Halo mas banyuwangi muncar.

Btw, widayati ini menikah lintas agama. Ujungnya tubuh dikremasi, sementara 
keluarga di kediri sibuk tahlilan.  Yg satu dah di luar islam, sementara 
tahlilan kata sementara pemeluk islam adalah perilaku bid'ah.

Dalam konteks semacam ini, imam samudra, amrozi dan kawan kawan sukses 
"melenyapkan" satu lagi uyg tersesat dalam jalan islam.

Apakah kita harus berbangga dengan prestasi ini ? Kalau masalah kesedihan 
keluarga, saya kira ndak ngaruh buat trio bom bali. Secara dunia itu fana, 
hanya mampir ngombe.

Malah ketua mui cilacap mau diaproach biar amrozi atau imam samudra yah ?   
Bisa KAWIN LAGI.  Apa nggak mantap para pejuang Islam kita ini.

Kalau tora sudiro pas main pilem nagabonar jadi dua bilang mottonya adalah work 
harder, play harder, maka boss imam semudre ini mottonya, hard jihad, polygamy 
harder






Sent from my BlackBerry� wireless device from XL GPRS network

-----Original Message-----
From: "bmuncar" <[EMAIL PROTECTED]>

Date: Sun, 12 Oct 2008 16:25:56 
To: <wanita-muslimah@yahoogroups.com>
Subject: [wanita-muslimah] Derita Orangtua Korban Bom Bali


Salam,
Senyampang peringatan tragedi Bom Bali I, saya kutipkan berita dari
Antara, tentang derita keluarga korban meski tragedi sudah berlangsung
6 tahun lalu. Ini adalah sebuah fakta kecil (derita korban) dalam
konsep besar (jihad).

ORANGTUA KORBAN BOM BALI SAKIT-SAKITAN
     Kediri, 12/10 (ANTARA) - Orangtua Widayati, korban Bom Bali I,
menderita sakit-sakitan setelah ditinggal satu-satunya penopang hidup
mereka dalam tragedi berdarah di Legian, Kuta, Bali pada 12 Oktober
2002 lalu.
     Saat dikunjungi di rumahnya yang sangat sederhana di Jalan
Duorowati nomor 7 Kediri, Jatim, Minggu sore, Wasiah (63), ibu
Widayati, kondisinya sangat memprihatinkan.
     Bahkan untuk berjalan saja, wanita yang sehari-hari berjualan es
batu itu sudah susah. "Sejak peristiwa yang merenggut nyawa anak saya
itu terjadi sampai sekarang, saya sakit-sakitan," katanya.
     Sementara itu Suradi (70), ayah Widayati, bekerja mengayuh becak
untuk menopang hidup mereka. "Dulu saya masih kerja di PG (Pabrik
Gula) Mrican, tapi karena sudah sering sakit-sakitan, saya keluar,"
katanya lirih.
     Kendati demikian, pasangan suami-istri itu masih mendambakan bisa
mengunjungi Monumen Tragedi Kemanusiaan Bom Bali (Zero Ground) di
Legian, Kuta, Kabupaten Badung, Bali.
     "Kami ingin sekali melihat monumen itu. Tapi terus terang, kami
tidak punya uang untuk pergi ke sana. Kami ini orang susah," kata suradi.
     Ia mengungkapkan, semasa Widayati masih hidup, kebutuhan hidup
keluarganya lebih baik dibandingkan kondisi saat ini. "Hampir setiap
bulan, Widayati mengirimkan uang untuk saya dan kakak-kakaknya yang
tinggal di sini," katanya mengungkapkan.
     Oleh sebab itu, dia sangat terpukul dengan peristiwa yang
menewaskan putri kelimanya itu dalam tragedi berdarah enam tahun silam. 
     Yang lebih menyedihkan hati Suradi dan Wasiah, adalah aparat
penegak hukum sampai sekarang tidak mengeksekusi tiga pelaku Bom Bali
I, Imam Samudra, Amrozi, dan Ali Ghufron, meski sudah ada keputusan
hukum tetap.
     "Peristiwa itu tidak bisa kami lupakan seumur hidup. Kami ini
orang kecil, hanya bisa berharap kepada pemerintah untuk secepatnya
mengeksekusi pelakunya," kata Suradi yang sempat bertemu mantan
Presiden Megawati saat mencari jenazah anaknya di RSUP Sanglah,
Denpasar, sehari setelah kejadian itu.
     Ia menceritakan, pada tanggal 12 Oktober 2002 malam, Widodo,
kakak Widayati, dari Denpasar menghubungi Suradi melalui telepon milik
tetangganya.
     "Saat itu saya hanya dibilangi, Widayati sakit keras. Esok
harinya saya langsung berangkat ke Denpasar dengan istri saya. Sampai
di Denpasar saya langsung dibawa menuju Rumah Sakit Sanglah," katanya.
     Betapa terkejutnya Suradi dan Wasiah setelah mendapati anaknya
itu sudah tidak bernyawa. Meski kondisinya tidak utuh lagi, Suradi
masih bisa mengenali Widayati dari giginya yang tidak teratur. 
     "Sedang saya bisa mengenali Widayati dari dahinya. Wajahnya sudah
tidak bisa dikenali lagi. Kedua tangan dan kakinya sudah tidak ada,"
kata Wasiah seraya menambahkan masih terus teringat kondisi jasad
Widayati itu.
     Saat peristiwa itu terjadi, Widayati yang berusia 37 tahun sedang
bertugas sebagai kasir di Kafe Sari Club, Legian, Kuta, Kabupaten
Badung, Bali.
     "Sudah lama dia bekerja di Sari Club, tapi baru satu tahun dia
memegang kasir sampai dia akhirnya meninggal dunia kena bom," katanya.
     Kini Widayati meninggalkan seorang suami, Wayan Harianto dan dua
orang anak, Eka (SMA) dan Kadek (SMP). "Sampai sekarang, suami
Widayati masih belum mau menikah lagi, karena berkonsentrasi membiayai
sekolah dua anaknya itu," kata Wasiah.
     Tujuh hari setelah peristiwa berdarah itu, jasad Widayati dibakar
sesuai adat Bali di Denpasar. "Jenazah sesuai adat Bali, tapi keluarga
di Kediri menggelar tahlilan mulai hari kematiannya sampai tujuh
hari," katanya mengungkapkan.(T.M038)
(T.M038/B/C004/C004) 12-10-2008 18:11:27

Salam
bmuncar
http://www.yawisngeblogwae.blogspot.com
 




[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke