ISTIADJI SUTOPO RAABITHAH TARBIYYAH ALAMIL ISLAAM ..... DAN MASUKLAH KALIAN KEDALAM ISLAM SECARA KESELURUHAN ...... ( SURAT 2-AL BAQARAH – AYAT 208 ) 07-080926-TAUZIYAH-UU PORNOGRAFIR Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh Bismillahir rahmaanir rahiim Alhamdulillaahir rabbil ‘aalamiin Allahumma shalli 'alaa sayyidinaa Muhammadiw wa 'alaa aalihii wa' shahbihii wa sallam .... WAL 'ASHRI INNAL INSAANA LAFII KHUSRIN, ILLALLADZIINA AAMANUU WA 'AMILUSHASHAALIHAATI, WA TAWAASHAU BIL HAQQI, WA TAWAASHAU BISHSHABRI
ALLAH SWT. BERSUMPAH BAHWA DEMI MASA ( WAKTU ) YANG SENANTIASA DISIA-SIAKAN MANUSIA – MEREKA ITU SEMUA AKAN MENGALAMI KERUGIAN BESAR - KECUALI BAGI SIAPA YANG BERIMAN NAMUN KEMUDIAN YANG SALING NASEHAT MENASEHATI DALAM KEBENARAN DAN SENANTIASA SALING MENETAPI DALAM KESABARAN ..... ( MENASIHATI DALAM BERTUKAR ILMU AGAMA DAN MENASEHATI UNTUK SELALU BERSIKAP SABAR DALAM HAL APAPUN ... ) ( QS – 103 AL ASHR' AYAT 1-3 ) Sedikit tambahan dari kami sbb. Penerapan UU ANTI PORNOGRAFI memang tidak semudah direalisasikan pada negeri yang prularis ini. Namun sebagai umat Muslim, kita wajib memahaminya - itu semata-mata adalah ekses dari pada Media Masa ( Cetak dan Elektronik ) yang menurut Faham Ke Islaman sudah melewati batas dan keterlaluan didalam meng-ekspose masalah yang menyinggung perasaan Umat Islam. Namun Media Masa yang begitu ketat bersaing itu, barangkali telah lupa pada masyarakat dan nafkah yang haram - karena mereka telah tergantung pada uang ... uang dan sekali lagi uang ... tidak semata kebutuhan nafkah, tetapi ingin lebih dari itu....juga kebanggaan diri bagi pelaku yang diekspose bersamaan dengan LAKUNYA tayangan yang dengan NAIK MINAT PENGIKLAN menaikkan omset pendapatan perusahaan ybs. - disisilan pelakunya menjadi merasa dikenal - mashur .. dan kekuasaan .. bagi semua yang terlibat : karena dengan uang itu - sekarang ini dapat diraih segalanya termasuk kekuasaan ... ( bisa membawahi penegak hukum, pejabat, masyarakat tertentu lainnya secara tidak disadari mereka masing-masing ) ... Kita wajib memahami, bahwa inilah tanda-tanda kehadiran Zaman Jahiliyah Baru - yaitu kebodohan - karena Jahiliyah Lama yaitu Musyrik - penyembah berhala ... mempersekutukan dan bahkan mengabaikan untuk kembali pada Tuhan Yang Satu yaitu Allah swt. Apa faktanya ? Itulah kemusyrikan Jahiliyah Baru - kebodohan yang tidak disadari ... karena telah menyembah 3 Tuhan lainnya yaitu : ( 1 ) Uang ... ( 2 ) Kebanggaan ( Riiya' ) ... dan ( 3 ) Kekuasaan ... Sungguh bodoh kalau seseorang tidak peduli apalagi wanita yang terbuka pakaiannya dan melenggok2 - menyanyi2 tidak terlepas pada pelaku presenter .. demi karenanya dapat dibayar mahal dan dapat menjadi terkenal digairahi - karena telah diamati jutaan mata manusia bukan ? Nah sekali lagi UU Anti Pornografi memang sangat ampuh - tetapi bukan soal sanksi jutaan rupiah yang menjadi keluh-kesah penentangnya yang perlu kita perhatikan... namun yang sangat penting agar sadar sebagai NASIHAT sekali lagi NASIHAT ... untuk kembali kejalan yang lurus, yang benar .. yang diridhai Allah swt... Sesungguhnya TIDAK ADA PAKSAAN DALAM ISLAM ... sekali SUATU NASIHAT TENTANG SYARIAT ISLAM INI bahkan melalui suatu Undang-Undang pula …disampaikan - disaat itu pula Ilmu masuk dalam benak dan hati masing-masing ( khusus bagi yang merasa dia Mukmin ) – disaat itu Dia harus ( mulai ) siap atas sepak terjangnya dan atas amanah yang diberikan Allah swt. bagi setiap Insan Muslim didunia ini dan akan bertanggung jawab dihadapan Allah swt... diakhirat kelak .. sederhana saja masalahnya bukan ? Ormas-ormas Islam yang berteriak-teriak sampai berlaku anarkis misalnya itu - sebenarnya adalah suatu NASIHAT bagi Dia pula – agar menjadi sadar betapa vitalnya Akhirat itu … Secara metematis saja, dari Al Qur’an dan Al Hadits … perbandingan Dunia dan Akhirat adalah 1 : 99 .. itu minimal … lagi pula Akhirat itu kekal dan Manusia suatu saat pasti mati dan dunia pasti setiap saat akan di-Kiamatkan … Itulah Janji Allah swt YANG BENAR ( HAQ ) bukan ? Siapa itu DIA ? Merekalah : Pemilik Stasiun Televisi atau Media Cetak ( yang Muslim ) - yang paling bertanggung jawab kerena membiarkan semua itu berjalan dilahan kepemilikannya - selanjutnya tanggung jawab lebih ringan pada : Para Eksekutif pengendali Manajemen Penyiaran dan Para Pelaku yang menjadi tontonan masa itu sendiri.... termasuk para crew yang menurut saja ... demi nafkah yang haram ( ? ) - juga orang-orang ( Muslim ) yang malah asyik masyuk penuh perhatian terpana pada acara2 atau foto2 maksiat itu sendiri … .... Bukankah sudah ada PETUNJUK ALLAH SWT. untuk tidak perlu khawatir bagi ORANG-ORANG YANG BERTAQWA … Allah swt. akan selalu memberikan jalan keluar dan memberikan rezeki dan dari arah mana saja yang tidak akan Dia sangka-sangka disaat dimana dia mengalami kesulitan apapun atau kebuntuan dalam nafkahnya : “ WA MAY YATTAQILLAAHA YAJ’ALLAHUU MAKHRAJAA. WA YARZUQUHU MIHAISTU LAA YAHTASIB WA MAYYATAWAKKAL ALLAAHI FAHUWA HASBUH. INNALLAAHA BALIGHU AMIR’H. QAD JA’ALALLAAHU LIKULLI SYAI’IN QAD’RAA “ “ BARANG SIAPA YANG BERTAQWA KEPADA ALLAH NISCAYA DIA AKAN MENGADAKAN BAGINYA JALAN KELUAR DAN MEMBERINYA REZEKI DARI ARAH YANG TIADA DISANGKA-SANGKANYA. SESUNGGUHNYA ALLAH MELAKSANAKAN URUSAN YANG DIKEHENDAKI- NYA. SESUNGGUHNYA ALLAH TELAH MENGADAKAN KETENTUAN BAGI TIAP-TIAP SESUATU. DAN BARANG SIAPA YANG BERTAWAKKAL KEPADA ALLAH, NISCAYA AKAN MENCUKUPI KEPERLUANNYA “. Apakah dengan ayat ini anda masih ragu-ragu dengan kehidupan dizaman yang kompleks ini … ? Demikian kurang lebihnya mohon di maafkan - Wallahu A'lam bish shawwab ... --- On Sat, 27/9/08, Sunny <[EMAIL PROTECTED]> wrote: From: Sunny <[EMAIL PROTECTED]> Subject: [wanita-muslimah] RUU Pornografi sebagai Masalah Pers To: [EMAIL PROTECTED] Date: Saturday, 27 September, 2008, 12:43 PM -------- Jawa Pos [ Jum'at, 26 September 2008 ] RUU Pornografi sebagai Masalah Pers Oleh Agus Sudibyo * MEDIA massa adalah locus publicus. Di sana aneka ekspresi budaya dari masyarakat yang plural dan multikultur bisa tampil setiap saat. Untuk kebutuhan produksi pemberitaan, talk show , variety show , iklan, dan lain-lain, media juga tak terelakkan mengangkat realitas-realitas yang barangkali bisa ditafsirkan mengandung muatan pornografi atau semacamnya. Posisi media rentan terhadap sasaran kritik, kemarahan, bahkan kekerasan oleh kelompok tertentu yang menganggap media melanggar prinsip-prinsip kesusilaan dan kepantasan. Dalam konteks itulah, RUU Pornografi harus dilihat sebagai masalah pers di Indonesia. Konstruksi berpikir yang dominan dalam RUU Pornografi dan dalam benak pendukungnya notabene merujuk pada asumsi, dugaan, dan fakta tentang pornografi dalam representasi media. Khususnya setelah term pornoaksi dihilangkan, jelas sekali porsi terbesar dalam RUU Pornografi sesungguhnya adalah regulasi tentang pornografi media. Pasal 4 RUU Pornografi menjelaskan ruang lingkup pornografi adalah (1) produksi materi pornografi media, (2) penggandaan materi media massa atau media lain yang mengandung unsur pornografi, (3) penyebarluasan materi media massa atau media lain yang mengandung unsur pornografi, (4) penggunaan materi media massa atau media lain yang mengandung unsur pornografi, (5) penyandang dana, prasarana, sarana media dalam penyelenggaraan pornografi. Meski ketentuan itu mengatur materi dan medium yang luas cakupannya, semua kategori (produksi, penggandaan, penyebarluasan, penggunaan, dan penyelenggaraan) terfokus pada entitas media. Persoalannya, RUU Pornografi belum mempertimbangkan kompleksitas media sebagai ruang publik sosial dengan nilai-nilai yang spesifik dan membutuhkan pendekatan sendiri. Karena itu, definisi pornografi yang terlalu luas dan multitafsir sulit diterapkan dalam konteks kerja media. Pasal 1 RUU Pornografi menjelaskan, '' Pornografi adalah hasil karya manusia yang memuat materi seksualitas dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, atau bentuk-bentuk pesan komunikasi lain dan/atau melalui media yang dipertunjukkan di depan umum dan/atau dapat membangkitkan hasrat seksual serta melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat dan/atau menimbulkan berkembangnya pornoaksi dalam masyarakat ." Kompleksitas Sejauh mana batasan membangkitkan hasrat seksual, melanggar nilai-nilai kesusilaan, dan menimbulkan berkembangnya pornoaksi di sini? Lingkup moralitas masyarakat manakah yang digunakan? Jika pasal itu diloloskan, hampir pasti akan timbul kompleksitas tersendiri bagi proses produksi media. Dapat dibayangkan betapa sulitnya secara teknis jika media harus memaksa selebritis yang muncul sebagai sumber berita atau bintang sinetron untuk menggunakan pakaian jenis tertentu yang lebih ''aman pornografi". Sebab, sesungguhnya belum ada kesepakatan apa itu ''aman pornografi", bagaimana implementasinya secara spesifik dalam dunia media. Lebih tidak realistis lagi jika media harus meminta warga Papua atau Bali menanggalkan pakaian keseharian mereka dan menggantinya dengan pakaian tertentu dengan alasan agar ''tidak membangkitkan hasrat seksual dan pornoaksi". Yang tidak pantas bagi masyarakat Jawa mungkin bisa menjadi sesuatu yang biasa, bahkan menjadi adat kebiasaan, bagi masyarakat Papua atau Bali. Apalagi pada sisi lain, media juga dikondisikan untuk memotret fakta secara apa adanya. Kerja jurnalistik terikat pada nilai faktualitas dan presisi. Menampilkan fakta secara faktual menjadi keutamaan karena media adalah ''cermin realitas sosial" yang harus mengeliminasi potensi reduksi, simplifikasi, ataupun pengaburan realitas. Media massa juga dituntut lebih berorientasi pada realitas sosiologis yang berasal dari fakta di lapangan dan meminimalkan penggunaan realitas psikologis yang bersandar pada konstruksi subjektif narasumber. Tak pelak, media massa adalah sasaran utama RUU Pornografi. Sanksi pidana bisa dikenakan ke media karena pelanggaran memproduksi, menyebarluaskan, menggunakan dan/atau menyelenggarakan hal-hal yang mengandung muatan pornografi atau barang pornografi dengan hukuman yang sangat memberatkan. Bukan hanya berpotensi menimbulkan efek jera, sanksi itu juga bisa membunuh eksistensi media sebagai institusi sosial mapun institusi pemberitaan. Penyebarluasan pornografi yang paling ringan dikenai pidana denda Rp 100 juta hingga Rp 500 juta dan/atau kerja sosial antara 2 hingga 7 tahun dan/atau pengasingan di daerah terpencil antara 2 hingga 7 tahun. Sanksi pelanggaran pasal-pasal pornografi itu jelas tidak sesuai dengan konsensus untuk menjaga kebebasan pers yang bertanggung jawab. Sanksi yang lazim dikenakan untuk pelanggaran jurnalistik dan media penyiaran ialah sanksi yang menimbulkan efek jera namun tidak bersifat membunuh eksistensi media. Dalam konteks ini, RUU Pornografi bisa ditempatkan dalam satu gugus dengan RUU lain yang juga berpotensi dan bertendensi membelenggu kebebasan pers seperti halnya RUU Rahasia Negara dan RUU KUHP. * Agus Sudibyo , deputi direktur Yayasan Sains, Estetika, dan Teknologi (SET) Jakarta [Non-text portions of this message have been removed] Get your new Email address! Grab the Email name you've always wanted before someone else does! http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/aa/ [Non-text portions of this message have been removed]