Jawa Pos
[ Rabu, 24 September 2008 ] 

Perpanjangan Usia Pensiun Hakim Agung Menjadi 70 Tahun 

Langkah Mempertahankan Status Quo 

SEBUAH kemunduran besar sedang terjadi jutru dari sekelompok anggota DPR. Di 
tengah upaya perbaikan dan reformasi peradilan, DPR bersama pemerintah justru 
hendak mempertahankan status quo melalui perpanjangan usia pensiun hakim agung 
70 tahun.

Berbagai argumentasi yang diungkapkan dinilai tak masuk akal. Yang menguat 
justru kesan ''ada permainan'' di balik pembahasan rancangan undang-undang 
Mahkamah Agung (RUU MA) itu.

Isu ini menjadi penting karena posisi MA sebagai puncak kekuasaan kehakiman dan 
kewenangannya yang sangat rentan dengan?judicial corruption. Di sisi lain, 
''pengamanan'' terhadap MA dan penempatan ''orang kita'' di sana merupakan 
target umum kelompok mafioso di berbagai sektor, termasuk legislatif dan 
sejumlah advokat di DPR.

Bagaimana mungkin sebuah UU atau produk ''wakil rakyat'' yang akan mengatur 
kehidupan publik disusun secara tertutup, minus partisipasi dan terburu-buru? 
Hal itulah yang terjadi pada paket pembahasan UU Kekuasaan Kehakiman, khususnya 
UU MA. 

Hingga diselesaikannya daftar inventaris masalah (DIM) oleh pemerintah dan 
proses awal menuju pembahasan RUU MA, hampir tidak ada upaya serius untuk 
menyosialisasikan dan membuka ruang partisipasi bagi publik. Padahal, asas 
pembentukan UU, seperti yang diatur pada pasal 5 huruf (g) UU 10/2004 tentang 
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, mensyaratkan adanya keterbukaan. Asas 
itu menekankan kepada semua proses pembentukan, mulai perencanaan, persiapan, 
penyusunan, pembahasan, hingga pengesahan. Harus dilakukan secara terbuka dan 
transparan. Dalam arti, publik mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk 
memberikan masukan atau bahkan melakukan pengawasan.

Kontroversi pembahasan UU MA itu diperparah isu suap dan pembahasan ''kilat'' 
yang notabene merupakan upaya mendukung pihak status quo di Mahkamah Agung. 
Dorongan agar UU tersebut selesai dalam waktu sesingkat-singkatnya mengingatkan 
kita pada salah satu poin tentang usia pensiun. Pasal 11 ayat (1) huruf (b) RUU 
mengusulkan usia pensiun hakim agung menjadi 70 tahun. Sebuah usul yang sangat 
tidak berdasar dan cenderung hanya membela kepentingan sekelompok hakim yang 
diragukan integritasnya.

Seperti diketahui, ketua MA dan wakil ketua MA bidang Yudisial akan memasuki 
masa pensiun Oktober 2008. Artinya, terhitung maksimal akhir Oktober, demi 
hukum, para hakim agung tersebut harus mundur dari jabatannya. Kecuali, terjadi 
perubahan aturan. Poin itulah yang patut diduga menjadi target revisi UU MA 
agar dua pejabat tertinggi MA tersebut dan delapan hakim yang lain tidak jadi 
pensiun pada tahun ini. 

Jika itu benar dan revisi berjalan mulus, mudah memperkirakan, sebuah tragedi 
terjadi di salah satu institusi agung kita.

ICW bersama sejumlah LSM dalam Aliansi Penyelamat MA tentu saja menolak 
skenario tersebut. Dalam bahasa sederhana, ''MA tidak boleh menjadi panti 
jompo''. Logika regenerasi seharusnya didorong semaksimal mungkin.

Terburuk se-Asia 

Dan, seharusnya DPR, pemerintah, dan semua kalangan pencari keadilan melakukan 
introspeksi terhadap institusi kekuasaan kehakiman. Hingga sekarang, aroma 
mafia peradilan belum surut sedikit pun. Hal itu dapat dilihat dari 
ketertutupan pengelolaan keuangan, sulitnya mengakses putusan, rendahnya 
tingkat kepatuhan atas audit kerugian negara oleh BPK, dan bahkan putusan 
kontroversial yang sering menjadi produk MA.

Hasil survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) 2008 yang 
menempatkan peradilan Indonesia di posisi terburuk di Asia patut dicermati. 
Waktu yang cukup panjang dan anggaran yang begitu besar ternyata tidak 
menghilangkan kesan korup institusi peradilan Indonesia.

Seperti dirilis PERC, peradilan Indonesia ditempatkan pada posisi terburuk 
pertama se-Asia dengan skor 8,26. PERC yang menggunakan skala 1-10 melakukan 
survei terhadap 1.537 responden dari pihak yang bersentuhan langsung dengan 
peradilan, kelompok bisnis, dan lainnya. Disampaikan, the judiciary is one of 
Indonesia's weakest and most controversial institutions, and many consider the 
poor enforcement of laws to be the country's number problem (the Jakarta Post, 
15/9).

Jika saja DPR dan pemerintah becermin dari penilaian publik dan mengevaluasi 
Mahkamah Agung, tentu poin-poin revisi UU MA akan menjadi berbeda. Penting 
didorong agar revisi benar-benar ditujukan untuk merevitaliasi dan membenahi 
institusi peradilan Indonesia. 

Berangkat dari putusan Mahkamah Konstitusi yang menghendaki sinkronisasi UU MA, 
UU Komisi Yudisial (KY), dan UU Mahkamah Konstitusi (MK), seharusnya yang 
diperhatikan adalah isu kewenangan pengawasan, bukan sekadar usia pensiun.

Dengan kata lain, pembahasan UU MA patut dihentikan. Selain anasir suap dan 
korupsi di DPR dalam pembahasan UU itu, kita tetap harus kembali merujuk kepada 
perintah putusan MK No 005/PUU-IV/2006 tentang pengujian UU Komisi Yudisial. 
Artinya, prioritas pembahasan terletak pada poin pengawasan KY terhadap hakim 
MA dan MK.

Karena itulah, pembahasan UU MA harus dihentikan. UU yang pertama direvisi 
sebaiknya UU KY dan kemudian dua UU lainnya disinkronisasikan dengan UU KY. 

Bagaimanapun, institusi peradilan Indonesia harus diselamatkan dari pembajakan 
sekelompok elite politik, baik di DPR, pemerintah, swasta, maupun MA sendiri. 
Satu poin sederhana, MA bukan panti jompo. Publik menghendaki regenerasi 
sistematis dan pemotongan status quo.(*)

*. Febri Diansyah , anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke