
adalah dengan kata-kata, dengan ide 
  dan air mata. Puisi saya bukan 
puisi dekrit!" katanya. (Ahda 
  Imran)***



      

    
    
        
         
        
        








        


        
        


      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke