--------
Jawa Pos
[ Jum'at, 26 September 2008 ] 

RUU Pornografi sebagai Masalah Pers 
Oleh Agus Sudibyo * 

MEDIA massa adalah locus publicus. Di sana aneka ekspresi budaya dari 
masyarakat yang plural dan multikultur bisa tampil setiap saat. Untuk kebutuhan 
produksi pemberitaan, talk show , variety show , iklan, dan lain-lain, media 
juga tak terelakkan mengangkat realitas-realitas yang barangkali bisa 
ditafsirkan mengandung muatan pornografi atau semacamnya. 

Posisi media rentan terhadap sasaran kritik, kemarahan, bahkan kekerasan oleh 
kelompok tertentu yang menganggap media melanggar prinsip-prinsip kesusilaan 
dan kepantasan. 

Dalam konteks itulah, RUU Pornografi harus dilihat sebagai masalah pers di 
Indonesia. Konstruksi berpikir yang dominan dalam RUU Pornografi dan dalam 
benak pendukungnya notabene merujuk pada asumsi, dugaan, dan fakta tentang 
pornografi dalam representasi media. Khususnya setelah term pornoaksi 
dihilangkan, jelas sekali porsi terbesar dalam RUU Pornografi sesungguhnya 
adalah regulasi tentang pornografi media. 

Pasal 4 RUU Pornografi menjelaskan ruang lingkup pornografi adalah (1) produksi 
materi pornografi media, (2) penggandaan materi media massa atau media lain 
yang mengandung unsur pornografi, (3) penyebarluasan materi media massa atau 
media lain yang mengandung unsur pornografi, (4) penggunaan materi media massa 
atau media lain yang mengandung unsur pornografi, (5) penyandang dana, 
prasarana, sarana media dalam penyelenggaraan pornografi. Meski ketentuan itu 
mengatur materi dan medium yang luas cakupannya, semua kategori (produksi, 
penggandaan, penyebarluasan, penggunaan, dan penyelenggaraan) terfokus pada 
entitas media. 

Persoalannya, RUU Pornografi belum mempertimbangkan kompleksitas media sebagai 
ruang publik sosial dengan nilai-nilai yang spesifik dan membutuhkan pendekatan 
sendiri. 

Karena itu, definisi pornografi yang terlalu luas dan multitafsir sulit 
diterapkan dalam konteks kerja media. Pasal 1 RUU Pornografi menjelaskan,'' 
Pornografi adalah hasil karya manusia yang memuat materi seksualitas dalam 
bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, 
animasi, kartun, syair, percakapan, atau bentuk-bentuk pesan komunikasi lain 
dan/atau melalui media yang dipertunjukkan di depan umum dan/atau dapat 
membangkitkan hasrat seksual serta melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam 
masyarakat dan/atau menimbulkan berkembangnya pornoaksi dalam masyarakat ." 

Kompleksitas 

Sejauh mana batasan membangkitkan hasrat seksual, melanggar nilai-nilai 
kesusilaan, dan menimbulkan berkembangnya pornoaksi di sini? Lingkup moralitas 
masyarakat manakah yang digunakan? Jika pasal itu diloloskan, hampir pasti akan 
timbul kompleksitas tersendiri bagi proses produksi media. 

Dapat dibayangkan betapa sulitnya secara teknis jika media harus memaksa 
selebritis yang muncul sebagai sumber berita atau bintang sinetron untuk 
menggunakan pakaian jenis tertentu yang lebih ''aman pornografi". Sebab, 
sesungguhnya belum ada kesepakatan apa itu ''aman pornografi", bagaimana 
implementasinya secara spesifik dalam dunia media. 

Lebih tidak realistis lagi jika media harus meminta warga Papua atau Bali 
menanggalkan pakaian keseharian mereka dan menggantinya dengan pakaian tertentu 
dengan alasan agar ''tidak membangkitkan hasrat seksual dan pornoaksi". Yang 
tidak pantas bagi masyarakat Jawa mungkin bisa menjadi sesuatu yang biasa, 
bahkan menjadi adat kebiasaan, bagi masyarakat Papua atau Bali. 

Apalagi pada sisi lain, media juga dikondisikan untuk memotret fakta secara apa 
adanya. Kerja jurnalistik terikat pada nilai faktualitas dan presisi. 
Menampilkan fakta secara faktual menjadi keutamaan karena media adalah ''cermin 
realitas sosial" yang harus mengeliminasi potensi reduksi, simplifikasi, 
ataupun pengaburan realitas. 

Media massa juga dituntut lebih berorientasi pada realitas sosiologis yang 
berasal dari fakta di lapangan dan meminimalkan penggunaan realitas psikologis 
yang bersandar pada konstruksi subjektif narasumber. 

Tak pelak, media massa adalah sasaran utama RUU Pornografi. Sanksi pidana bisa 
dikenakan ke media karena pelanggaran memproduksi, menyebarluaskan, menggunakan 
dan/atau menyelenggarakan hal-hal yang mengandung muatan pornografi atau barang 
pornografi dengan hukuman yang sangat memberatkan. 

Bukan hanya berpotensi menimbulkan efek jera, sanksi itu juga bisa membunuh 
eksistensi media sebagai institusi sosial mapun institusi pemberitaan. 

Penyebarluasan pornografi yang paling ringan dikenai pidana denda Rp 100 juta 
hingga Rp 500 juta dan/atau kerja sosial antara 2 hingga 7 tahun dan/atau 
pengasingan di daerah terpencil antara 2 hingga 7 tahun. 

Sanksi pelanggaran pasal-pasal pornografi itu jelas tidak sesuai dengan 
konsensus untuk menjaga kebebasan pers yang bertanggung jawab. Sanksi yang 
lazim dikenakan untuk pelanggaran jurnalistik dan media penyiaran ialah sanksi 
yang menimbulkan efek jera namun tidak bersifat membunuh eksistensi media. 

Dalam konteks ini, RUU Pornografi bisa ditempatkan dalam satu gugus dengan RUU 
lain yang juga berpotensi dan bertendensi membelenggu kebebasan pers seperti 
halnya RUU Rahasia Negara dan RUU KUHP. 

* Agus Sudibyo , deputi direktur Yayasan Sains, Estetika, dan Teknologi (SET) 
Jakarta 

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke